Jumat, 20 November 2020

Membela Kehormatan Pesantren IMMIM


Membela Kehormatan Pesantren IMMIM
(Bagian kesebelas dari 21 tulisan)
Oleh Abdul Haris Booegies


     Kala asyik membombardir alumni durhaka tukang ikut campur, seorang teman mengirim pesan.  "IMMIM tak punya tokoh kiai.  IMMIM berjalan sebagai sebuah sistem.  Kalau sistem diserang, ini berbahaya.  Sebab, tidak ada figur sentral yang meredam serangan".
     Saya termangu, bagaimana jika ada orang luar menyerang.  Ia tangguh merangkai narasi guna memanipulasi persepsi.  Urat takutnya juga sudah putus.  Ia leluasa main seruduk persis banteng terluka.  Ditambah memiliki tim yang sanggup menghantam secara sistematis di tiap lini.  Adakah warga IMMIM, khususnya alumni yang rela berdarah-darah menghadapinya di medan laga terdepan.
     John Naisbitt bersama Patricia Aburdene dalam Megatrends 2000 meramal sepuluh arah baru untuk 1990-an.  Satu di antaranya yakni Kejayaan Individu.  Ini menarik bila dikaitkan dengan IMMIM (Yasdic, Gedung IMMIM, Pesantren dan IAPIM).
     Sepeninggal ayahanda tercinta Haji Fadeli Luran pada 1992. IMMIM tak punya sosok sentral sebagai pemersatu sekaligus mediator.  IMMIM tidak memiliki tokoh yang dapat mengubah serta menyatukan aspirasi secara menyeluruh.  Dinamika yang ada selama ini bisa berjalan karena dimotori organisasi.
     Figur sentral acap lebih kokoh dibandingkan sistem.  Musababnya, individu tangguh lebih efektif melakukan perubahan ketimbang organisasi.  Sosok sentral andal menggerakkan massa untuk berpindah dari satu dimensi ke dimensi lain.  Ayatollah Ruhollah Khomeini dan al-Mukarram Imam Besar Umat Islam Habib Rizieq Shihab, sebagai contoh.  Keduanya mampu membuat orang datang berduyun-duyun berkat kharisma, bukan iming-iming materi.  Tak ada CEO dari korporasi global yang dapat membuat orang rela berjalan kaki untuk menyambut kedatangannya.  Mark Zuckerberg saja cuma disambut ala kadarnya di Indonesia.  Padahal, bos Facebook tersebut menyimpan lebih satu miliar data pribadi penduduk bumi.
     Tokoh sentral IMMIM mustahil muncul dari alumni dalam beberapa tahun mendatang.  Pasalnya, secara sepintas, program utama alumni ialah reuni.  Kalau reuni, mereka jagonya.  Kegiatan sebelum serta setelah reuni bakal bergema berhari-hari di media sosial.  Ahlu ar-reuni ini terus-menerus menggorengnya sampai gosong siang malam.  Apalagi ada sugesti dari santri pelarian alias tidak tamat.  Santri DO (drop out) turut menambah seru kisah reuni sampai terdengar di cakrawala.  Motto alumni kekinian: "Jalan ninjaku adalah reuni".  Lebay bangets bagi mantan calon ulama intelek.
     Figur sentral merupakan fondasi maupun unit dasar perubahan.  Kita merindukan sosok sentral supaya tak terjadi kemelut internal yang radikal.  Ketiadaan insan super elite akan merepotkan IMMIM jika terjadi kisruh.  Apalagi bila muncul begundal minus filosofi etika yang loncat pagar mencampuri urusan yang bukan wewenangnya.
     Tidak ada yang menginginkan Republik Dendam di IMMIM, terutama sesama alumni.  Semua berharap muncul Dinasti Silaturrahmi yang memegang teguh keharmonisan.  Visi tetap suci demi membela kehormatan IMMIM.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People