Terkenang Qismul Amni
Oleh Abdul Haris Booegies
Hari pertama sebagai santri di Pesantren IMMIM bakal tergiang-giang dalam kenangan. Tatkala sang kala merangkak ke senja pada pertengahan 1980, segenap santri baru sudah masuk kampus. Saya ditempatkan di bilik 2 rayon Datuk Ribandang, kini bernama asrama Fadeli Luran.
Pagi di hari kedua, terdengar nasehat dari Rusdi (IV), pembina kamar. "Jangan nakal. Nanti kalian masuk qismul amni".
Qismul amni (seksi keamanan) merupakan unit administrasi pesantren. Korps ini menjadi tulang punggung ketertiban di kampus. Qismul amni termaktub sebagai penyangga pimpinan kampus (pimkam).
Awalnya, saya mengira qismul amni semacam nenek yang berpetuah bijak. Kami pasti dinasehati secara lembut agar tidak bandel. Di luar dugaan, qismul amni kiranya algojo di ruang penyiksaan. Kesalahan ringan saja, santri bisa babak-belur, remuk-redam.
Saya bertambah kaget karena yang menyiksa ternyata santri senior. Mengapa kami harus dipukul, ditendang, dicambuk serta dibanting? Ini perlakuan kejam. Saat genting begini, ke mana pimkam? Mengapa ia membiarkan kami digebuk?
Santri yang diumumkan namanya di masjid setelah Isya sebagai pelanggar, dijamin 100 persen gentar bertalu-talu. Pikiran sontak kalut akibat otak oleng. Batin meronta-ronta mirip pedosa yang dicabut nyawanya oleh malaikat maut. Ngeri bangets, guys. Akhirnya, voodoo medicines alias mantra mustajab dirapal tiap detik. Ada juga yang mengenakan sarung sebagai kamuflase. Padahal, di balik sarung, ia memakai celana jeans dobel. Ini untuk meredam efek pedis cambukan.
Qismul amni seyogianya tak menerapkan kebijakan antisantri. Apalagi, tiap santri punya otonomi untuk berkembang secara intelektual agar tercipta visi ilahiah maupun ilmiah. Santri memiliki wewenang untuk berkreasi. Santri punya hak guna membangun kultur teduh dalam belajar-mengajar.
Secara kodrati, santri cenderung bertingkah badung. Manuver-manuver liar acap dilakoni. Biarpun demikian, hukuman fisik bukan solusi. Sebab, اَلْاِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ (al-insaanu mahallul khathaai' wan nis-yaan). Pepatah Arab ini menekankan jika manusia normal niscaya berbuat salah sekaligus pelupa.
Terkenang Palopo
Di Divisi 8086, saya tergolong pelanggan paling setia qismul amni. Rata-rata dua kali sepekan saya diadili. Pada Selasa, 1 Februari 1983, saya bermimpi. Dalam mimpi tersebut, saya diadili oleh ayahanda Haji Fadeli Luran gara-gara nakal.
Hari demi hari datang dan pergi. Malam-malam mengerikan di qismul amni terus pula berjalan. Di sektor pemukul ini, mudabbir (pengurus) produktif memproduksi kekerasan. Seksi ini sepatutnya tidak mendedikasikan diri pada kezaliman. Qismul amni semestinya menjadi rujukan ideal dalam membina santri, bukan membinasakan. Apalagi, Pesantren IMMIM itu made for akhlaqul karimah. Jangan sampai qismul amni merusak cita-cita tersebut dengan membombardir santri pelanggar.
Kekejian yang dipraktikkan seksi keamanan pernah berujung tragis. Di suatu sore pada Kamis, 2 September 1982, pesantren didatangi serombongan pemuda Palopo. Mereka mencari personel qismul amni yang memukul santri asal Palopo. Kelompok ini sempat mendamprat mudabbir ISPM/OSIS.
Kengerian bertambah karena nanti malam akan tiba tiga truk kontingen Palopo. Anggota qismul amni mendadak terbirit-birit sembunyi. Tak berani keluar kamar. Pengecut!
Terkenang IIIA
Pada Rabu, 2 Februari 1983, qismul amni murka. Ini lantaran Shl (III) menyurat tadi sore ke mudabbir keamanan. Ia ingin bermusyawarah dengan tim peremuk nyali ini.
"Apa yang hendak dimusyawarahkan!" Terdengar pekik geram awak qismul amni.
Seksi keamanan lantas mendatangi kelas IIIA karena Shl mengatasnamakan kelas ini. Kala berdialog, Shl gugup. Ia sekenanya menjawab pertanyaan qismul amni. Santri lain di kelas IIIA ikut terpojok oleh korps keamanan yang berang. Semua kemudian marah ke Shl. Soalnya, tanpa persetujuan mengatasnamakan IIIA. Mereka menilai aksi solo run Shl terlalu mengada-ada, sekedar bualan belaka yang kosong-melompong.
Situasi di kelas berubah kacau bak ada genderang perang bergemuruh. Santri mengumpat Shl sembari berteriak-teriak bagai sirene pemadam kebakaran karena sebal tiada terkira. Shl nyaris ditonjok beramai-ramai akibat ulahnya. Shl lupa kalau qismul amni itu antikritik. Menentangnya ibarat melawan Kingkong.
Pada Selasa, 5 April 1983, namaku disebut di masjid sebagai pelanggar. Pukul 20.00, listrik mati. Tidak ada aktivitas di pondok lantaran lampu padam. Saya tertawa-tawa, selamat dari amuk qismul amni.
Kegembiraanku musnah. Malam berikutnya, namaku kembali diumumkan di masjid. Kali ini saya menghadapi petaka besar. Qismul amni berkolaborasi dengan keamanan rayon Pangeran Diponegoro untuk mengadiliku. Begitu berharganya saya sampai qismul amni bersinergi dengan keamanan rayon. Saya menghadapi 2 in 1. Ini operasi gabungan untuk merontokkan mental. Bomber-bomber qismul amni menjelma armada terminator yang mematikan. Nyaliku ciut juga. Bisa saja saya dibantai secara santai. Saya akhirnya diancam diberi surat pernyataan untuk dibaca nanti subuh.
Terkenang Mantang
Malam ini Selasa, 8 Februari 1983, saya masuk lagi qismul amni. Seksi keamanan kian garang. Kemarin malam mereka rapat. Hasilnya, bakda Isya ada tiga pelanggar membaca surat pengakuan untuk tak mengulang pelanggaran. Mereka adalah Arham (II), Mahmuddin (II) serta Ilham (III).
Pelanggaranku malam ini persis sebelumnya yakni gaib di kelas dan terlambat ke dapur. Saya diberi pula surat pengakuan untuk dibaca besok malam di masjid.
Dari qismul amni, saya ke kamar. Saya beritahu Akmal Hasan (IV) yang ketua rayon Pangeran Diponegoro bahwa malam ini saya berhenti jadi ketua kamar.
"Kenapa? Ada apa?", tanya Kurnia Makkawaru (VI), pembina kamar.
"Saya sering melanggar. Jadi tidak mau lagi jadi ketua kamar".
Usai Magrib pada Rabu, 9 Februari 1983, saya ke pasar Bharata. Makan sup dengan minum limun orange di kedai. Saya lama di pasar karena tak sudi membaca surat pengakuan.
Ketika balik ke kampus, saya diberitahu teman-teman bila dicari keamanan. Saya berstatus buronan. Terkenang film koboi saat sherif berseru: "Wanted dead or alive". Sadis betul. Malang nian nasibku.
"Tadi Sukwan (III) lucu waktu baca surat pengakuan. Ia tidak menyebut namanya Sukwan, tetapi, Ucok", papar seorang kawan.
Pada Sabtu, 12 Februari 1983, Muhammad Thanthawi (III) bersama Muhammad Yunus (III) menemuiku usai bolos. Keduanya dengan wajah tegang menyampaikan bahwa "kamu gawat sekali". Selain dibenci sekali qismul amni, istri pimkam juga marah. Musababnya, pelanggaranku terus bertumpuk. Biasnya memakan korban baru.
Kamis malam pada 10 Februari 1983, Bibi Mantang dipanggil ke pimkam. Mantang selama ini yang menyiapkan saya hidangan spesial. Ikhwal inilah yang membuatku malas ke dapur. Hingga, sering masuk qismul amni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar