In Memory of Muhammad Faisal (Angkatan 84)
Pergi dalam Lelap
Oleh Abdul Haris Booegies
Seorang sahabat menelpon sebelum Ashar pada Sabtu, 27 Maret 2021. Ia menginformasikan jika Ir H Muhammad Faisal MT telah lama meninggal, sekitar lima tahun silam.
Inna lillahi wa inna ilahi rajiun. Saya tercenung. Ia wafat pada Jumat, hari yang tepermanai berkahnya. Tanggal kematiannya pun cantik, 15 5 15.
Saya menghentikan sejenak mengedit profil Lukman Mubar, Andi Nurzaman Razaq, Amir Zaman dan Andi Syamsir Patunru. Faisal juga saya pilih sebagai jemaah 100 SANTRI POPULER. Profilnya sebenarnya hendak saya ikutkan dengan empat alumni di atas. Saya urung karena data Faisal masih minim. Selain itu, empat profil alumni di edisi Ahad, 27 Maret 2021, terkesan panjang. Deret kalimatnya mirip arak-arakan semut yang menemukan gula.
Faisal berkantor di Dinas PU Makassar. Pada Kamis, 14 Mei 2015, ia bakal ke Jakarta bersama rombongan Dinas PU. Faisal berkemas. Ia mencari oblong putih kesayangannya. Sri Rezeki, sang istri mengatakan bila baju kaus tersebut akan dicuci. Faisal tetap mengambilnya, memasukkan ke tas.
Usai shalat Maghrib, Faisal meninggalkan kediamannya. Ia bergabung dengan rombongan Dinas PU ke Jakarta. Dalam perjalanan ke bandara, Wahida Rahman menelpon. Sang adik ingin membicarakan sesuatu. Faisal menjawab kalau masalah itu nanti dibicarakan sesudah tiba dari Jakarta.
Sebelum tengah malam, Faisal di hotel menelpon istrinya. Ia berpesan untuk menjaga anak-anak. Faisal mengingatkan pula supaya menyemprot kamar anak-anak sebelum tidur.
Sebelum menghubungi istrinya, seorang rekan menganjurkan agar memberitahu jika ia muntah-muntah. Faisal tak menggubris. Usai menelpon, ia dipapah temannya ke toilet untuk buang air kecil.
Jumat pagi pada 15 Mei 2015, para mitranya heran. Faisal belum bangun. Padahal, selama ini ia dikenal sebagai pribadi alim. Subuh berlalu, fajar pun telah sirna oleh cuaca pagi, namun, Faisal masih di tempat tidur.
Seorang rekan kemudian menghampiri. Hendak membangunkan untuk bersiap melakukan pertemuan. Agenda hari ini ketat. Faisal dikenal punya etos kerja yang unggul di kantor. Konsistensinya juga tidak diragukan. Ia ulet mengambil keputusan strategis.
Saat mendekat ke tempat tidur, hati sahabatnya berdegup. Bergejolak bak kobar api melalap daun-daun kering. Ada yang tak beres. Ia terperanjat memandang Faisal terbujur kaku mengenakan oblong putih.
Suasana di kamar hotel lantas dipenuhi langkah-langkah yang tergesa-gesa. Suara tersedak, lidah kelu bagai mengunyah buah mengkal. Cemas menyergap karena momen selanjutnya terasa kabur. Mereka tidak percaya dengan musibah mendadak. Duka merayap, menyelimuti kamar. Menebar ke rongga-rongga dada rombongan Dinas PU.
Sri Rezeki tak kuasa bersuara tatkala ia mendengar kabar dari Jakarta. Kemarin ia masih di sini. Tadi malam ia masih menyapa. Ketika mentari menanjak ke siang pada pukul 10.00, ia dikejutkan berita. Faisal wafat. Dunia kita tidak lagi sama.
Hamba Tawakal
Faisal aktif di Darul Muflihin, masjid di dekat rumahnya. Ia lugas mendatangkan dai serta khatib. Sebab, dikelilingi banyak relasi sekaligus andal berkomunikasi.
Dua pekan sebelum meninggal, Faisal sering tafakur di masjid. Ia memaksimalkan kualitas ibadah secara gigantik. Faisal membahas pula problematik kematian dengan imam masjid.
Sepekan sebelum meninggal, Faisal menghubungi ibunya via telpon. Ia bertanya kabar. Faisal sempat mengutarakan bila nanti ia pergi selamanya, jangan bersedih. Kematian merupakan ihwal terbaik bagi hamba tawakal.
Faisal lahir pada 14 Februari 1966. Sebelum masuk Pesantren IMMIM, ia tercatat sebagai murid SDN No 8 Timporongan Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Setamat di pesantren, Faisal kuliah di Teknik Sipil Universitas Hasanuddin (Unhas). Ia juga melanjutkan program S2 di Unhas.
Sesudah menikah pada 5 Juni 1993, Faisal mengabdi di Tenggarong, perusahaan Jepang di Kalimantan Timur. Ia lalu menghajikan ibunya yang sebelumnya telah menunaikan rukun Islam kelima. Pada 2004, Faisal naik haji bersama istri serta Wahida.
Dari pernikahannya dengan Sri Rezeki, ia dikaruniai Ahmad Zulfikar, Muhammad Fathur Rahman, Siti Nurhalizah dan Muhammad Farhan.
Memori Simfoni
Faisal merupakan santri yang murah senyum. Suka menyapa dengan suara lembut. Ia figur yang begitu ramah. Hatinya senantiasa cenderung pada kebaikan. Faisal tak pernah bermain janji yang menimbulkan harapan hampa. Jejaknya sebagai santri tidak terdengar pernah menebar riak dalam dinamika kehidupan pesantren. Ia seolah bersahabat dengan malaikat serta bidadari.
Faisal identik dengan Segeri, kecamatan di Pangkep. Di Segeri, orangtuanya memiliki Rumah Makan Aman. Banyak santri sering bercerita perihal Aman. Soalnya, orangtua Faisal menjamu sampai puas santri yang berkunjung ke Aman.
Saat saya kelas III, hanya Faisal yang punya gitar di pesantren. Ia piawai memetik gitar. Suaranya enak pula didengar. Ketika saya berulang tahun di pesantren, ia sempat memamerkan kelihaian bermain gitar. Sebuah lagu ia senandungkan.
Tiga hari sebelum libur pesantren, saya nonton aksi John Rambo dalam First Blood di Paramount pada Kamis, 2 Juni 1983. Dua hari berikutnya, di asrama saya memutar kaset berisi lagu It's a Long Road. Kala asyik mendengar dendang yang dibawakan oleh Dan Hill, tiba-tiba Faisal menghampiriku. Ia tersenyum sambil menatap saya.
"Lagunya Rambo?", tanya Faisal agak ragu.
"Iya", jawabku.
Saya heran, bagaimana Faisal bisa ingat nyanyian ini. Apalagi cuma terdengar di ujung akhir film. Apakah lagu ini memang indah atau memori simfoni di kepalanya begitu kuat mengingat.
Faisal telah tiada, tetapi, keramahannya tetap tergiang. "The song is ended but the melody lingers on", ujar Irving Berlin.
Narasumber
Hj Sri Rezeki
Hj Wahida Rahman ST