82. Al-Infithar
(Terbelah)
Dengan Nama Allah, Pemilik Kasih Sayang yang Mahapemurah
1. Jika langit
terbelah.
2. Bila bintang-gemintang
jatuh berserakan.
3. Kalau laut meluap
bergejolak.
4. Jika kubur-kubur
dibongkar.
5. Manusia lantas
tahu yang pernah dikerjakan sekaligus yang ia lalaikan.
6. Hai manusia! Apa yang menggoda kalian sampai durhaka kepada
Tuhanmu yang Mahamulia?
7. Tuhan mencipta
sembari menyempurnakanmu. Kemudian
menjadikan susunan tubuhmu sepadan.
[1. Allah merancang tubuh
manusia secara sempurna, tetapi, mayoritas tidak bersyukur. Mereka malahan menjadi penentang Allah. Padahal, kesempurnaan tubuh mutlak digunakan
untuk mengabdi kepada Allah.
2. Ubay bin Khalaf merupakan
penentang Nabi Muhammad. Ayat 6 serta 7
ini diturunkan sebagai peringatan keras bagi Ubay.
Riwayat lain melaporkan
kalau dua ayat ini terkait dengan Aswad bin Syariq. Ia memukul Nabi Muhammad]
8. Mendesain kau
dalam rupa apa saja yang Ia suka.
9. Sungguh
terlalu! Kalian terus-menerus mendustakan
Hari Pembalasan.
10. Ada
malaikat-malaikat yang mengawasi tindak-tandukmu.
11. Mereka makhluk
mulia. Mencatat seluruh pekerjaanmu.
12. Mereka senantiasa
tahu apa yang kalian perbuat.
13. Insan berbakti benar-benar
berada dalam Surga yang sarat nikmat.
14. Orang durjana menetap
di Neraka Jahim yang berkobar-menjulang.
15. Mereka didepak ke
Neraka pada Hari Pembalasan.
16. Mereka tak pernah
absen di sana.
17. Apa kamu paham Hari
Pembalasan?
18. Sekali lagi, tahukah
kamu Hari Pembalasan?
19. Di momen itu, seseorang
tidak berdaya sedikit pun berbuat sesuatu kepada orang lain. Segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan
Allah.
[“Segolongan dari umatku bakal terus saling membantu, membela
manusia. Kemudian Kiamat tiba, namun,
mereka tetap tolong-menolong”.
Hadis ini menekankan bahwa
di Hari Kiamat ada satu kelompok Islam yang tetap saling membantu. Semua berkat kuasa Allah]
Derajat Terjemahan
Terjemah
al-Qur’an bukan al-Qur’an sesungguhnya.
Bukan al-Qur’an sejati yang diwahyukan kepada Maharasul Muhammad. Al-Qur’an senantiasa berbahasa Arab
klasik. Tidak dinamakan al-Qur’an jika
firman-firman Allah tersebut disadur ke bahasa Bugis atau Perancis. Soalnya, terjemahan muskil menampung seratus
persen maksud al-Qur’an. Alih bahasa mustahil
sepadan dengan arti hakiki yang dimaksud Allah.
Apalagi, bahasa al-Qur’an bernas, ringkas, puitis sekaligus sarat makna.
Sedangkan aneka bahasa yang digunakan
dalam terjemahan tak efektif serta efisien.
Terjemah
al-Qur’an hanya deretan kata manusia, bukan untaian Kalam Ilahi dari Lauhul Mahfuz. Hingga, terjemah al-Qur’an tidak hidup, tak
punya sukma yang bisa menggelorakan spirit.
Terjemah al-Qur’an selalu kaku dan acap membingungkan. Dengan demikian, posisi terjemahan sekedar
“pengantar” untuk membaca al-Qur’an.
Bukan “kunci” buat memahami al-Qur’an.
Terjemah
al-Qur’an tidak pernah serupa.
Terjemahan senantiasa tampil beda.
Aspek itu menandaskan bahwa terjemahan tak mungkin setara dengan
al-Qur’an. Maklum, Kalam Ilahi tersebut
memiliki irama dalam teks, kejelasan arti, sintaks kalimat serta penggunaan
kata.
Terjemah
al-Qur’an secara harfiah (letterlejk) termasuk
repot diaplikasikan. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa terjemahan harfiah rumit lantaran membutuhkan persyaratan
yang berat direalisasikan. Terjemahan
harfiah susah karena ada mufradat
(sinonim) per huruf antara bahasa penerjemah dengan bahasa al-Qur’an. Kemudian ada tanda baca yang sama pada bahasa
penerjemah terhadap tanda baca pada bahasa al-Qur’an. Tanda baca tersebut minimal mirip. Selain itu, terjemahan secara harfiah
menuntut kesamaan susunan kata antara bahasa penerjemah dengan bahasa
al-Qur’an. Kesamaan tersebut mencakup
kalimat, sifat atau tambahan-tambahannya.
Terjemahan
harfiah diharamkan ulama akibat makna yang dikandungnya kurang sempurna. Hatta, jauh dari maksud al-Qur’an.
Walau sukar,
tetapi, ada terjemahan yang benar-benar setia pada kata-kata dalam
al-Qur’an. Mereka berusaha selaras
dengan wahyu. Sebab, khawatir
mengaburkan arti. Mereka menjaga
interpolasi pikiran.
Terjemahan tidak
lepas pula dari platform sastra.
Terjemahan berdimensi puitis itu diperkaya dengan nuansa keindahan
bahasa si penerjemah. Dalam kasus ini,
penerjemah dapat digolongkan sebagai figur liberal. Pasalnya, menyuntikkan semangat bahasa ibu si
penerjemah ke dalam terjemahan. Mereka tak
menyukai kesetiaan pada tiap kata-kata Arab.
Penerjemah semacam ini memakai kebebasan dengan kata-kata pilihan.
Di berbagai bentala,
ada terjemahan yang benar-benar akademis.
Ada juga sekedar informatif dengan bumbu bahasa jurnalistik
sastrawi. Tiap kalimat tidak setia
dengan kata per kata al-Qur’an. Spirit
yang diemban ialah bagaimana al-Qur’an cepat diserap dan tak membosankan
ditelaah.
Pada akhirnya, seluruh
terjemahan dilandasi vitalitas agar Kalam Ilahi tersebut membuncah di hati. Tiada seorang pun ingin menampilkan
terjemahan ala kadarnya. Elemen itu pula
yang membuat segenap terjemahan wajib dilengkapi di sisi kanan atau atasnya
teks al-Qur’an yang berbahasa Arab. Alhasil,
bila ada yang salah atau keliru, maka, pembaca segera mengecek ke al-Qur’an asli.
Terjemahan apa
saja terasa sempurna kalau dilampiri teks tulen al-Qur’an. Soalnya, al-Qur’an berbahasa Arab tersebut
sanggup berpengaruh secara psikologis terhadap pembacanya, biarpun ia tidak
mengerti bahasa Arab.
Di luar
negara-negara Arab, istilah paling membingungkan dalam al-Qur’an yakni kata nahnu.
Dhamir (kata ganti) nahnu bermakna “kita” atau “kami”. Dalam ilmu Nahwu (sintaksis), nahnu bisa
diterjemahkan “kita”, “kami”, “saya” atau yang lain tergantung konteks kalimat.
Dalam bahasa
Arab, istilah serta kata tak selalu berarti zahir atau apa adanya. Sebagai contoh, kata antum (kalian). Antum sering digunakan untuk menyapa
lawan bicara kendati cuma satu orang. Tidak
dipakai kata anta (kamu). Penggunaan antum yang plural dipandang lebih sopan sembari menghargai lawan bicara.
Di Indonesia,
orang menyapa lawan bicara dengan kamu, Anda atau tuan. Kamu, Anda dan tuan punya rasa bahasa yang
berbeda. Kamu biasa dipakai untuk lawan
bicara yang lebih muda atau di kalangan sebaya.
Anda digunakan kepada lawan bicara yang dituakan. Sementara tuan buat orang yang
dimuliakan. Anda serta tuan dalam
sosio-linguistik Arab bermakna ta’zim
alias kata beradab terhadap lawan bicara yang memiliki derajat tinggi atau
kepada khalayak.
“Kami” merupakan
sebutan Allah untuk diriNya. Dalam
bahasa Arab, ada jamak kuantitas dan jamak kualitas. Jamak kuantitas (al-mutakallim ma’a ghairihi) menunjukkan jumlah banyak atau kata
ganti orang pertama plural. Sedangkan jamak
kualitas (al-mutakallim al-muazzim li
nafsih) menerangkan pola tunggal dengan banyak predikat atau berarti
keagungan atas dirinya.
Dalam tata bahasa
Arab, terdapat kata ganti pertama singular “ana”
(saya). Lantas ada kata ganti pertama
plural “nahnu” (kami atau kita). Lazim terjadi pada bahasa lain jika kata
ganti pertama plural bisa berperan sebagai singular. Dalam nahwu
sharaf (Arabic grammar), inilah
yang dinamakan al-mutakallim al-muazzim
li nafsih (kata ganti pertama yang mengagungkan diri sendiri).
Allah menegaskan
diri dengan “Kami” berkat predikat di sisi-Nya berjumlah banyak. Zat Esa itu tercantum sebagai pencipta,
pengatur, pemelihara, pemaaf, penyayang serta Raja Diraja alam semesta. Allah tak tidur! Ia sibuk terus mencipta seraya mendengar doa
insan saleh.
“Semua makhluk di
langit dan bumi senantiasa memohon kepada-Nya.
Tiap waktu Ia sibuk (mencipta serta memelihara makhluk-makhluk-Nya)” (ar-Rahman: 29).
Saat membaca
al-Qur’an, maka, bertabur kata Allah dalam Kitab Suci. Harap dimafhumi bahwa nama asli penguasa
langit dan bumi tiada lain Allah. “Aku
ini Allah. Tiada Tuhan kecuali Aku!” (Thaha: 14).
Allah sendiri memaklumatkan
bila nama-Nya adalah Allah. Allah
merupakan nama diri (proper name)
dari Zat Mahakuasa. Dalam kaidah bahasa
Arab, kata Allah berwujud ism jamid. Kategori tersebut menjabarkan kalau kata
Allah bukan ism (kata benda) yang
diambil dari kata kerja. Arkian, tidak
boleh diubah dalam bentuk apa pun! Ini
berbeda dengan kata rabbun (tuhan). Rabbun
modelnya ism musytaq (kata benda yang
dibentuk dari kata lain dengan arti berbeda dari kata pembentuknya). Rabbun
terambil dari kata kerja rabba, rabbi
atau tarbiyatan.
Istilah Allah bagi
umat Islam teramat jelas posisinya.
Berbeda dengan Yahudi. Mereka tak
mengerti bagaimana mengucapkan fonem יהוה (YHVH) dalam Perjanjian Lama. Ini gara-gara tidak ada tradisi sanad (rentetan
jalur sumber) yang sampai kepada Nabi Musa.
Akibatnya, Yahudi bingung bin bimbang membaca YHWH (tetragrammaton alias empat huruf nama tuhan). Bahkan, Yahudi Ortodoks ogah
melafalkannya. Mereka terpaksa
membacanya adonai (tuhan atau tuan). Di kamus tersua bahwa adonai ialah a Hebrew name
for God, usually translated in the Old Testament by the word “Lord”.
Untuk mengibuli
umatnya serta penduduk planet biru ini, maka, YHWH diinformasikan sebagai
sebutan dalam bentuk orang ketiga tunggal.
YHWH dicelotehkan sebagai “Dialah yang ada, Dialah Dia”.
Pada esensinya, empat
konsonan itu sekedar ditebak pengucapannya.
Kadang dibaca Yahweh, Yahuweh,
Yehuwa, Yahavah, Yaheveh, Yahaveh atau apa saja sesuai selera. Dengan demikian, Yahweh atau Yehovah
sekedar nama jadi-jadian bagi tuhan mereka.
Ini sungguh aneh. Sebab, nama
tuhan mereka sendiri tak diketahui secara pasti.
Di kalangan
Kristen, istilah Allah bukan nama diri sebagaimana konsep Islam. Kristen menganggap jika Allah merupakan
sebutan untuk “wujud yang disembah” (al-ilah). Hingga, tuhan boleh dipanggil Allah, Yahweh, God atau Lord. Mereka cuma paham bahwa nama tersebut merujuk
pada sesuatu yang disembah.
Terkutuk
sekawanan agen Thaghut (sesembahan
paling nista) berlabel Islam progresif berasas liberal yang berceloteh: “Tiada
tuhan selain Tuhan”.
Abdul Haris Booegies
Tidak ada komentar:
Posting Komentar