Minggu, 09 Januari 2022

Hukuman Perokok


Hukuman Perokok
Oleh Abdul Haris Booegies


     Hidup di pesantren ibarat merangkum peristiwa.  Sepotong demi sepotong momentum menjelma sejarah.  Terkadang narasi historis tersebut laksana prasasti untuk diteruskan ke generasi berikut.  Ikhwal ini terjadi karena masa silam seolah belum selesai hari ini.
     Di Kampus Islami, santri termaktub sebagai pewaris ilmu-ilmu langit.  Mereka calon masyarakat agamis dan ilmiah.  Dewasa ini, santri dalam hitungan hari segera berpijak di Era Society 5.0.  Mereka bakal bersua secara mesra dengan firdaus teknologi semacam Web3, NFT2.0 serta Metaverse.
     Di era 80-an, santri Pesantren IMMIM bergerak selaras parameter spiritualitas modern.  Staf ustaz pembina menerapkan penetrasi moral secara dominan yang intensif.  Hingga, santri tampak bermartabat di masjid, berprestasi di kelas, berkepribadian di kamar, berdikari di dapur dan bertenaga di lapangan.
     Di tengah dinamika santri, selalu ada percik gelap yang mengusik.  Ada kenakalan karena ada kejanggalan sudut pandang.  Santri suka mencoba eksperimen ekstrem demi memuaskan kuriositas.  Akibatnya, mereka biasa berlaku ugal-ugalan bak wildlines, kaum liar.  Di sisi lain, roh institusi jelas menegaskan bahwa santri haram melanggar aturan.
     Ada dua pelanggaran berat di pesantren yang rumit dikikis.  Bolos meninggalkan kampus (farra) serta merokok (dukhaan).  Ini pelanggaran teramat berat.  Kalau ketahuan dan bernasib sial, maka, digiring ke sel khusus atau digundul.
     Di pesantren, saya tergolong santri taat dengan watak yang tekun.  Maklum, tidak merokok.  Bahkan, sampai sekarang.  Problem mahaberat yang saya alami yakni doyan melarikan diri meninggalkan kampus.  Tentu tanpa izin.
     Saya beratus kali bolos dari kelas serta bolos dari kampus.  Anehnya, pimpinan kampus (pimkam) dan qismul amni (seksi keamanan) tak kuasa melacaknya.  Alhasil, saya tidak pernah dimasukkan sel atau digundul.  Lemari serta kasurku saja yang celaka.  Kala bolos, pimkam menyandera lemari dan kasur tersebut dalam sel pada Selasa, 18 Oktober 1983.
     Pimkam serta qismul amni kesulitan mencidukku karena saya tergolong a die-hard optimist.  Senantiasa yakin seyakin-yakinnya saat bolos dengan berpegang teguh pada khitah "farra-yafirru".  Hatta, selalu selamat sentosa.  Begitulah bila santri limited edition dengan potensi bolos yang unlimited.

Pindahkan Gunung
     Sebagaimana siswa SMP atau SMA di luar, santri juga tangguh merokok.  Dari 78 awak Angkatan 8086, hanya segelintir yang tak merokok.  Bisa dihitung dengan jari-jemari satu tangan.  Seingat saya, sahabat nonperokok yaitu Andi Arman dan Rusman.  Kami the golden trio antirokok.
     Di pondok, jika berkunjung ke kamar teman, saya spontan menyingkir kalau mereka merokok.  Saya tidak pernah menegur rekan perokok.  Saya bersikap toleran.  Abdul Hafid (Havid de Berru) malahan sempat saya beri rokok satu pak (10 bungkus).
     Pasti mengherankan bagi insan nonperokok.  Apa manfaatnya bila cuma asap dimasukkan ke mulut terus disemburkan lewat hidung.  Di sini letak istimewanya bagi perokok.  Soalnya, ada varian gen yang memacu rasa nikmat secara optimal.
     Santri alim di Pesantren IMMIM, acap bernasehat.  "Jangan merokok.  Ingat, yang kamu isap itu adalah hasil jerih payah orangtuamu".
     Perokok level raksasa membalas:  "Saya lebih memilih memindahkan gunung daripada berhenti merokok!"

Rokok Estafet
     Pada Senin, 28 Februari 1983, Muhammad Bubu (III), Zainal Akbar (II) bersama Ali Sulaiman (II), kena penalti.  Ketiganya disuruh berdiri di depan koperasi yang terletak di belakang aula.  Mereka lantas diperintahkan mengisap 10 batang rokok tradisional tanpa filter secara estafet.  Rokok diisap dalam-dalam kemudian digilir secara cepat.  Habis sebatang disambung lagi dengan sebatang.
     Pesakitan tentu kewalahan.  Air liur menetes, meleleh di dagu.  Lidah kelu.  Mata berair gara-gara asap.  Santri lain hanya terpingkal-pingkal terkekeh-kekeh menyaksikan adegan sengsara ini.
     Tatkala santri perokok dijatuhi hukuman, saya merasa kurang nyaman.  Ada rasa marah di sanubari.  Nurani serasa dirajam tirani.  Saya memahat aksara di diari pada momen tersebut bahwa: "Ketika malam hari ada yang membuatku sakit hati dengan keamanan".
     Saya tak tega melirik perokok yang diganjar siksa sewenang-wenang.  Saya terdiam untuk memahami makna penghakiman ini.  Saya mengukur taksir jika qismul amni berlaku zalim.  Tidak bijak sekaligus tak adil lantaran mengaplikasikan kekejian.  Qismul amni tidak sanggup menempatkan diri pada posisi wasit.  Tiada netralitas maupun independensi.  Apalagi, personel qismul amni rata-rata perokok berat.
     Substansi qismul amni ialah wasit yang memberi hukuman setimpal berbasis keadilan.  Mereka jawatan pimkam untuk mengatur pelanggar pada prinsip pembelajaran serta kebersamaan.
     Hukuman dengan metode merokok secara estafet pasti tak mendidik, di luar nalar.  Santri lain tidak punya kuasa mengoreksi kebijakan sungsang ini.  Apalagi, qismul amni merupakan santri pilihan pimkam.
     Apakah qismul amni secara santun bersedia melepas kekerasan yang diproduksinya?  Only time will tell.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People