Minggu, 02 Januari 2022

Golok Maut di Pesantren


Golok Maut di Pesantren
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 1983, Pesantren IMMIM dihuni sekitar 500 santri.  Tiap santri memiliki karakter khas.  Ada yang patuh, tak sedikit pula bandel.
     Di era 80-an, pesantren identik dengan anak nakal.  Kalau badung, maka, orangtua memasukkan ke pesantren agar alim.  Di Kampus Islami, santri bangga menyebut pesantren sebagai "penjara suci".
     500 santri Pesantren IMMIM dididik oleh enam pembina yang tinggal di kampus.  Mereka adalah Saifullah Mangun Suwito, Syukri Basondeng, Hasnawi Marjuni, Abdul Kadir Massoweang, Abdul Kadir Kasim serta Hamir Hamid Aly.  Enam pembina tetap ini yang siang-malam memantau dinamika santri.
     "Menjadi pembina dengan hidup bersama santri selama 24 jam merupakan ibadah yang tiada bertepi nilainya.  Senang-susah, lucu dan marah menjadi irama hidup sehari-hari di pondok.  Segenap santri merupakan titipan orangtua sekaligus amanah Allah.  Kami para pembina terus-menerus melakukan koordinasi serta inspeksi kontrol kualitas supaya kelak muncul generasi santri level top.  Pembina menyusun formula agar santri kuat lahir-batin dalam menyibak misteri masa depan.  Hingga, tidak tumbang oleh zaman", papar Lukman Sanusi, tokoh gigantik Iapim.
     Enam pembina pada 1983, merupakan komposisi yang tak seimbang.  Jauh dari sempurna, tidak ideal.  Sebab, satu pembina seolah menangani 80 santri dengan 80 tabiat.
     Sesungguhnya, pembina diuntungkan oleh anggota qismul amni (seksi keamanan) maupun kelas V dan VI.  Tiga pilar ini secara tak langsung turut menjaga mobilitas pesantren.
     Tentu saja ada ongkos yang mesti dibayar pembina.  Caranya, ada perbedaan perlakuan.  Kelas V serta VI, umpamanya, bebas nonton TVRI dari pukul 22 sampai siaran habis.  Selain itu, kelas VI sejak awal tahun mulai bebas.  Ada yang ikut bimbingan tes atau urusan kelanjutan pendidikan.  Ini masa-masa indah santri kelas VI sebelum meninggalkan pesantren.  Ini kenangan tiada terlupa sebelum mengakhiri pengabdian sebagai santri.  Ini momen paling syahdu dalam kehidupan sebagai santri.

Perseteruan Raksasa
     500 santri dibimbing enam pembina pasti merepotkan.  Ulah santri bandel selalu menggemaskan.  Pada Rabu, 2 Februari 1983, saya dibangunkan.
     "Hei bangun!  Ustaz Saifullah sudah masuk kelas", sembur Muhammad Thanthawi (Iapim 8086).
     Saya tetap terlelap dibekap clinomania, ingin terus rebah-rebahan di kasur.  Tiba-tiba teman-teman berhamburan kabur.  Seolah ada bom nuklir jatuh ketika rekan berseru: "Ustaz Saifullah menuju kamar".  Tidak main-main, sang ustaz memukul siapa pun yang tak masuk kelas.
     Saya, Rusman (III), Syarifuddin (IV), Sapri (V) dan Umar Bauw (V) terbirit-birit kocar-kacir bagai dilempar ular.  Kami mati-matian menerobos pagar kawat berduri di sisi Selatan, sudut belakang rumah ustaz Syukri.  Kami pontang-panting ke panggung serbaguna yang terletak di samping pesantren.  Nafas kami tersengal-sengal, namun, bangga dapat lolos.  Kami semua ketawa pahit dalam kebingungan.  Mitra badung lain entah ke mana bersembunyi, barangkali lompat ke danau Unhas.
     Enam pembina bertambah pusing bak gasing jika menangani cekcok antarangkatan.  Pada Selasa, 7 September 1982, ada clash of the titans, perang para raksasa.  Kelas V versus VI sama-sama panas laksana semburan gunung berapi.  Setelah menempuh jalur berkelok, mereka akhirnya berdamai atas inisiatif pembina.
     Pada Sabtu, 3 September 1983, qismul amni pecah.  Sebagian berkehendak tetap mengadili pelanggar.  Sisanya bubar.  Ini gara-gara terjadi penempelengan.  Oknum qismul amni menampar santri pelanggar dari kelas III.  Korban akhirnya melapor ke kakaknya yang kelas VI.  Si abang lantas menempeleng personel qismul amni yang kelas V.
     Awak qismul amni melaporkan insiden ini ke pimpinan kampus (pimkam).  Tentu saja pimkam berkelit.  Ini persoalan besar.  Siapa memang yang suruh menerapkan represi berlapis di qismul amni.  Baru tahu rasa sekarang itu qismul amni!
     Korps qismul amni kecewa atas sikap pimkam.  Akibatnya, terjadi perpecahan di tubuh qismul amni.  Sebagian tetap berkeras hati mengadili.  Sisanya angkat tangan, mengundurkan diri.

Mengancam Pimkam
     Andi Asri Lolo (Iapim 8086) bernafas lega.  Hari ini, Selasa, 8 Maret 1983, pencuri uangnya sudah teridentifikasi secara saksama dalam tempo singkat.  Ia kehilangan pada Kamis, lima hari lalu.
     Pencurinya berinisial AS.  Ia berkomplot dengan AB yang mengharap cinta NA, cewek BTN Wesabbe.
     Pada Rabu, 9 Maret 1983, pesantren geger bin gempar dalam kengerian.  Semua gara-gara ayahanda AS ke pesantren membawa parang panjang usai Zhuhur.  Ia memarkir motornya dekat kantin di depan dapur.  Orang yang sedang murka ini datang bersama bininya.  Dengan wajah sangar sembari menenteng golok, ia mencari ustaz Saifullah yang tinggal di rumah panggung dekat 20 toilet.  Suami-istri ini menuntut balas dendam lantaran ada sekelompok santri memukul AS tadi malam.
     Para santri bergerombol di sisi masjid, samping Rayon Sultan Hasanuddin serta depan dapur.  Santri tidak mampu memperkirakan apa yang bakal terjadi selanjutnya.  Apakah parang yang telah diasah tersebut akan menuntaskan perkara atau ada opsi lain.
     Santri serba salah, antara menunggu kelanjutan pertunjukan maut dengan harga diri pesantren.  Tiada konsolidasi solid dalam menghadapi kasus ini.  Seluruh santri cuma melongo.  Takut ditebas.  Ini hari mencekam yang melampaui imajinasi.
     Entah ilmu apa yang dipakai ustaz Saifullah, semua akhirnya tenang.  Kami kembali ke kamar masing-masing dengan segumpal kebimbangan.
     Mengapa pimkam diancam golok?  Mengapa tak introspeksi diri bahwa ini pencurian?  Hina sekali cara hidup bila disandarkan pada parang.
     Harga diri diukur dari keberanian mengakui kesalahan.  Martabat dinilai dari sifat bijak memilah masalah.  Golok bukan solusi, tetapi, musibah.  Tragedi ini merupakan hari suram bagi sejarah Pesantren IMMIM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People