Tradisi dari Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies
Pesantren IMMIM merupakan koloni mukjizat. Di hamparan tanah seluas 1,3 hektare tersebut, berdiam rupa-rupa karakter remaja. Pada pertengahan 80-an, ada sekitar 600 santri. Mereka ditempa untuk berikhtiar agar rute nasibnya cemerlang laksana pijar meteor.
Di Pesantren IMMIM, program dicanangkan guna mengerek kualitas belajar-mengajar. Santri dibimbing untuk membentuk identitas supaya bermetamorfosis sebagai ulama. Selain itu, menyelami keajaiban-keajaiban modernitas demi menjelma cendekiawan high skill.
Dewasa ini, alumni Pesantren IMMIM tersebar di pelbagai lintasan karier. Tidak mustahil besok ada alumnus dibaiat sebagai Hadratussyaikh (mahaguru) organisasi kemasyarakatan. Mencermati profesionalitas serta orisinalitas karya alumni, maka, di dekade berikut bakal muncul ulama intelek Pesantren IMMIM yang menerima Nobel.
Santri Yakuza
Hidup di pesantren acap serupa film horor-thriller. Ini bagi santri bandel. Terkadang pula mirip film percintaan romantis. Hendak bertahan di kampus Islami kendati 1000 tahun. Kehidupan teramat berwarna-warni. Ramai rasanya bak permen Nano-nano.
Di pesantren sewaktu saya kelas III, ada sejumlah teman memiliki rasa persaudaraan nan erat. Mereka bagai Yakuza ala Jepang. Tindak-tanduknya seolah bermoto "one for all, all for one". Sebagai umpama, satu rokok biasa diestafet lima santri. Ini manifestasi one for all.
Kelompok santri ini juga teguh dalam pendirian sebagaimana watak Don Vito Corleone (Marlon Brando) di film The Godfather. Kumpulan santri ini saling memproteksi, khususnya jika dipanggil qismul amni (seksi keamanan) maupun pimpinan kampus.
Rezeki Lenyap
Ada tiga tradisi warisan pesantren yang sampai hari ini mewarnai saya. Adat istiadat pertama ialah bangun subuh. Sampai kini, saya rata-rata bangun sebelum pukul 04.00.
Pada 1981 ketika kelas II, saya bersama kawan senantiasa tidur usai shalat Shubuh. Segenap santri tak punya kegiatan kecuali kelas I yang belajar bahasa Arab di masjid.
Syahdan di suatu vakansi, saya beritahu ibu di rumah bahwa sekarang hidupku nyaman di pesantren. Kami leluasa tidur setelah shalat Shubuh. Ibu kaget. Ia pun berpetuah agar jangan tidur sesudah shalat. Pasalnya, rezeki enggan bersilaturrahim saat orang tidur.
Saya patuh dengan nasehat. Tidak tidur lagi usai shalat Shubuh. Masalah muncul karena dulu saya bangun sebelum jam lima untuk ikut berjamaah di masjid. Kini saya bangun lewat pukul 06.00.
Satu persoalan kelar karena tak tidur setelah shalat Shubuh. Di sisi lain, satu problem timbul lantaran saya bangun jam enam pagi. Tidak diragukan lagi saya tak tidur sesudah shalat, tetapi, ketinggalan berjamaah. Akibatnya, saya selalu masuk qismul amni. Ini divisi algojo, semacam tim peremuk bagi santri badung.
Ketika kelas III, saya tinggal di bilik 2 rayon Pangeran Diponegoro. Armin Mustamin sempat menebar isu. "Haris tidak shalat Shubuh. Ia sembunyi di atas pohon". Padahal, saya tak mengumpet di akasia depan Panglima Polem. Hikayat tersebut sekedar informasi oral yang jauh dari kebenaran.
Di suatu subuh, saya ke beranda kamar untuk berwudhu. Armin sempat melirikku menenteng gelas mug kaleng besi dan tempat air. Pagi beredar gosip. "Haris yatawaddha' wahid kuubun" (bersuci dengan satu mug air).
Saya tidak berwudhu dengan air satu mug ukuran 10 cm. Soalnya, saya menjinjing pula wadah air. Armin yang bertanggung jawab atas beredarnya secara membahana dongeng "yatawaddha' wahid kuubun".
Kultur BAB
Budaya kedua dari pesantren yang melekat pada saya yakni tiap pagi buang air besar (BAB). Saban pagi saya ke 20 toilet sebelum sarapan.
Saya memilih awal hari untuk membersihkan perut dari kotoran karena WC tak ramai. Kultur BAB di pesantren mencapai puncak usai makan siang. Pukul 13.00-14.00, 20 kakus penuh sesak. Semua antre menanti giliran secepatnya. Maklum, tidak ada yang bisa menahan berak.
Menjelang tahun 2000, tiap hari saya masuk peturasan selepas pukul 04.00. Tak ada aktivitas fisik sebelum BAB kecuali olah otak.
Salumdos
Budaya ketiga dari pesantren yang saya lakoni yaitu tidur tanpa bantal kepala. Bantal kepala serta bantal guling secara perlahan akan kempis dikikis waktu. Dari serat kain pembungkus keluar sedikit demi sedikit kapuk.
Menjelang tamat di pesantren, bantalku makin tipis. Sepertinya tinggal berisi dua genggam randu. Tidak proporsional lagi sebagai alas tidur. Walau tipis, namun, empuk di kepala. Terlebih bantal guling. Saya kerap memeluk erat-erat. Saya bayangkan Brooke Shields, idolaku. Mengangan-angankan artis Hollywood merupakan ikhwal lumrah sekaligus normal bagi remaja. Namanya juga salumdos, santri berlumur dosa.
Pernah seorang sahabat bocor bantal gulingnya. Kapuknya berhamburan di ranjang. Saya terkesiap campur heran, dia apakan itu bantal tadi malam. Saya berdeham, membayangkan aksi ekstrem spektakulernya yang hot. Begitulah kalau perilaku puber meledak-ledak level bareccung (petasan). Tiada rotan, akar pun jadi. Ini baru namanya the real salumdos.
Tatkala berusia 40 tahun, saya pensiun memakai bantal kepala. Saya tak dapat tidur bila ada sandaran kepala. Jika bantal guling, saya sekali-sekala membutuhkan wujudnya dalam dekapan kala sepoi bayu merenyukkan tulang-belulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar