Senin, 01 Agustus 2011

Soeharto Jadi Pahlawan

Soeharto Jadi Pahlawan
Oleh Abdul Haris Booegies
     Mendadak ramai lagi terdengar nama Soeharto.  Ia tidak bangkit dari kubur, tetapi, Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, mengajukannya sebagai Pahlawan Nasional.  Pendukung Soeharto menerangkan supaya mengesampingkan kesalahan penguasa rezim Orde Baru itu.  Sebab, tak ada orang yang betul-betul bersih dari kesalahan.
     Kementerian Sosial sekarang tengah menggodok 10 nama untuk diusulkan memperoleh gelar Pahlawan Nasional.  Di antara tokoh tersebut terdapat nama Soeharto.  Setelah masuk di Kemensos, 10 nama itu dibawa ke Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan yang dipimpin oleh Menkopolhukam.  Kemudian Menkopolhukam mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2010.
     Riwayat  Soeharto memang riuh.  Ia mampu berkuasa selama 32 tahun.  Ajaibnya, ia memerintah dengan tangan besi di negeri kepulauan.  Satu pulau dengan pulau lain saling berjauhan.
     Soeharto tidak sama dengan diktator Rumania Nicolae Ceausescu yang berkuasa di sebidang negeri di daratan Eropa.  Soeharto berbeda dengan pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Than Shwe.  Letak geografis Myanmar nyaris terkucil di antara negara-negara Asia Tenggara.  Sedangkan Indonesia begitu transparan di peta dunia dibandingkan Rumania atau Myanmar.
     Selama memerintah 32 tahun, Soeharto jelas acap menelurkan kebijakan kontroversial.  Berderet sejarah kelam menghias perjalanan negeri ini.  Soeharto tak dapat dipisahkan dengan tragedi politik 1965, petrus (penembakan misterius) terhadap preman, tragedi Tanjung Priok, Operasi Mawar, pelanggaran HAM di Timor Timur, penculikan aktivis prodemokrasi maupun Operasi Jaring Merah di Aceh.
     Soeharto juga dituduh menyelewengkan kewenangannya sebagai presiden dengan memberikan kemudahan kepada putra-putrinya dalam berbisnis.  Beberapa koleganya dipermudah pula buat melebarkan sayap bisnis.  Akibatnya, konglomerasi yang korup menghancurkan sendi-sendi perekonomian Indonesia.  Negara ini akhirnya dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.  Transparancy International (TI) menempatkan Soeharto sebagai seorang kepala negara terkorup dalam 20 tahun terakhir.
     Walau kebijakannya banyak bertentangan dengan HAM, namun, Soeharto rupanya dicintai.  Buktinya, ia didambakan sebagai Pahlawan Nasional.  Soeharto memang harus diakui sebagai orang besar.  Hingga, pantas memperoleh tanda jasa.  Masalah yang mengusik nurani ialah mengapa Soeharto mesti memperoleh gelar pahlawan tatkala bangsa ini sedang kolaps.  Apakah frustrasi sosial yang melanda masyarakat mulai membingungkan pemerintah.  Hatta, isu krusial dialihkan ke pencalonan Soeharto sebagai pahlawan.

Otoriter
     Wajar jika ada orang yang menginginkan tokoh idolanya sebagai pahlawan.  Di sisi lain, penganugerahan yang prematur teramat riskan.  Musuh-musuh Soeharto masih banyak yang hidup.  Orang yang pernah dizalimi masih segar-bugar.  Ingatan terhadap Orde Baru masih sangat kental.  Perasaan serta hak-hak banyak orang yang menjadi korban kebijakan politik Soeharto masih mekar di lubuk hati.
     Sebagaimana dilansir sebuah media bahwa frustrasi sosial terjadi karena lemahnya penegakan hukum, ketiadaan keteladanan dari elit politik dan maraknya tingkat kemiskinan.  Frustrasi sosial juga diikuti bigotri (paham yang intoleran).  Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, bigotri terjadi di Indonesia lantaran sistem pemerintahan yang otoriter terlalu lama diterapkan.  Sepanjang era Orde Baru, tidak ada yang benar kecuali Pemerintah.  Mereka yang tak setuju lantas ditangkap atau dieksekusi.
     Rezim Orde Baru kerap melukai, menodai serta merusak toleransi, pluralisme atau multikulturalisme.   Hak warga negara tidak punya harga di mata penguasa.  Kecurigaan seolah terus mengungkung Orde Baru.  Alhasil, kekerasan pun menjadi hal lumrah demi melanggengkan kekuasaan.  Orde Baru begitu menikmati ekstasi kekerasan.
     Gaya pemerintahan militeristik-represif yang banyak menelan korban membuat orang enggan menerima penyematan gelar pahlawan kepada Soeharto.  Rachland Nashidik, Sekretaris Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM Partai Demokrat, dengan tegas menolak bila Soeharto mendapatkan gelar pahlawan. “Soeharto tak layak diberikan gelar Pahlawan Nasional karena kepemimpinannya yang otoriter”.
     Dewasa ini, Indonesia dipentung aneka prahara.  Sementara penguasa seolah tidak tanggap.  Aksi 20 Oktober 2010 pun dicurigai sebagai gerakan untuk mendongkel pemerintahan yang sah.  Pada esensinya, pemerintah lebih baik bekerja untuk menyelesaikan sejumlah agenda bangsa.  Tak usah merawat kecurigaan yang mengungkung diri.

Harakiri
     Di masa kini, ada dugaan kalau pemerintah tidak serius menangani agenda bangsa.  Banyak tersisa aturan yang dianggap abu-abu.  Dana bertaburan, tetapi, gagal didayagunakan ke dalam sistem.  Arkian, banyak yang tak produktif.  Padahal, membuncah kebijakan serta strategi yang bagus, namun, implementasinya nihil.  Bencana pun tiada putus merajam sebagai ekses kebijakan yang buruk.
     Isu yang selalu membuat masyarakat prihatin ialah wakil rakyat yang terinfeksi malas bersidang.  Anggota dewan membuat pula rumah aspirasi yang dituding sekedar proyek.  Studi banding atau study tour dilakoni saat negeri ini membutuhkan pertolongan ekonomi.  Bahkan, terdengar delapan anggota Badan Kehormatan DPR plus dua staf ke Yunani belajar etika.  Perjalanan selama enam hari tersebut menguras uang negara Rp 1,4 miliar.
     Ketika Indonesia berduka oleh tsunami di Mentawai berikut letusan Gunung Merapi, ternyata 16 anggota DPR keluyuran ke Italia.  Mereka berangkat pada 26 Oktober 2010.  16 anggota DPR itu akan studi banding perihal pembangunan rumah susun.  Mereka pergi diam-diam ke Negeri Pizza supaya tidak terjadi ribut-ribut.  “Ini disebut mental maling.  Legitimasi moral mereka mencapai titik nol”, cetus Hamdi Moeloek, pakar psikologi politik dari UI.
     Nurani kita setuju dengan Sebastian Salang, Koordionator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).  Ia menekankan jika anggota dewan lebih baik ke Jepang.  Di sana mereka bisa belajar budaya mundur atau bunuh diri (harakiri) bila gagal melaksanakan tugas.
     Rakyat yang prihatin dengan perilaku anggota dewan, kian terpana dengan remisi dan grasi bagi terpidana korupsi.  Hingga, publik termangu, tersentak serta tak habis pikir.  Fulan bin Tikus yang menggarong duit negara justru diberi kebebasan secuil demi secuil.  Padahal, dulu ia sulit ditangkap untuk diadili.  Keadilan betul-betul sudah karam di negeri ini.
     Kalau Soeharto memperoleh gelar pahlawan 50 tahun setelah kematiannya, maka, hal tersebut patut dipuji.  Soalnya, durasi waktu yang panjang banyak menapis dan menepis beragam kejahatan seorang tokoh.  Pada 2058, pengikut Orde Baru hampir pasti tiada lagi.  Alhasil, penyematan gelar pahlawan terasa netral.  Tidak menjilat sekaligus tak ada upaya untuk menyelamatkan sang bos yang dulu dihujat siang-malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People