Minggu, 15 Desember 2024

Renovasi Masjid ath-Thalabah

 

Renovasi Masjid ath-Thalabah
Oleh Abdul Haris Booegies


     Tanpa terasa, telah berlalu waktu selama 33 tahun sejak kepergian Haji Fadeli Luran.  Pendiri Pesantren IMMIM tersebut wafat pada Ahad, 1 Maret 1992.  Aktor dengan konektivitas berjangkauan luas itu menghembuskan nafas di rumah sakit Fatmawati, Jakarta.
     Dalam mitologi Nordik, Fadeli Luran ibarat pohon ash Yggdrasil.  Sebuah pohon ash kolosal dengan sentuhan ekstravaganza.  Pohon ini mekar di antara sembilan dunia.  Pucuk dahan ash menjulang ke angkasa.  Ini serupa santri-santri Fadeli Luran yang berjumlah ribuan.  Mereka berkelana ke arah empat mata angin, dua samudera dan lima benua.
     Saat takziah pertama, saya hadir bersama segelintir alumni.  Bertindak selaku penyambut tamu di Jalan Lanto Daeng Pasewang yakni Azhar Arsyad, direktur Pesantren IMMIM Putra.  Ia didampingi Ahmad Fathanah, putra Fadeli Luran.
     Penceramah ialah Andi Sose.  Ia membuka pidatonya dengan mengakui jika dulu dengan Fadeli Luran, sama-sama nakal.  Ini sontak mengundang gelak tawa.
     Andi Sose menyampaikan bahwa semasa Fadeli Luran masih sehat, ia menghubunginya.  Memberi kabar bila masjid ath-Thalabah di Pesantren IMMIM Putra, sudah tidak mampu menampung jumlah santri.  Andi Sose pun menyatakan kesiapan untuk merenovasi masjid.
     Di suatu siang usai kuliah di Unhas, saya mampir ke pesantren.  Saya heran karena pembangunan masjid tersendat.  Ini sudah sekitar satu tahun sejak dibongkar.
     Saya tanya Ibu Nuhaerah, istri ustaz Saufullah MS.  Ia cuma bingung.  Tak tahu-menahu soal keterlambatan pembangunan.  Ini laksana ada yang berkelok.
     Selang beberapa hari, saya berdiri seorang diri di depan sekretariat Iapim di Gedung IMMIM.  Mendadak dari koperasi muncul Ibu Rahmah, istri Fadeli Luran.
     Ibu Rahmah bergegas menghampiri seraya menunjuk ke arahku.
     "Haris?  Ini Haris!"
     Saya agak gugup.  Ada apa ini?
     Rupanya, Ibu Rahmah mau memaparkan keterlambatan pembangunan masjid ath-Thalabah.  Ia pun menerangkan mengapa masjid agak lama rampung.
     Penjelasan ini penting karena Ibu Rahmah mencemaskan ada asumsi liar.  Ia khawatir ini diangkat ke media cetak.  Apalagi, saat itu saya doyan melansir berita ketimpangan, khususnya di majalah Lektura.  Seperti dimaklumi, Lektura akhirnya tewas diberedel setelah banyak membeberkan kebohongan.

Eksekutor
     Masjid ath-Thalabah merupakan pusat seluruh aktivitas di Pesantren IMMIM Putra.  Masjid ini laksana gerbang kebaikan.  Mendekapkan kalbu ke masjid seolah membawa aneka berkah.  Kahlil Gibran tentu sahih bahwa Tuhan menciptakan banyak pintu kebenaran.  Pintu-pintu tersebut terbuka bagi segenap insan yang mengetuk dengan jari-jari iman.
     Di Pesantren IMMIM, durasi kegiatan santri diselaraskan dengan jadwal shalat.  Sebagai umpama, bakda shalat Shubuh, ada santri yang belajar atau berolahraga.  Bahkan, joging sampai di jembatan Tello yang berjarak sekitar tiga kilometer.
     Selepas shalat Zhuhur, seluruh santri bersantap siang.  Usai shalat Magrib, santri makan malam.  Di masa Azhar Arsyad sebagai direktur, makan malam diadakan sebelum Magrib.  Ini untuk memaksimalkan santri mengaji bakda Magrib.
     Pukul 20.00 selepas Isya, seluruh santri diwajibkan belajar di kelas.  Aktivitas ini khatam pada pukul 22.00.  Santri kembali ke bilik masing-masing untuk tidur atau nonton TV di masjid.
     Di era 80-an, santri junior hanya boleh menyaksikan Dunia Dalam Berita yang disiarkan TVRI pada pukul 22.00.  Sesudah itu, mereka dipaksa ke kamar.  Siapa bandel akan dicatat sebagai pelanggar untuk digebuk sampai bonyok oleh algojo-algojo keji qismul amni (seksi keamanan).
     Dewasa ini, masjid di kampus II Pesantren IMMIM di Moncongloe, punya fungsi lain.  Santri pelanggar dieksekusi di masjid.  Tidak terbayang di kepala, hukuman fisik yang merupakan ciri khas Pesantren IMMIM di Tamalanrea era 80-an, kini diekspor ke Moncongloe.  Momen mencekam itu kiranya tiada beranjak.  Tak sirna usai melewati ratusan purnama selama empat dasawarsa.  Jangan kaget, dua eksekutor adalah alumni pesantren.  Ada lagi satu non-alumni, berinisial T.  Betul-betul jagoan!

Negosiator
     Kepergian Fadeli Luran, menandai dua peristiwa besar di Pesantren IMMIM pada 1992.  Pertama, masjid ath-Thalabah dirombak total.  Kedua, pesantren membuka diri untuk menerima santri baru dari tamatan SMP.
     Wajah baru Pesantren IMMIM dengan dua iklim baru, merupakan gebrakan antisipatif terhadap perubahan.  Ini lantaran IMMIM tidak punya lagi tokoh sentral.  Fadeli Luran tak memiliki putra mahkota untuk menggantikannya.  Ia juga tidak mewariskan sosok pengganti yang ideal di kalangan pengurus IMMIM.
     IMMIM -terutama pesantren- wajib berbenah.  Bergerak di tengah kemunculan pesantren lain.  Dulu, nama besar Fadeli Luran adalah jaminan keunggulan.  Kepergiannya niscaya mempengaruhi seluruh sepak-terjang IMMIM, termasuk pesantren.
     Fadeli Luran merupakan sosok pantang mengalah sebagaimana Letnan John McClane (Bruce Willis) di film Die Hard.  Selain bermental die hard, Fadeli Luran juga dikenal sabar dalam merajut impian.  Seperti ungkapan Jalaluddin Rumi: "Kesabaran dengan keandalan mengamati detail kecil, memacu kesempurnaan dalam pekerjaan besar".
     Apa yang disuarakan Rumi dibuktikan oleh Fadeli Luran dengan mendirikan Pesantren IMMIM.  Sebuah pesantren yang bergelimang keharuman selama dua dekade di ujung akhir milenium kedua.
     Babad Fadeli Luran mengajarkan kita bahwa orang besar tidak dilahirkan.  Drama hidupnya tidak lurus, tetapi, melengkung bak lorong berlika-liku.  Klasemen seputar hayatnya malahan diselang-seling dengan beragam tragedi.  Ditangkap Belanda sebagai pejuang kemerdekaan.  Dijebloskan ke bui gara-gara fitnah.  Suatu riwayat pilu yang akhirnya mengubah versi kehidupannya.  Hatta, sanggup mengukir sejarah dengan warna-warni.
     Dalam sirahnya, Fadeli Luran cuma sampai kelas III SD.  Kala remaja, ia jongos Belanda yang kemudian banting setir menjadi saudagar, polisi serta tentara.
     Biografi Fadeli Luran semelodi-seharmoni dengan petuah Ali bin Abi Thalib.  "Jangan menyangka dirimu makhluk kecil.  Pada dirimu tersimpan jagat raya mahaluas".
     Kini, Fadeli Luran sebagai figur dominan IMMIM telah lama pergi.  Orang-orang bakal mengenangnya sebagai pendakwah, pebisnis, patriot sekaligus negosiator ulung yang dilengkapi lidah nan fasih.
     Kematian Fadeli Luran mengingatkan heroisme pejuang Norse yang lestari dalam hikayat sebagai Viking.  Pendekar Viking meyakini bahwa kematian mustahil dihindari, namun, kemasyhuran pasti abadi.


Sabtu, 23 November 2024

Kata Kenangan: Level Terkini

 

 

 

Kata Kenangan: Level Terkini
Oleh Abdul Haris Booegies


     Dalam percakapan dengan seseorang atau sekelompok individu, kita kerap terkesan dengan sebuah kalimat yang terucap.  Barangkali himpunan kata itu indah, bertenaga, inspiratif atau mengandung nasehat luhur.  Sebait kalimat tersebut boleh jadi diperoleh dari interaksi santai menjelang senja, diskusi atau khotbah perihal dongeng kesalehan.
     Sebuah kalimat yang membekas, bukan hanya enteng melewati zaman maupun generasi.  Kata-kata pilihan itu kiranya dapat memperbarui sesuatu dalam diri, mengubah pola pikir atau menjadi komedi hitam di masa mendatang.  Apa yang dulu menyakitkan, rupanya bersalin rupa menjadi bahan tawa setelah melewati berlapis dasawarsa.  Aspek lain boleh jadi sebaliknya.  Kekonyolan yang membuat kita terpingkal-pingkal, bisa jadi menimbulkan dendam berkarat dalam sanubari.
     Dalam skala kecil interaksi, serumpun kata bermakna juga terkadang muncul.  Sebagai umpama, di Pesantren IMMIM.  Saya ingat sewaktu kelas III.  Pendiri pesantren murka.  Haji Fadeli Luran berkacak pinggang menyemburkan amarah.  Semua gara-gara ada sekelompok santri melempari rumah Pimpinan Kampus yang terletak dekat 20 toilet.  Ini berawal tatkala beredar isu SPP bakal dinaikkan.
     Selama tiga malam berturut-turut, rumah Pimpinan Kampus dilempari jika tengah malam.  Kabar tak sedap ini akhirnya didengar pendiri pesantren.
     Bakda Magrib, Haji Fadeli Luran pun meluapkan kemarahan.  Ia mencela pelemparan rumah Pimpinan Kampus.  Santri lantas dituding sebagai "setan berbulu".
     Ungkapan "setan berbulu" biasa terdengar di negeri-negeri Bugis sekitar Sidrap.  Ini adalah makian bagi orang nista, kelompok terkutuk atau makhluk laknat.  Di mata pendiri pesantren, segerombol santri telah menjadi insan negatif alias setan berbulu.
     Di Pesantren IMMIM, interaksi sesama santri melahirkan banyak kata-kata yang sulit terlupa.  Apalagi, anak IMMIM andal merangkai morfem baru yang memelencengkan makna kata.  Biarpun suka usil dalam merangkai secara salah bahasa, tetapi, orientasi tersebut tidak mendefinisikan identitas orisinal santri IMMIM.
     Di suatu Sabtu pagi saat kelas III, saya mengagetkan rekan di kamar 1 rayon Pangeran Diponegoro.
     "Maujud tuffahah shabahan", desisku dalam bahasa Arab Tamalanrea (Ararea) dengan mimik serius.
     Kawan-kawan berkumpul.  Ada apa?  Apa itu tuffahah shabahan?  Mereka seolah meminta konfirmasi validitas diksi.
     "Maujud tuffahah shabahan", ulangku sambil berakting ketakutan seolah hendak diterkam binatang buas.
     "Apa itu tuffahah shabahan?  Ada apa?"
     "Apel pagi!"  Jawabku ketus.
     "Sariqun, azunnu maza (sialan, saya kira apa)", umpat penghuni kamar.
     Apel dalam bahasa Arab ialah tuffahah (تفاحة).  Sedangkan pagi yakni shabahun (صباح).  Saya tidak tahu bahasa Arab tentang "upacara" (احتفال) alias ceremony atau "apel pagi" (موكب الصباح) alias morning parade.  Jadi saya sekenanya meracik ungkapan; "tuffahah shabahan".
     Secara psikologis, mudah untuk mengoyak nyali santri.  Soalnya, suasana terkadang mencekam.  Sebab, terkadang ada inspeksi mendadak di kamar.

oOo

     Saat kelas II, Pesantren IMMIM kedatangan guru baru.  Ini guru spesial karena perempuan.  Inilah guru wanita pertama di Pesantren IMMIM.  Kami tentu gembira menyambutnya.  Namanya Syamsinah.  Saya cepat akrab karena ia orang Sidrap.
     Kata-kata ibu Syamsinah yang sampai sekarang tak luntur di ingatan yaitu mengenai gaji pertama.  Menurutnya, bila nanti santri menjadi pegawai, maka, persembahkan gaji pertama untuk orangtua; ayah dan ibu.
     "Ini akan bermakna sekali sebagai bentuk terima kasih kepada orangtua yang telah bersusah payah membesarkan kita".

oOo

     Tatkala duduk di kelas II di Pesantren IMMIM, saya ditempatkan di kamar 1 rayon Datuk Ribandang.  Di sini berkumpul santri badung dengan tubuh raksasa.  Saat itu, saya masih tergolong liliput di antara penghuni yang secara fisik tergolong gigantis.  Maklum, mereka kelas III serta IV.
     Dalam sebuah interaksi, Mujiadi yang kelas IV berteori usai menimbang secara saksama dalam tempo singkat mengenai ragaku.
     "Haris nanti berbadan besar", ujar Mujiadi.  Di kampus IMMIM kala itu, Mujiadi termaktub sebagai satu dari tiga santri tertinggi.
     Di Angkatan 80, Ikbal Said tertoreh sebagai santri jangkung.  Tinggiku berada di bawahnya.  Ikbal merupakan atlet serbabisa.  Perutnya laksana batu bersusun alias sixpack.

oOo

     Santri nakal di Pesantren IMMIM, rupanya memusingkan pembina serta guru.  Ketika saya kelas III, diuji coba sel khusus untuk santri bandel.  Saya mujur karena tidak pernah diterungku di sel khusus ini.  Sampai sekarang, saya sering heran.  Bagaimana mungkin bisa lolos dari sel khusus.  Padahal, pelanggaranku berjibun.
     Kendati senantiasa selamat, namun, nasib apes dialami lemari dan kasurku.  Pimpinan Kampus menyanderanya kala saya kabur ke bioskop.  Semua barangku diboyong ke sel khusus.
     Sebagai hukuman akibat doyan bolos dari kelas sekaligus kabur dari kampus, saya pun dikarantina di Wisma Guru.  Wisma Guru merupakan bekas rumah Pimpinan Kampus.
     Di Wisma Guru, sudah ada Mukbil yang kelas III.  Saya bersama Mukbil diawasi langsung oleh Abdul Kadir Massoweang, wakil Pimpinan Kampus.
     Di Wisma Guru, saya bukannya tobat, justru merasa menemukan lahan untuk berbuat apa saja.  Di sinilah bulan madu kebebasanku di hamparan aturan ketat Pesantren IMMIM.
     Di siang bakda Zhuhur selepas berlalu beberapa bulan, saya dipanggil Kadir Massoweang.
     "Kamu nanti pindah ke kamar I di bangsal Imam Bonjol", ucap Kadir Massoweang.  Tentu saja saya kaget bukan kepalang.  Dunia seolah berhenti berputar.  Jarum jam pun ibarat tidak berdetak.
     "Saya jangan dulu dipindahkan, Pak.  Saya belum sadar", suaraku lirih agak merintih.
     "Kau sudah baik.  Sudah bisa jadi teladan bagi teman-temanmu", pungkas Kadir Massoweang sebelum meninggalkanku seorang diri di ruang tamu Wisma Guru.
     Selama ini saya menduga bahwa minpi indahku di Wisma Guru bakal lestari.  Tanpa disangka, tiada pula dikira, ternyata mimpi indah itu punya tanggal kedaluwarsa.
     Sejak hijrah ke bilik Imam Bonjol, kebebasanku sirna bak ditelan longsor di musim prahara.  Saya tidak lagi kebal hukum.  Di Wisma Guru, saya leluasa bolak-balik keluar kampus.  Banyak yang mengira tindakanku atas restu wakil Pimpinan Kampus.  Padahal, itu sekedar keisengan belaka.  Kini, semua berubah.  Namaku kembali semarak dikumandangkan di masjid sebagai santri pelanggar yang mutlak dihukum sehabis shalat Isya.

oOo

     Pada 1986, segelintir warga Iapim latihan karate Black Panther di Gedung IMMIM.  Senpai Indra Jaya Mansyur yang melatih.
     Saya yang masih santri kelas VI, tergiur berlatih bersama anggota Iapim.  Senpai setuju saya bergabung.  Bila Ahad sore, saya ikut senpai ke Gedung IMMIM.
     Di suatu kesempatan usai latihan, saya disuruh pulang sendiri ke pesantren.  Senpai punya keperluan jadi tidak bisa pulang bersama.
     "Jangan ke mana-mana.  Kau langsung pulang ke pesantren", pesan senpai seolah mengkhawatirkanku mampir di bioskop.
     Begitu senpai Indra selesai mengucapkan peringatannya supaya saya langsung pulang, terdengar celoteh alumnus.
     "Pulang ke kandangnya".
     Suasana sontak menggelikan.  Suara terkekeh membahana.  Saya tersipu.  Apalagi, belum tertera sebagai jemaah Iapim.
     Sampai hari ini Sabtu, 23 November 2024 sesudah berlalu 36 tahun, kalimat "pulang ke kandangnya" masih bergiang keras di kepala.  Terdengar semacam guyon, tetapi, mengandung sarkasme.  Pasalnya, hidup di pesantren sama artinya kebebasan dibatasi.  Padahal, doktrin internal Pesantren IMMIM, kelak menemani alumni sepanjang hidup menuju tujuan besar.


Senin, 18 November 2024

Kata Kenangan

 

 

 

Kata Kenangan
Oleh Abdul Haris Booegies


     Interaksi merupakan bagian dari pergaulan.  Dengan berinteraksi, ada timbal-balik pengaruh antarhubungan.  Interaksi bisa sesama murid sekolah, rekan kerja, tetangga atau orang yang baru dikenal.
     Dalam berinteraksi, usia serta derajat bukan penghalang.  Siswa dapat berinteraksi dengan guru atau pegawai.  Karyawan dengan manajer, wartawan dengan redaktur atau pembeli dengan penjual.
     Interaksi ada di mana-mana, termasuk di Pesantren IMMIM.  Di kampus Islami ini, santri junior bisa berinteraksi dengan santri senior.  Santri enteng pula berinteraksi dengan ustaz, guru serta pembina.  Bahkan, ada santri berinteraksi dengan koki cantik.  Punya hubungan khusus dengan koki, jelas menguntungkan santri.  Sebab, masakan enak pasti menjadi santapan wajib tiap hari.
     Di Pesantren IMMIM, santri yang kokoh secara finansial alias santri sultan atau santri berparas ganteng, tidak boleh punya dua koki kesayangan.  Ini supaya tidak terjadi kecemburuan.  Kalau kedua koki cemburu, niscaya santri bersangkutan yang gigit jari.  Hidangan lezat mendadak tidak tersedia.
     Ketika menjadi santri di Pesantren IMMIM para 1980-1986, ada beberapa ucapan istimewa sahabat yang muncul dari interaksi.  Kalimat khusus ini seolah masih tergiang sampai kini.
     Sayangnya, untaian kata ini tidak tercatat di buku harianku.  Saya sanggup mengingatnya lantaran kesan kalimat tersebut begitu dalam.  Kata-kata ini enteng ditelisik berkat ada peristiwa yang akan, sedang atau sudah berlangsung turut mengiringi.

oOo

     Saat kelas IV, saya biasa menggunakan kata "modern" untuk hal-hal heboh.  Di suatu kala, Musytari Randa yang berdiri di dekatku depan selasar asrama Panglima Polem lantas berkomentar.  "Modern dalam bahasa Arab adalah mutakhir".
     Saya termangu.  Rupanya mutakhir adalah bahasa Arab.  Di kurun tersebut, istilah "canggih"  belum muncul.  "Canggih" mulai ramai digunakan sewaktu saya kelas VI.  Dipopulerkan oleh Menristek BJ Habibie.

oOo

     Saat duduk di kelas IV, saya selalu kabur ke bioskop.  Pimpinan Kampus akhirnya mencidukku untuk ditempatkan di Wisma Guru.  Di sini, Mukbil yang kelas III lebih dulu dikarantina.  Kami sama-sama bandel tingkat akut.  Di Wisma Guru, ada ustaz Abdul Kadir Massoweang, Wakil Pimpinan Kampus.  Belakangan bergabung kyai Abdul Kadir Kasim.
     Saya cuma berdua Mukbil sebagai santri di Wisma Guru.  Di sinilah masa-masa jaya kebebasanku.  Saya bawa radio tape recorder dengan lebih 50 kaset.  Majalah juga saya boyong, termasuk kitab suciku, majalah Vista.  Di seluruh asrama di kampus IMMIM, benda-benda ini tergolong barang haram.  Duo Abdul Kadir seolah cuek melihat ulahku.  Keduanya tak pernah menegurku soal radio, kaset maupun majalah.
     Di suatu hari, bergiang musik dari radio.  Kyai Kadir Kasim lantas mengintip ke bilikku.  "Merrung radiona Haris (bunyi radionya Haris)", ujarnya.
     Saya menahan tawa mendengar bahasa Bugis kyai Kadir Kasim.  Maklum, pilihan katanya salah.  Ini karena kyai Kadir Kasim orang Selayar.  Bukan "merrung" bila radio, namun, "moni".  "Merrung" dan "moni" sama-sama berarti bunyi.  Kalau mesin, mobil serta motor, digunakan "merrung".  Sementara untuk radio, televisi atau mainan portabel dipakai morfem "moni".
     Ketika bersua Lukman Sanusi yang orang Sengkang, saya ceritakan kecelakaan bahasa yang dilakukan kyai Kadir Kasim.  Lukman sontak terbahak.  Ia tak mampu menahan tawa.

oOo

     Di suatu hari, saya berpapasan dengan Mahmuddin Achmad Akil di lapangan kampus.  Wajahnya tampak ceria.
     "Ada kabar kalau adikku telah lahir", ungkap Mahmuddin dengan mata berbinar.  Bibirnya berhias senyum akibat segudang kembang bahagia memenuhi rongga dadanya.
     "Perempuan adikku", sambungnya senang.  Saya hanya terpana mendengarnya.  Tak sanggup berkata-kata.  Raut muka Mahmuddin perlahan berubah.  Ada hasrat sekaligus harapan bergelayut di roman mukanya.  Ia pasti ingin segera pulang ke Sidrap.  Mau mencium adik barunya.  Hendak menggendong sebagai bentuk kasih sayang.  Mata Mahmuddin mulai berkaca-kaca.  Ada keharuan, ada kerinduan di Tamalanrea untuk adik baru di Sidrap.

oOo

     Sewaktu kelas II, saya mulai memajang poster di dekat ranjangku.  Poster itu hasil kreasiku karena bisa melukis.  Naik kelas V, poster yang saya tempel di dinding sekitar 20, belum termasuk di lemari.  Tentu saja poster tersebut aktris Hollywood dan roker Amrik yang dibeli di toko buku.  Saya tidak bernafsu menempel poster selebritas Mandarin walau ada yang cantik seperti Lin Ching Hsia.
     Di suatu hari, Fuad Mahfud Azuz bertandang ke tempatku di kamar 1 Panglima Polem.  Ia heran karena di lemariku ada dua poster bayi.
     "Biasanya yang suka poster bayi itu cewek", ujar Fuad.

oOo

     Di suatu senja saat kelas V, saya mengajak Abdul Hafid ke bioskop.  Ada film baru.  Hafid ogah, bergeming.
     "Saya mau mengadili dulu di qismul amni (seksi keamanan).  Kamu saja yang pergi", jawabnya dengan senyum meringis.
     Tentu saja mustahil menunggu Hafid.  Ia mulai mengadili santri pelanggar pada pukul 20.00.  Sementara film diputar pukul 20.00.
     Mengapa Hafid tersenyum menyeringai ketika menyuruhku pergi seorang diri ke bioskop?  Ini lantaran ia menikmati aksi menggertak seraya memukul santri pelanggar.  Tidak heran jika banyak santri junior menudingnya kejam.  Mereka kapok diintimidasi secara fisik sampai jantung nyaris copot.

oOo

     Menjelang ujian untuk tamat dari pesantren, saya ke kelas yang tidak jauh dari kantor Pimpinan Kampus.  Di siang bakda Zhuhur itu, kami kelas VI sudah tidak aktif belajar.
    Tatkala hendak masuk ke kelas, Saifuddin Ahmad melintas di koridor.
     "Kita harus belajar keras.  Tidak seperti Shalahuddin yang satu kakinya sudah ada di perguruan tinggi", seloroh Saifuddin seraya memperagakan satu kakinya masuk ke ruang kelas.
     Shalahuddin Ahmad bukan santri sembarang.  Ia cerdas sekali.  Saya pernah ke biliknya.  Jangankan di ember ada rumus fisika, di timba sumurnya saja ada rumus kimia.  Seingat saya, ia punya 23 buku fisika saat kelas VI.
     Prediksi Saifuddin benar.  Shalahuddin lolos di ITB.  Sementara Saifuddin di Fisipol Unhas.  Saya di Sastra Unhas.

oOo

     Saat ujian Pesantren 1986, dua rekan hampir tidak ikut.  Semua gara-gara mengusik santriwati saat Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebtanas).  Senpai Indra Jaya Mansyur pun murka.
     Segelintir santri kelas VI,  tidak puas dengan tindakan senpai.  Ini memicu kasak-kusuk untuk melakukan perlawanan.
     Informasi ini tersembunyi.  Saya pun hampir tidak mengendusnya.  Saya dihindari karena termaktub orang kedua di Black Panther unit IMMIM.
     Di suatu interaksi selepas Matahari tergelincir, saya bersama empat kelas VI berbincang.  Di momen itu, tiada satu pun kata yang saya ucapkan.
     "Bagaimana dengan kamu, Lukman", pancing seorang kawan.
     "Tidak mungkin saya mau lawan guruku!"  Sembur Lukman Sanusi dengan suara marah sembari melirikku.
     Sampai sekarang, saya selalu lupa bertanya ke Lukman.  Apa maksud ia melirikku.  Apakah itu bermakna Lukman sependirian denganku untuk membela senpai atau sekedar drama ala sinetron TV swasta.


Minggu, 17 November 2024

Perjalanan Doa

 

 

 

Perjalanan Doa
Oleh Abdul Haris Booegies


     Kecepatan lari manusia per jam sekitar 16-24 km.  Rekor tercepat untuk jarak 100 meter dipegang oleh Usain Bolt.  Ia mencatat rekor dengan waktu 9,58 detik di Berlin pada 2009.
     Kecepatan berlari kuda sekitar 60-74 kilometer per jam.  Singa mencapai 80 kilometer per jam.  Sementara elang peregrine andal terbang dengan kecepatan 389 kilometer per jam.
     Pada 2004, pesawat nirawak NASA X-43A melesat dengan kecepatan March 9,6.  Ini berarti 11.854 kilometer per jam.
     Kecepatan cahaya mencapai 300.000 kilometer per detik atau 186.000 mil.  Ini termasuk kecepatan yang luar biasa.  Tidak salah kalau malaikat terbuat dari cahaya.  Ini agar aktivitasnya maksimal di segenap galaksi yang ditaksir berjumlah dua triliun.
     Walau cahaya teramat kencang, namun, doa lebih cepat lagi.  Doa yang dipanjatkan sedetik lalu malahan bisa mencapai langit.  Bukan cuma mengetuk gerbang langit pertama.  Doa justru mengetuk pintu Arasy, kawasan ilahi yang dipikul delapan malaikat gigantik.
     Bagaimana doa bisa sampai ke pucuk langit ketujuh?  Di zona kolosal tersebut, beragam rupa doa berkeliling di sekitar Arasy.  Ini markas komando jagat raya sekaligus pusat otoritas spiritual, tempat Allah bertahta.
Rotasi Tawaf
     Mekah merupakan pusat Bumi, bukan sekedar titik arah shalat.  Seorang sahabat menyampaikan kepada Maharasul Muhammad bahwa ia sudah menyembelih domba di Mina bakda shalat Idul Adha.
     Rasulullah kaget.  Pasalnya, di pagi itu sang Nabi belum menyembelih domba.  "Saya dulu yang menyembelih".  Maksud Maharasul Muhammad, orang-orang di Mekah dulu yang mesti menyembelih kurban bila waktu sudah masuk.  Ini memaparkan bahwa waktu di Mekah lebih awal dibandingkan di Mina.  Daerah pinggiran tidak boleh mendahului pusat.
     Di Lembah Bakkah, terdapat Kabah.  Bangunan kubus peninggalan Nabi Ibrahim.  Di seputar Kabah, jemaah melakukan tawaf.  Berkeliling tujuh kali dengan putaran berlawanan arah jarum jam.
     Mengapa tawaf harus berputar dengan mengingkari arah jarum jam?  Putaran berlawanan arah jarum jam menghasilkan semburan ke atas.  Sedangkan putaran yang sesuai gerakan jarum jam menghasilkan semburan ke samping.
     Doa tidak langsung naik ke langit.  Doa butuh energi supaya terpental ke atas.  Seluruh doa di tiap negeri yang dilantunkan niscaya mengarah ke Kabah.  Ketika sampai di Kabah, maka, doa terdorong naik oleh energi putaran tawaf.
     Ketika doa keluar atmosfer Bumi, maka, doa makin kencang melesat.  Sebab, Bumi juga berputar berlawanan arah jarum jam.  Arah rotasi Bumi yakni dari Barat ke Timur.  Bahkan, Matahari juga berputar berlawanan arah jarum jam.  Beberapa planet maupun benda angkasa ikut pula mendorong doa karena berputar berlawanan arah jarum jam.  Seluruh doa pun berbondong-bondong melintas di gerbang tujuh langit.  Doa akhirnya tiba di Arasy yang sedetik lalu diucapkan.


Jumat, 09 Agustus 2024

Kata Populer di Pesantren IMMIM


Kata Populer di Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pesantren merupakan pedepokan untuk mempelajari al-Qur'an.  Ini bermula ketika Islam masuk lewat jalur bisnis.  Dari sini muncul kegairahan pribumi untuk mempelajari Islam.
     Generasi awal pasca kedatangan Islam lantas mendirikan pusat-pusat kajian al-Qur'an.  Inilah yang menjadi awal pesantren.
     Ada tiga pesantren yang tercatat sebagai pesantren tertua.  Pesantren Sidogiri yang berdiri pada 1745.  Pesantren Jamsaren yang didirikan pada 1750.  Pesantren Miftahul Huda yang berdiri sejak 1785.  Sampai 2015, diperkirakan ada 27.218 pesantren di Indonesia.  Sementara santri mencapai 3,6 juta.
     Bagaimana nasib Pesantren IMMIM di tarikh 2024?  Kampus Islami ini seolah menghadapi badai gigantik.  Saya pernah dibisik bahwa Pesantren IMMIM, kini menurun.  Peringkatnya tidak menonjol.
     Saya langsung menyalahkan alumni sok jagoan yang dulu menghalangi penjualan lokasi Pesantren IMMIM di Tamalanrea.  Pada 2021, merebak isu kalau lokasi di Tamalanrea hendak dijual.  Ini untuk menajamkan eksistensi Pesantren IMMIM di Moncongloe dan Minasa Te'ne.
     Isu penjualan mendadak disambar oleh gerombolan alumni yang tidak menginginkan Tamalanrea dijual.  Tidak diketahui apa alasan pasti mereka.  Biasalah, santri IMMIM suka berulah, kapojiang.
     Kini, Pesantren IMMIM menurun peringkatnya.  Mana suara para begundal yang dulu menghalangi penjualan lokasi Tamalanrea?  Apa kau punya gagasan agar almamatermu tidak terkucil di tengah persaingan ketat.  Bersuaralah supaya almamatermu tidak tinggal riwayat, tidak tinggal kenangan.  Harap ingat, untuk mengubah persepsi, untuk melangkah ke depan, semua butuh biaya.  Sekarang, mana semua dulu kau yang seperti jagoan mabuk menghalangi penjualan Tamalanrea.  MANA SEMUA KAU!

Pesantren Diserang
     Di era 80-an, ada empat kata paling populer di Pesantren IMMIM.  Empat morfem ini begitu membekas di sanubari.
     Kata pertama yang populer ialah "kuubun" yang dilafalkan santri IMMIM dengan "kubong".  Kubong adalah mug besi.
     Seluruh santri baru alias kelas satu wajib punya kubong.  Barangkali kata ini yang pertama kali dihafal santri baru di Pesantren IMMIM.
     Kubong merupakan wadah serbaguna.  Bisa jadi gayung, tempat nasi jika ingin makan di kamar atau merendam celana dalam.  Santri yang takut keluar kamar di tengah malam, malahan menjadikannya pispot.  Ia tinggal menjulurkan rudal ke kubong untuk menampung air seni.  Bahkan, ada santri Aliyah lebih parah lagi.  Di kubong milik santri lain, ia beol karena takut ke toilet.  Apa boleh buat, kubong itu pun dibuang ke luar pagar.  Pertanyaannya, apakah cuma satu santri pelaku BAB di kubong.  Jawabnya, tidak!  Ada beberapa oknum santri yang mempraktekkan ekstrakurikuler ini.
     Kata populer kedua yaitu yafirru yang berarti melarikan diri, kabur dari kampus atau pulang tanpa izin.  Senior yang mengadili pelanggar yafirru biasa bertanya.  "Kamu lari?"  Maksudnya "kamu melarikan diri ke kota".
     Santri baru acap bingung kalau ditanya "kamu lari".  Hingga, pernah ada kelas I membela diri secara tegas bahwa ia tidak lari ke kota, tetapi, naik mikrolet (petepete).
     Kata ketiga yang populer di Pesantren IMMIM yakni "dicatat".  Dalam bahasa Arab Tamalanrea (Ararea) dilafalkan dengan "yaktubuka" (namamu dicatat).
     Mengapa nama dicatat?  Ini karena ada pelanggaran.  Bakda Isya pada pukul 20.00, para pelanggar akan dihukum secara fisik.  Ada dua yang menghukum santri.  Qismul amni (bagian keamanan) serta mahkamah lugah (pengadilan bahasa).  Dua seksi OSIS ini terdiri dari kelas IV dan V.  Mahkamah lugah khusus menghajar santri yang tidak menggunakan bahasa Arab.
     Qismul amni dengan mahkamah lugah inilah yang membuat banyak santri keluar dari pesantren.  Soalnya, pelanggar pasti ditempeleng, dipukul, dihantam, ditendang, dibenturkan atau dibanting.  Inilah sisi paling kelam di Pesantren IMMIM era 80-an.
     Kata populer keempat ialah shaf'atun (tempeleng).  Dalam bahasa Ararea yang menggunakan lidah Sulawesi Selatan dilafalkan sappatong.
     Santri yang berkali-kali melakukan pelanggaran, pasti merasakan bagaimana rasanya ditampar oleh senior.  Satu-satunya cara selamat agar tidak ditempeleng ialah mengundurkan diri sebagai santri.  Jika tidak, kau pasti ditampar oleh algojo-algojo qismul amni atau mahkamah lugah.  Sebab, mereka kecanduan kekerasan.  Bandit-bandit ini doyan menghukum secara fisik.  Siapa mau menolongmu?  Kau berteriak sekuat tenaga pun tidak ada yang menggubris.  Inilah potret Pesantren IMMIM era 80-an.  Inilah kekerasan terstruktur yang diperagakan selama bertahun-tahun.  Mirisnya, ini direstui oleh pimpinan kampus serta direktur pesantren.
     Sesungguhnya, menampar santri pelanggar dirintis oleh lima pembina awal Pesantren IMMIM.  Jangan kaget, seorang pembina berlabel raja tempeleng justru dipecat gara-gara menampar santri kelas VI.  Anehnya, jagoan tempeleng ini tidak menampar staf DPP IMMIM yang memecatnya.  Beraninya cuma ke santri.
     Pada 1989, saya dipanggil Azhar Arsyad yang merupakan Direktur Pesantren IMMIM Putra.  Ada masalah besar di kampus.
     Seorang santri junior digebuk dadanya oleh senior.  Persoalan muncul.  Pasalnya, anak ini punya kelainan jantung.
     Korban rupanya bukan santri sembarang.  Bapaknya polisi.  Ibunya jaksa.  Pamannya wartawan di surat kabar lokal Ujung Pandang.  Ini kombinasi mematikan yang sekarang merajam Pesantren IMMIM.
     Selama beberapa hari, muncul berita di sebuah harian lokal yang mendiskreditkan Pesantren IMMIM.  Dari sini, Azhar Arsyad memanggil saya.
     Saya pun meracik semacam bantahan atas informasi yang menyerang Pesantren IMMIM.  Bakda Isya, saya bersama Azhar Arsyad ke kantor redaksi harian bersangkutan.
     Saya tidak bisa lupa sewaktu melihat jurnalis yang merupakan paman korban, mengacuhkan kami seraya menggerutu.  Ia tak sudi menyapa.  Untung kami tidak jadi pusat perhatian karena seluruh reporter sibuk dikejar deadline.
     Pada Ahad, 17 September 1989, saya menulis artikel di Pedoman Rakyat.  Judulnya Anatomi dan Sistem Baru Pesantren Modern IMMIM.  Sebelum mengirim tulisan ini ke media, saya dihubungi Azhar Arsyad.  Ia ingin mengetahui apa yang saya tulis.  Azhar Arsyad berkali-kali mengoreksi agar tidak ada kalimat yang menyinggung perasaan.  Beberapa istilah maut yang merupakan ciri khasku, terpaksa dihapus.
     Tidak terbayang di kepala, kekerasan-kekerasan yang dulu dipraktekkan menyisakan banyak keruwetan di masa mendatang.  Satu di antaranya ialah runtuhnya citra Pesantren IMMIM.


Senin, 29 Juli 2024

Keburukan Santri


Keburukan Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pesantren selalu identik dengan kebajikan.  Sekolah asrama berlandaskan Islam niscaya menjadi idaman orangtua.  Di pesantren, para santri dididik ilmu agama serta pengetahuan umum.
     Orang luar pasti yakin 100 persen kalau pesantren minus keburukan.  Bagaimana mungkin ada perbuatan sungsang jika dimonitor selama 24 jam.  Yakuza maupun organisasi mafia saja tidak seketat pesantren.  Apalagi, lima kali sehari-semalam berhimpun di masjid untuk shalat.  Seluruh tata tertib seiring-senyaring bunyi lonceng yang menjadi penanda aktivitas.
     Di Pesantren IMMIM era 80-an, santri sangat dimanja.  Santri tidak tinggal di pondok.  Di sini saya mengartikan secara khusus istilah pondok dengan rumah kayu beratap rumbia.
     Sampai tahun 90-an, masih ada pesantren di Indonesia yang belum memiliki asrama dari bangunan batu.  Mereka ditempatkan di pondok-pondok yang daya tampungnya di bawah 10 santri.
     Santri ala pondok betul-betul mandiri.  Soalnya, mereka memasak sendiri.  Hingga, orangtua acap mengirim ikan kering satu kardus.  Ini untuk dimakan selama sebulan.  Kala itu, ATM belum populer bagi masyarakat.  Alhasil, pengiriman uang hanya lewat wesel.  Ini membutuhkan tenaga ekstra karena harus ke kantor pos.
     Sejak didirikan pada 1975, Pesantren IMMIM sudah berciri modern.  Bangunan batu pertama sebagai asrama yakni Datuk Ribandang, kini rayon Fadeli Luran.  Disusul asrama Sultan Hasanuddin sebagai bangsal untuk angkatan kedua pada 1976.
     Sejak awal, santri IMMIM tidak memasak.  Semua telah disiapkan oleh koki-koki cantik asal Kumadang.  Koki yang disapa dengan "Bibi" inilah yang berjibaku pada pukul 03.00 untuk menyediakan sarapan, santap siang serta makan malam.
     Selama menjadi santri pada 1980-1986, saya tidak pernah melihat koki terlambat menyiapkan hidangan.  Betul pernah terlambat tiga kali, namun, cuma satu menit.  Hingga, sebagian santri tampak beringas persis preman pasar yang overdosis kopi pahit.
     Sewaktu berstatus mahasiswa, ada mantan santri dari pesantren lain merasa takjub dengan Pesantren IMMIM.  Sebab, santri IMMIM termasuk ultramodern.  Perangainya tergolong pula liberal.
     Di Pesantren IMMIM, kami bisa mandi berapa ember pun air.  Leluasa mengelabui pembina untuk menongkrong di warung remang-remang di pasar depan pesantren.  Kami ulet kabur ke bioskop untuk nonton pada pemutaran midnite show.  Bahkan, menggoda siswi SMP yang lewat di depan kampus.  Betul-betul liberal level tujuh.
     Tiada gading tak retak.  Tiada kutang yang tidak putus talinya.  Santri IMMIM juga bernoda keburukan tingkat akut.
     Ada dua keburukan santri IMMIM era 80-an yang menjadi tradisi selama bertahun-tahun.
     Saat santap siang atau makan malam di dapur, nyaris selalu ada yang kehilangan ikan, sambal serta sebagian nasi.  Siapa yang mencurinya?  Pasti santri!
     Sesungguhnya, pencurian lauk adalah bentuk tindakan spekulasi.  Bila ketahuan, jadi bahan tertawaan.  Kalau tidak ketahuan, besok diulang lagi.
     Seingat saya, tidak ada santri pencuri ikan yang pernah dihukum oleh OSIS atau pimpinan kampus.  Bagaimana mau diinterogasi jika rata-rata pernah menggarong lauk di dapur.  Saya bersyukur tidak pernah menjarah ikan lantaran tak suka makan ikan.
     Budaya santri IMMIM yang juga parah ialah buang air besar (BAB).  Di era 80-an, berjejer 20 toilet pesantren di sisi Timur danau Unhas.  Masalah muncul.  Tidak semua santri punya ember.  Akibatnya, mereka ke kakus tanpa membawa air.  Tentu saja kotorannya menumpuk di jamban.  Lebih parah lagi, ia tidak cebok.
     Bila ada santri melenggang dari 20 WC mirip bebek, dapat dipastikan ia belum cebok.  Bayangkan kalau di sumur tidak ada juga timba.  Santri bersangkutan bisa berperangai primitif dengan mengambil dedaunan atau kertas untuk membersihkan pantatnya.  Jorok sekali.
     Pada 1982-1983, ada dua toilet umum nonresmi selain 20 WC resmi.  Pertama, di bawah bangunan kelas dekat laboratorium.  Santri yang kebelet lebih memilih ke sini untuk buang hajat.  Ini termasuk toilet superpro.  Apalagi, dekat dengan sumur kibar (senior).  Hingga, memudahkan cebok.
     Dari kakus superpro ini, muncul istilah "taker" alias tai kering.  Taker menyengat baunya kalau siang.  Menerobos ke barak Panglima Polem.  Di musim hujan, taker mengapung bersama sampah-sampah dari bawah bangunan kelas.  Sebuah panorama indah di Tamalanrea yang mustahil diceritakan oleh alumni IMMIM!
     Selain kakus superpro, ada juga ultra toilet pro max.  Ini favorit santri.  Lahan WC ini luas nian karena bekas sawah.  Terletak di belakang laboratorium dan di depan asrama Raja Khalik.  20 sampai 100 santri enteng berak secara bersamaan di sini.  Tidak terbayang jika mereka kentut serentak.  Dentuman meriam Kavaleri bisa kalah nyaring.
     Suasana di ultra toilet pro max terasa adem.  Udaranya segar karena berada di lahan terbuka.  Berbeda dengan di bagian bawah kelas yang level superpro.  Di situ banyak sampah, kecoak sekaligus nyamuk.
     Walau berlabel ultra toilet pro max, WC ini tidak boleh digunakan pada siang.  Penggemar fanatiknya wajib bersabar menunggu Magrib berlalu.  Maklum, ini tempat terbuka.  Siapa juga mau dipergoki jongkok sambil mengeluarkan cairan kental kuning.
     Kakus ultra pro max ini dikelilingi segitiga perigi.  Di Timur Laut, terletak sumur kibar.  Di Tenggara ada perigi dekat pagar kawat berduri panggung serbaguna Depdikbub.  Di Barat Laut ada sumur di sisi Barat asrama Raja Faisal.
     Patut disyukuri bahwa keburukan perilaku santri berupa mencoleng lauk dan beol di peturasan versi ultra pro max, tidak mengganggu proses belajar.  Santri IMMIM tetap tekun menimba beragam ilmu.  Masih lebih banyak santri ke 20 WC, ketimbang yang ke ultra toilet pro max.  Masih berjubel santri yang ke masjid, dibandingkan yang ke bioskop.
     Mencuri ikan serta aksi di ultra toilet pro max sekedar tindakan spekulasi di tengah keterbatasan.  Namanya juga santri IMMIM.  Tiada kehebohan, tiada kenangan.


Minggu, 09 Juni 2024

Selamat Tinggal SMA 1986


Selamat Tinggal SMA 1986
Oleh Abdul Haris Booegies


     Era 80-an merupakan masa emas Pesantren IMMIM.  Sekolah asrama ini disegani.  Nama kampus Islami ini terukir dengan tinta emas sekaligus wangi, seharum parfum Hajar Aswad.
     Santri-santri bangga disebut anak IMMIM.  Guru-guru yang mengajar tergolong bonafide di bidang masing-masing.  Pesantren IMMIM punya Mustafa M Nuri yang pengetahuan bahasa Arabnya luar biasa.  Ia lebih fasih berbahasa Arab ketimbang bahasa Indonesia.  Pesantren IMMIM juga memiliki Azhar Arsyad.  Visinya melampaui zaman untuk ukuran era 80-an.
     Seluruh kehebatan Pesantren IMMIM membentuk epos apik di masyarakat.  Tiap tahun, tamatan SD berduyun-duyun mendaftar untuk menjadi santri IMMIM.  Saban tarikh pula Pesantren IMMIM memproduksi alumni tangguh.
     Saya termasuk beruntung berada di zaman emas Pesantren IMMIM.  Sebagai jemaah Angkatan 80, saya menyaksikan kegigihan santri untuk bergerak maju.  Berhenti bukan pilihan.  Kami bertekad tidak berhenti sebelum mencapai kejayaan.
     Santri berjalan dituntun aturan, sesekali kami pun melanggar aturan.  Konsentrasi untuk tamat di Pesantren IMMIM mempengaruhi pikiran.  Santri rela tanpa syarat menjalani proses demi memprogram kebiasaan baru, tujuan baru.  Inilah yang pada hakikatnya membentuk jalan hidup kami.

Senin, 7 April 1986
     Sekitar jam lima sore, saya tiba di Pesantren IMMIM.  Ada kabar akurat bahwa santriwati Minasa Te'ne (Minten) telah tiba di Tamalanrea.  Mereka langsung digiring ke aula supaya tidak terusik santri bandel.
     Petang ini, saya ke laboratorium.  Ada pelajaran Biologi.  Ini yang terakhir kali laskar IPA belajar.  Ini pelajaran penghabisan sebagai anak SMA.
     Jantung berdegup kencang jika membayangkan hendak tamat dari pesantren.  Ini laksana mimpi.  Bagaimana mungkin kami dapat melewati durasi enam tahun?  Dulu, kami masih bocah ingusan.  Bila kencing selalu berdiri sampai air seni terpercik ke kaki.  Kini, kami remaja.  Janggut serta kumis mulai lebat.

Selasa, 8 April 1986
     Seluruh kelas VI Pesantren IMMIM, 78 putra maupun 50 putri, siap tempur menghadapi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).  Tentu saja ada rasa ciut melanda kalbu.  Jawaban salah niscaya membuat kami mengulang lagi pelajaran selama satu tahun.
     Anak IPS tidak lagi menumpang di sekolah lain sebagaimana saat ujian Aliyah.  Mereka bukan lagi organisme yang terbuang dari kumpulannya.  Di momen ini, tiada sekat antara IPA dengan IPS.  Kami sehati-sejiwa sebagai santri IMMIM.
     Hari ini kami ujian Pendidikan Moral Pancasila (PMP) serta Bahasa Indonesia.  Ruang tes membuatku tegang sejenak.  Apalagi, pengawas berasal dari sekolah lain.  Ini menambah jantung kembang-kempis.  Mental bagai terombang-ambing dihempas badai.
     Saya sempat memperhatikan wanita pengawas yang cantik.  Ada pula bertubuh sintal, menggemaskan.  Panorama seronok ini sedikit mengobati ketegangan.

Rabu, 9 April 1986
     Hari ini, kami ujian Bahasa Inggris serta Kimia.  Nyaris semua kewalahan dengan soal-soal Kimia.  Ini baru namanya ujian killer.  Kami tidak setengah mati, namun, setengah hidup mengerjakan Kimia.

Kamis, 10 April 1986
     Hari ini kami tes Biologi serta Fisika.  Sekalipun menyenangi ilmu hayat, tetapi, saya keteteran menjawab soal-soal Biologi.  Apalagi, Fisika.  Ini membuatku kapok.

Jumat, 11 April 1986
     Hari ini kami ujian Matematika serta Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA).
     Selepas tes Matematika, rekan-rekan mulai gaduh.  Lebih parah lagi lantaran baju ikut dicorat-coret.
     Ketika masuk ruangan untuk tes IPBA, banyak kawan yang bajunya sudah tidak karuan.  Mereka tampak bak gelandangan.  Ini gara-gara pakaian penuh coretan warna-warni.  Untung pengawas memaklumi.
     Usai IPBA, keadaan kian sulit terkendali.  Apalagi, sebagian santriwan mengganggu santriwati.  Adegan ini memaksa seorang ustazah Minten, menyemburkan amarah.
     Sore, latihan karate Black Panther ditiadakan.  Sebagian kelas VI menghibur diri dengan main bola.  Saya berposisi sebagai kiper.  Maklum, tidak lihai menendang bola.

Sabtu, 12 April 1986
     Hari ini kami tes Pendidikan Agama, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) serta Olahraga dan Kesehatan (Orkes).
     Sesudah tuntas ketiga ujian, kami pun berhamburan keluar ruangan.  Pekik dan tawa saling bercampur.  Kami meluapkan kegembiraan.  Berjalan ke sana kemari dengan senyum yang tak lepas dari bibir.
     Kami memprovokasi santriwati agar ikut euforia.  Mereka bergeming, tak mau turut dalam peristiwa bersejarah ini.
     Santri makin kalap.  Saling melempar telur busuk.  Mereka yang bergerombol menjadi sasaran empuk.  Saya selamat dari lemparan berkat mahir berkelit.
     Santri yang seolah kesurupan memacu kemarahan Haji Fadeli Luran.  Pendiri pesantren itu menegur keras perilaku santri yang tidak terkontrol.  Kami pun bubar.
     Santri peserta ujian meninggalkan kelas menuju ke asrama masing-masing.  Langkah kaki kami merupakan ucapan "selamat tinggal SMA".  Ini kesempatan terakhir kami memakai lambang OSIS SMA.
     Terkenang masa-masa puber di SMA.  Bersiul nakal ke siswi SMP yang lewat di muka pesantren.  Bergerombol duduk bersila di taman depan kampus guna mengintip lekuk paha gadis-gadis rok mini yang dibonceng.  Merayu atau mencolek mesra koki-koki di dapur.
     Pertualangan binal itu sekarang tandas, tinggal riwayat.  Kini, kami melangkah ke fase berikut.  Memasuki siklus hidup baru sebelum berganti oleh putaran selanjutnya.  Lembaran baru yang melintang di depan, tentu menjadi awal kembara.
     Tiap insan terikat jangka waktu tertentu di sebuah mandala.  Semua pasti berpindah dari satu bentala ke bentala lain demi mengubah citra diri.  Hari ini Sabtu, 12 April 1986 bertepatan 3 Sya'ban 1406, 78 anggota Angkatan 80 Pesantren IMMIM undur diri dari Tamalanrea sebagai pelajar SMA.  Kami pergi untuk menjadi legenda.

     Berikut daftar Angkatan 80 alias alumni 1986 Pesantren IMMIM putra dan putri yang disusun secara abjadiah.  Lis ini telah diverifikasi ulang agar valid 100 persen.
Abdul Aziz Yusuf
Abdul Hafid
Abdul Haris Booegies
Abdul Muiz Muin
Abdul Muqit
Abidin Husain
Agus Adnan
Agus Ambo
Agus Ramadan
Agus Salim
Ahbaruddin
Ahmad Hidayat
Ahmad Natser
Ali Yusuf
Ambo Siknun
Andi Arman
Andi Asri Lolo
Andi Fausih Rahman
Andi Martan Aries
Andi Syamsir Patunru
Ansyarif
Arfandi Dulhaji
Arifin Rahman
Armansyah
As'ad Ismail
Atmal Ariadi Djaenal
Awaluddin HK
Awaluddin Mustafa
Burhan Hamid
Chalid Lageranna
Daswar Muhammad
Fuad Mahfud Azuz
Hamid Seltit
Hesdy Wahyuddin
Ikbal Said
Imam Setiawan
Irsyad Dahri
Irwan Thahir Manggala
Iskandar Adnan
Lukman Sanusi
Muaz Yahya
Muhammad
Muhammad Akbar Samad
Muhammad Arfah
Muhammad Kuri Kilat
Muhammad Thantawi
Muhammad Yunus
Muhammad Zubair Andy
Mutalib Besan
Rusman
Sabri Rata
Sahabuddin
Saifullah Nurdin
Saiful Latief
Shalahuddin Ahmad
Sirajuddin Omsa
Suharkimin
Syafaruddin
Tahir Mana
Wahyuddin Naro
Wahyu Muhammad

     Angkatan 80 Pesantren IMMIM Putri Minasa Te'ne.
Aisyah
Amriani Amin
Andi Tenri Ajrana
Darmawati
Darwiyanah N
Fakhriah Mumtihani
H Jumriah
Hariani
Harmawati
Hasnawati
Humaedah Kamal
Janiah
Julianti
Jumariah
Khaerani
Khaeriyah
Mardiah A
Mardianah
Marhani Jamil
Mulianah M
Muslika S
Najmiah
Nur Hayana
Nur Jamil
Nur Saida Beta
Nurhaedah
Nurhidayah
Nursaidah N
Nursyamsu
Nurul Fuada
Pahmiati
Rahma Afiah Agustiati
Rahmatiah B
Rasnah
Rosmiati C
Rosmiati T
Rostiah HL
Ruqayah
Siti Habibah
Siti Hasrawati HS
Siti Syahri Nur
Sukhriani S
Suriani B
Sutriani
Syamsidar
Syarifa Jama


Jumat, 07 Juni 2024

Aliyah 1986 Pesantren IMMIM


Aliyah 1986 Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Semua kehidupan akan berakhir.  Secinta apa pun hati, ada batas untuk berpisah.  Ada sekat guna mengakhiri sesuatu demi menyongsong yang baru.  Ibarat langkah, ayunan kanan berakhir ketika kaki kiri melangkah.
     Di Pesantren IMMIM, santri kelas VI niscaya mengalami hari-hari emosional.  Menyeruak pergulatan batin.  Makin dekat ujian akhir untuk tamat, kian terasa menyiksa pikiran.  Di satu sisi wajib meninggalkan kampus setelah belajar enam tahun.  Di rongga terpencil kalbu, meronta asa untuk tetap berdiam di pondok.
     Kaki seolah tertancap untuk tetap tinggal di pesantren.  Ada keharuan tatkala hendak pergi.  Semua akibat sepetak tanah di Tamalanrea.  Di sebidang bentala tersebut, tertanam belahan hati selama berbilang hari, berbilang tarikh.
     Hati siapa tidak merintih saat harus melangkah keluar dari pesantren.  Terkenang suka duka yang membentuk aneka pertualangan manis maupun pahit.  Di kampus IMMIM, ketabahan diasah guna memperkuat karakter.  Santri saling menyokong, memberi dukungan emosional.
     Dari serpihan catatan, Angkatan 80 Pesantren IMMIM merupakan angkatan terbesar selama hampir dua dekade.  Ini berkat dihuni 78 alumni.  Sementara angkatan lain cuma berjumlah di bawah 70.
     Hari-hari menjelang senja Angkatan 80, khususnya anak IPA, tergolong indah.  Sebab, santri IPA mengerjakan seluruh ujian di kampus IMMIM.  Berbeda dengan anak IPS yang harus keluar kampus menumpang ujian di sekolah lain.
     Berikut hari-hari ujian Aliyah Angkatan 80 Pesantren IMMIM.  Disusun berdasar diari yang menjadi saksi aksi-aksi santri IMMIM di masa lampau.

Ahad, 23 Maret 1986
     Pagi ini, hujan turun.  Ini membuatku batal ke Maros untuk latihan karate Black Panther.
     Makin lama, hatiku berdebar-debar.  Tubuh seolah bergetar.  Belakangan ini, hari-hari begitu sarat pergolakan batin.  Semua karena saya tinggal menghitung hari untuk beranjak dari Pesantren IMMIM.
     Siang berlalu, petang menyingkir.  Malam pun merayap menggelapkan Bumi.  Jarum jam terus berdetak dari detik ke detik.  Ada gelisah mengusik ketika tidur.  Mata sulit terpejam.

Senin, 24 Maret 1986
     Ada sejumput kengerian di kalbu kala bangun menyambut fajar menyingsing.  Ini hari penentuan.  Kami bakal menghadapi ujian Aliyah, ujian akhir sebelum Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) serta ujian Pesantren.
     Pagi ini, kampus Pesantren IMMIM, diamuk dinamika.  Ada panorama molek.  Pasalnya, santriwati Pesantren Gombara serta siswi Aliyah/SMA Swasta Muallimin Muhammadiyah, ikut ujian di sini.
     Paling apes santri IPS Pesantren IMMIM.  Mereka ke kota untuk ujian di sekolah lain.  Ini bukti bahwa kesantrian bocah IPS tidak100 persen.  Berbeda dengan laskar IPA yang tetap tegap di Tamalanrea.
     Hari ini, kami ujian Hadis, Tafsir serta Syariat.  Kami agak gugup.  Musababnya, jawaban kami menentukan masa depan.
     Setelah ujian selesai, kami pun dilanda perasaan senang setelah tadi tegang.  Ini memompa rasa percaya diri untuk berjibaku di hari kedua besok.

Selasa, 25 Maret 1986
     Hari ini kami ujian Bahasa Arab dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
     Setelah mengisi jawaban, kami pun keluar ruangan.  Saling memamerkan senyum.
     Siswi Muhammadiyah rupanya kumpulan kupu-kupu cantik.  Berparas rupawan.  Ini membuat kumbang-kumbang IMMIM bersemangat.
     Bakda Ashar, banyak rekan sesama kelas VI saling menyiram air.  Teman yang berjalan mendadak disiram air dari ember atau wadah apa pun.  Sahabat yang basah kuyup tentu saja jadi bahan tertawaan.

Rabu, 26 Maret 1986
     Hari ini, kami ujian Bahasa Inggris serta Syariah.

Kamis, 27 Maret 1986
     Hari ini, kami ujian Bahasa Indonesia dan Olahraga Kesenian (Orkes).
     Saya teler menyelesaikan bahasa Indonesia.  Susah sekali pertanyaannya.  Lebih-lebih jawabannya.
     Usai ujian, saya pulang ke rumah.  Mau istirahat tanpa gangguan.  Apalagi, besok Jumat.  Kami prei.

Sabtu, 29 Maret 1986
     Hari ini ujian Fisika serta Biologi.
     Di antara sesama santri, membahana seorang siswi Muhammadiyah.  Menurut kawan binal, namanya berinisial S.  Ia cantik, mungil dengan kulit putih.  Saya belum pernah melihatnya.  Tentu mau berkenalan.

Senin, 31 Maret 1986
     Hari ini kami ujian Menggambar.  Saya jadi pahlawan bagi enam siswi Muhammadiyah.  Pensil mereka kedaluwarsa.  Saya pun meminjamkan pensil.
     Baru mereka tahu jika alat tulisku banyak.  Mungkin selama ini mereka mengira santri itu terbatas.  Padahal, kami hidup berkecukupan di pesantren.  Apalagi santri sultan.  Mereka tentu royal, terutama ke gadis-gadis sintal.

Selasa, 1 April 1986
     Siswi Muhammadiyah kian akrab dengan santri peserta ujian.
     Kami pun saling bertukar pandang, bertukar senyum.  Ujung-ujungnya, saling bertanya nama masing-masing.
     Saya memperkenalkan diri sebagai "Ogi".  Tawa siswi berderai mendengarnya.  Ada pula yang cekikikan.  "Seperti nama di film kartun, Yogie", ungkapnya geli.
     Saya dengan S bertukar alamat.  Saya langsung paham letak rumahnya.  Tidak jauh dari bioskop New Artis, markasku.
     Saya meminjam pulpen unik milik S.  Saya juga meminjam bukunya.
     Siswi Muhammadiyah bebas bergaul tanpa canggung di kampus IMMIM.  Berbeda dengan santriwati Gombara.  Mereka dijaga ketat oleh pembinanya.
     Saya sempat sebal.  Tatkala lewat di belakang aula, saya melirik ke santriwati Gombara.  Seorang ustazahnya menatapku tajam.  Dalam hati, sudah menumpang di sini, masih mau cari gara-gara dengan cara memelototiku.

Rabu, 2 April 1986
     Hari ini tes terakhir.  Pelajaran yang diujikan yakni Matematika serta Kimia.
     Begitu tuntas mengerjakan ujian, kami berhamburan keluar kelas.  Kami bahagia seolah sudah memandang langit ketujuh.
     Santri kelas VI lantas siram-menyiram.  Keadaan makin seru saat santri IPS tiba dari kota.  Paling kacau Saifullah Nurdin karena menyemprot baju dengan pylox.  Suasana pun membahana.  Suara riuh terdengar menggelegar.
     Saya mengajak enam siswi Muhammadiyah jalan-jalan ke kantin.
     "Asramamu yang mana?"  R dan F (keduanya inisial), bertanya.
     Saya menunjuk ke Timur, letak bangsal Panglima Polem.
     Di depan kantin, sejumlah rekan mencidukku.  Mereka datang tanpa diundang sewaktu saya dikelilingi cewek-cewek.  Saya meronta lantaran disemprot pylox.
     Siswi Muhammadiyah kerasan di kampus.  Kami menciptakan momen-momen menawan yang susah luntur dari ingatan.  Hari ini, santri bersama siswi merajut persahabatan penuh makna serta warna-warni.  Jiwa kami seolah terhubung.
     Untuk menambah kesyahduan, kami berfoto-foto.  Ada dua kamera.  Argus milikku, lainnya kepunyaan seorang siswi.  Kenangan yang diabadikan, tak bakal terancam eksistensinya dalam mengarungi pergantian zaman.
     Kala sang Surya tergelincir menuju petang, siswi Muhammadiyah pun pulang.  Santri genit melepas kepergian mereka dengan berat hati.  Maklumlah, santri merupakan pribadi yang rindu gelak tawa lawan jenis.  Kini, masih adakah pertemuan selanjutnya?


Jumat, 24 Mei 2024

Penamatan Angkatan 80


Penamatan Angkatan 80
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada Kamis, 24 April 1986, seluruh 78 Angkatan 80 meninggalkan Pesantren IMMIM.  Kami bukan lagi santri, tetapi, alumni keenam yang tergabung di Ikatan Alumni Pesantren IMMIM (Iapim).
     Pendiri Pesantren IMMIM Haji Fadeli Luran pernah bersabda.  "Kelak, anakda akan bertebar".
     Sebait kalimat monumental ini bergema syahdu.  Perlahan terbukti kebenarannya.  Putra-putri IMMIM enteng di mana saja ditempatkan di tengah gejolak kompleksitas kehidupan ultramutakhir.  Kami gesit bergerak di lintasan penuh tikungan tajam.  Anak-anak IMMIM andal berhijrah sampai ke lekuk terpencil Bumi.  Maklum, dilengkapi keunggulan sebagai makhluk mandiri.  Kami terbiasa hidup selaras kapasitas diri sendiri.  Tidak mengeluh, tidak merintih, tidak cengeng.  Tiada pula isak hati terpendam.  Kami justru terbiasa lapar, terbiasa rindu dan terbiasa menjomlo.  Coba, semua derita sudah kami rasa sewaktu bocah!
     Pada Selasa, 29 April 1986, di hari lahirku ini, saya merindukan Pesantren IMMIM.  Rindu setelah sepekan menjauh dari radius Tamalanrea.  Langit biru yang tak berujung seolah membisik mesra hatiku yang gersang.  Sayangnya, saya malas ke pesantren untuk sekedar jalan-jalan
     Hari ini Kamis, 1 Mei 1986.  Pukul 06.00, saya ke kios koran untuk membeli Mimbar Karya.  Setelah membolak-balik surat kabar ini, hatiku berdegup girang.  Saya lulus Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).
     Saya bergegas ke pesantren.  Di kampus, berjubel kawan dari Angkatan 80.  Semua berwajah ceria berkat lulus Ebtanas.
     Berkumpul bersama alumni 1986, terasa menggairahkan.  Kami senang lantaran bisa mendaftar sebagai calon mahasiswa baru.  Mendadak terasa bahwa Pesantren IMMIM memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengetahuan.
     Tidak lama lagi Angkatan 80 akan bergelut dengan aneka argumen, analisis maupun gagasan-gagasan spektakuler.  Ini pasti keren demi memperkokoh kemampuan analisis seraya menghimpun data valid dari sumber primer hakiki.
     Pagi pada Rabu, 14 Mei 1986, saya terkenang Pesantren IMMIM.  Saya teringat udara segar Tamalanrea.  Ingin menghirup aroma bayu Biringkanaya.  Menyembul kerinduan untuk menikmati lagi suasana pagi nan sejuk di pondok.
     Senja pada Sabtu, 21 Juni 1986, usai dari bioskop nonton Noda dan Asmara, saya ke Pesantren IMMIM.  Bakda Isya, saya mengatur kursi di aula.  Besok di tempat ini diselenggarakan wisuda keenam alumni Pesantren IMMIM.  Rekan sesama Angkatan 80, cuma satu atau dua yang sekelebat tampak.  Mereka sibuk menyiapkan diri menyambut hari penerimaan santri baru serta penamatan.
     Setelah menata kursi, saya ke kamar 2 asrama Panglima Polem.  Ini bilik terakhirku kala kelas VI.  Saya menumpang tidur sampai besok.
     Hari ini, Ahad, 22 Juni 1986, sayup-sayup terdengar shalawat tarhim shalat Shubuh dari masjid ath-Thalabah.  Sekonyong-konyong, terlintas masa-masa sebagai santri.  Semua mutlak tanpa pandang bulu untuk ke masjid.
     Kewajiban ke masjid merupakan aturan ketat di Pesantren IMMIM.  Siapa tak shalat berjamaah, niscaya dihukum berat.  Perintah shalat di masjid ini sesungguhnya yang mengarahkan santri memiliki attention span.  Ini keandalan berupa durasi waktu untuk fokus.  Tiap orang berbeda berapa lama supaya bisa berkonsentrasi.  Santri dengan kadar tinggi attention span, pasti repot terusik dengan iklim di sekelilingnya.
     Selepas mandi, saya bersolek.  Saya mengenakan jas.  Ini jas unik berharga Rp 35 ribu.  Saya terkesan saat pertama kali melihatnya di Roberta.  Mengenakan jas ini membuatku tampil ala James Bond versi lokal.
     Alkisah menurut hikayat, sewaktu kaki melangkah ke aula, dadaku berselubung kebanggaan.  Gejolak emosional bergemuruh bak gulungan gelombang.  Ini gara-gara saya termasuk santri dengan gugusan pelanggaran berat.  Rekan-rekan yang skala pelanggarannya di bawahku, justru berguguran.  Ada yang tidak kuasa lagi jadi santri.  Ada pula yang dipecat akibat berlapis-lapis konflik seputar kehidupan remaja merubungnya.  Entah bagaimana saya selamat sampai di destinasi akhir.  Ini tergolong verifikasi saya di Tamalanrea sebagai alumnus IMMIM.  Sebuah keajaiban setelah berkali-kali nyaris ambruk terjeblok.
     Kini, bersama rekan seangkatan, kami secara sukarela kembali ke pondok.  Bukan untuk belajar atau mengeksplorasi perspektif sebagaimana saat berstatus santri.  Kami kembali untuk menemukan potongan-potongan cerita yang tertinggal.  Mengais makna persahabatan setelah berhari-hari terpisah dengan teman sejiwa-sepenanggungan selama enam tahun.  Di momen khidmat ini, kami menyatukan identitas resmi sebagai alumni teranyar Pesantren IMMIM.
     Pukul 09.00, acara dimulai.  Aula terasa sempit.  Alumni, santri baru bersama orangtua serta undangan, membuat luas aula menyusut.  Saya memilih di luar agar leluasa menghirup udara segar.
     Usai acara penerimaan santri baru dan wisuda, Angkatan 80 berfoto-foto.  Kami berfoto bersama sahabat, pembina serta guru.  Alumni 1986 penuh takzim menghormat kepada pembina serta guru.  Pasalnya, mereka mengasah kami tatkala masih merupakan sumber daya insani yang lemah.  Para pembina dan guru tiada lelah melakukan transfer ilmu serta keterampilan agar kami lugas bersaing di tingkat tinggi.  Menjadikan Angkatan 80 sebagai ras level baru IMMIM demi melakoni kehidupan potensial di dunia realitas.
     Di aula ini, tiada sekat antara Angkatan 80 dengan para ustaz.  Kami merapatkan diri sebagai putra-putri terbaik Haji Fadeli Luran.  Hari ini, Ahad, 22 Juni 1986, kami menjadi komunitas bungsu dalam keluarga besar IMMIM.

     Berikut daftar Angkatan 80 Pesantren IMMIM Putra Tamalanrea yang disusun secara abjadiah.
Abdul Aziz Yusuf
Abdul Hafid
Abdul Haris Booegies
Abdul Muiz Muin
Abdul Muqit
Abidin Husain
Agus Adnan
Agus Ambo
Agus Ramadan
Agus Salim
Ahbaruddin
Ahmad Afifi
Ahmad Hidayat
Ahmad Natser
Ali Yusuf
Ambo Siknun
Andi Arman
Andi Asri Lolo
Andi Fausih Rahman
Andi Muhammad Yusuf
Andi Martan Aries
Andi Syamsir Patunru
Ansyarif
Arfandi Dulhaji
Arifin Rahman
Armansyah
As'ad Ismail
Atmal Ariadi Djaenal
Awaluddin HK
Awaluddin Mustafa
Burhan Hamid
Chalid Lageranna
Daswar Muhammad
Fuad Mahfud Azuz
Hamid Seltit
Hesdy Wahyuddin
Ikbal Said
Imam Setiawan
Irsyad Dahri
Irwan Thahir Manggala
Iskandar Adnan
Lukman Sanusi
Muaz Yahya
Muhammad
Muhammad Akbar Samad
Muhammad Arfah
Muhammad Kuri Kilat
Muhammad Thantawi
Muhammad Yunus
Muhammad Zubair Andy
Mutalib Besan
Rusman
Sabri Rata
Sahabuddin
Saifuddin Ahmad
Saifullah Nurdin
Saiful Latief
Shalahuddin Ahmad
Sirajuddin Omsa
Suharkimin
Syafaruddin
Tahir Mana
Wahyuddin Naro
Wahyu Muhammad
     Angkatan 80 Pesantren IMMIM Putri Minasa Te'ne.
Aisyah
Amriani Amin
Andi Tenri Ajrana
Darmawati
Darwiyanah N
Fakhriah Mumtihani
H Jumriah
Hariani
Harmawati
Hasnawati
Humaedah Kamal
Janiah
Julianti
Jumariah
Khaerani
Khaeriyah
Mardiah A
Mardianah
Marhani Jamil
Mulianah M
Muslika S
Najmiah
Nur Hayana
Nur Jamil
Nur Saida Beta
Nurhaedah
Nurhidayah
Nursaidah N
Nursyamsu
Nurul Fuada
Pahmiati
Rahma Afiah Agustiati
Rahmatiah B
Rasnah
Rosmiati C
Rosmiati T
Rostiah HL
Ruqayah
Siti Habibah
Siti Hasrawati HS
Siti Syahri Nur
Sukhriani S
Suriani B
Sutriani
Syamsidar
Syarifa Jama

Foto terlampir di momen wisuda Angkatan 80 (Alumni 1986).  Tempat di depan kantor Majelis Guru, kini menjadi koperasi santri Tsanawiyah IMMIM


Sabtu, 18 Mei 2024

Hari Terakhir di Pesantren IMMIM


Hari Terakhir di Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Kehidupan yang ditapak, niscaya punya akhir.  Ada kanan, ada kiri.  Ada depan, ada belakang, tetapi, yang pasti ada awal, ada akhir.  Tidak ada yang abadi kecuali pergantian kehidupan.
     Hidup merupakan pergeseran yang diserupakan roda berputar.  Hari ini bersuka-ria.  Besok berdukacita.  Sekarang sukses, nanti gagal.  Ada pergantian kehidupan dari positif ke negatif atau sebaliknya.
     Pergantian kehidupan dialami oleh siapa pun.  Tidak pandang bulu, punya bulu mata, bulu kaki atau bulu ketiak.  Semua mengalami pergantian kehidupan.
     Pergantian kehidupan inilah yang terjadi di Pesantren IMMIM.  Di suatu hari nan cerah, 78 pemuda tampan bersalin rupa dari santri menjadi alumni.
     Apa yang terjadi hari itu?  Bagaimana suasana ketika Angkatan 80 tamat sebagai alumni keenam Pesantren IMMIM?  Apa yang terjadi di hari terakhir itu sebagai santri?
     Kita akan berkelana melintas sang kala.  Menerobos waktu agar tiba pada Rabu, 23 April 1986 yang bertepatan 14 شَعْبان 1406.  Ini pasti mendebarkan.  Sebab, kita bakal bersua dengan masa silam tanpa bantuan sulap, tanpa penggunaan sihir.
     Beginilah hikayat tersebut terjadi pada 38 tahun lampau.  Ketika itu, hatiku berbunga-bunga.  Ini hari terakhir Ujian Pesantren setelah ujian Aliyah dan Ebtanas.  Hari ini, kami menghadapi mata pelajaran Insya' (mengarang).
     Di ruang ujian, semua 78 santri kelas VI tidak bisa fokus.  Kami menghitung detak jarum jam.  Sebentar lagi kami tamat di pesantren.  Enam tahun berlalu.  Kami setia bertahan di pondok demi rasa cinta kepada Pesantren IMMIM.  Hari yang dinanti akhirnya datang.  Satu per satu santri keluar ruangan sesudah menyelesaikan kewajiban mengisi jawaban.
     Koridor kelas maupun beranda asrama mendadak riuh dengan pekik kejayaan.  Kami alumni keenam sukses mencapai garis finis.  Seluruh 78 mantan santri saling berangkulan.  Kami bagai tak menyangka bahwa ada akhir di pesantren.  Angkatan 80 sukses keluar dari labirin sarat aturan.
     Terdengar gelak tawa membahana.  Cerita yang dihamburkan pun simpang-siur.  Tak ditahu kisah apa hendak dituturkan untuk dihimpun sebagai epos.  Semua larut dalam kebahagiaan.
     Sejumlah bekas santri ini saling berkerumun agar menulis nama berikut simbol di baju sesama rekan dengan spidol atau cat semprot pylox.  Sepertinya Saifullah Nurdin sudah menyiapkan pylox merah.
     Menjelang Zhuhur, saya ke serambi rayon Panglima Polem.  Tampak Muhammad Kuri Kilat seorang diri menghamparkan tenda.  Kami berdua lantas memasang tenda di lapangan depan asrama Datuk Ribandang.
     Sebagian sahabat memilih pulang.  Menuntaskan rindu dendam di kampung masing-masing.  Di kampus, laskar 8086 tersisa sekitar 35 orang.  Mereka bertahan untuk hadir di Malam Renungan.
     Pukul 17.00, Angkatan 80 mulai berkumpul di tenda.  Ada yang duduk, ada pula berbaring.  Lengking musik rock pun membahana.  Kami memilih dendang rock untuk menunjukkan gejolak emosi yang sedikit sinting gara-gara euforia kelulusan.
     Saat senja, beberapa santri bergerombol memperhatikan kami di tenda.  Rasa bangga menyelinap di kalbu.  "Kami tamat.  Kalian menyusul, adik-adikku".
     Api unggun kemudian dinyalakan.  Kobar api laksana semangat kami selama menuntut ilmu di Pesantren IMMIM.
     Saya lantas ke rumah di Jalan Veteran Selatan untuk mengambil susu, kopi serta gula.  Hanya ini yang akan menemani kami sampai larut malam, sampai subuh, sampai pagi.
     Pukul 01.00, alunan rock tetap meraung-raung seperti dengung sirene.  Api unggun pun terus membesar.  Membumbung menjilat pekat malam.
     Pukul 02.00, ustaz Abdul Kadir Kasim tiba di tenda sebagai puncak Malam Renungan.  Api unggun mulai redup ketika terdengar pembacaan ayat suci al-Qur'an dengan terjemah.  Penerangan di tenda yang remang-remang cuma senter.
     Ustaz Kadir lantas menasehati kami.  Makin lama, nasehat itu kian terdengar seperti untaian kata perpisahan seorang ibu dengan anak gadisnya.  Ini membuat kami terharu.  Isak tangis mulai terdengar.
     Saya tak kuasa menahan air mata ketika ustaz Kadir mendoakan kami.  Ada atmosfer refleksi bergelayut di dada.  Sebentar lagi pundak kami memikul tanggung jawab besar.  Bukan sekedar pelawan laku kriminal, namun, segera berproses dalam eksplorasi diri secara maksimal.
     Usai menuntaskan pesan-pesan motivasional, kami bergantian memeluk ustaz Kadir.  Ia sesepuh di antara seluruh pembina pesantren.
     Pukul 04.00, kami ke masjid.  Shalat sunah dua rakaat sebagai tanda syukur kepada Allah.  Kami sujud untuk membujuk Tuhan supaya diberi jalur lempeng, bukan lorong berliku.  Kami berterima kasih berkat terpilih sebagai 78 alumni setelah ditapis dari 155 jumlah awal Angkatan 80.
     Selepas shalat Shubuh, kami saling bersalaman dengan santri kelas I, II, III, IV dan V.  Kami lalu jalan-jalan di luar kampus.  Sesudah itu, menemui para pembina.
     Enam tahun di pesantren menjadi landasan pergantian kehidupan.  Kami sesama alumni 1986 tetap menjalin ukhuwah, memupuk silaturahmi.  Selalu ada ikatan emosional tatkala mengenang hari-hari romantis atau kelabu di Pesantren IMMIM.
     Dewasa ini, nostalgia tentang kehidupan di kampus IMMIM Tamalanrea, makin mengikat jiwa.  Ada sesuatu yang mengusik hati bila terkenang suka duka sebagai santri.  Ada kerinduan mengulang kehidupan itu sesudah tenaga aus oleh usia.  Ada hasrat di ujung akhir pengembaraan di dunia untuk mengulang hari-hari di Pesantren IMMIM sebagai santri, sebagai bagian dari pergantian kehidupan.

Berikut peserta Malam Renungan Angkatan 80 (alumni 1986).  Disusun secara alfabetis.
Abdul Haris Booegies
Ahmad Afifi
Ahmad Hidayat
Andi Asri Lolo
Andi Fausih Rahman
Andi Muhammad Yusuf
Ansarullah Abubakar Latonra
Awaluddin Mustafa
Fuad Mahfud Azuz
Hamid Seltit
Irsyad Dahri
Iskandar Adnan
Muhammad Kuri Kilat
Muhammad Ridwan
Muhammad Zubair Andy
Sabri Rata

Foto terlampir adalah buku harian yang menjadi landasan tulisan


Rabu, 15 Mei 2024

Penghuni Datuk Ribandang 1980


Penghuni Datuk Ribandang 1980
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada pertengahan 1980, Pesantren IMMIM hanya punya lima asrama.  Lima bangsal ini yakni Datuk Ribandang, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Panglima Polem dan Imam Bonjol.
     Rayon Ribandang merupakan asrama pertama yang dibangun pada 1975.  Setelah pendiri Pesantren IMMIM wafat pada 1992, namanya diabadikan dengan mengganti Ribandang menjadi asrama Fadeli Luran.
     Ribandang merupakan rayon bagi santri pertama yang masuk pada 1975.  Di masa itu, santri belum menggunakan ranjang besi bertingkat.  Mereka cuma menggunakan ranjang papan yang memanjang untuk beberapa santri.  Ranjang besi mulai digunakan pada 1980.
     Ketika masuk pada 1980, sisa-sisa ranjang papan masih tampak di asrama Anwar Sadat.  Pada 1983, bangsal ini menjadi kamar pengurus Ikatan Santri Pesantren IMMIM (ISPM) alias OSIS.  Di situ pula santri pelanggar dihukum secara fisik.  Mereka dihantam maupun ditempeleng.  Usai menerima siksa, semua santri pelanggar pun menderita bengkak atau lecet.  Maklum, pengurus ISPM kecanduan kekerasan.
     Angkatan 80 alias alumni 1986, awalnya berjumlah 155.  Jumlah ini susut menyisakan 78 alumni.  Mereka berjaya lantaran tahan banting selama enam tahun.  Tidak cengeng atau tergoda kehidupan luar yang gemerlap.  Kendati digembleng di ladang berduri, laskar 8086 tetap setia.  Hingga, ladang penuh onak tersebut menjelma taman dengan kembang warna-warni nan elok.
     Tambahan 155 santri baru pada 1980, ternyata tidak mampu tertampung di lima asrama.  Sekitar 20 santri akhirnya dititip di aula.  Mereka kemudian dikarantina di asrama Anwar Sadat.  20-an santri ini akhirnya berlabuh di asrama Ayatollah Khomeini.  Khomeini merupakan rumah panggung yang terletak di Jalan Bugis, jalan setapak dekat danau Unhas.
     Saya beruntung bukan termasuk 20-an santri yang bernasib terkatung-katung digeser kanan-kiri.  Saya ditempatkan di kamar dua Ribandang bersama 33 santri.  Ini termasuk bilik para raksasa dari kalangan santri kelas satu.  Soalnya, semua berukuran tinggi besar.  Bukan cuma berfisik gigantik.  Sebab, rata-rata badung.
     Santri baru bertubuh mini ditempatkan di Hasanuddin.  Selain berpostur pendek, mereka juga sensitif digertak.  Hingga, mereka merespons secara gesit segala perintah.  Inilah yang membuatnya rajin ke masjid.  Soalnya, takut dengan ketua kamar serta pembina.  Bahkan, pembina kamar bernama Boomboom pernah mengeluarkan ancaman dahsyat.  "Siapa belum bangun untuk shalat Shubuh, saya lemparkan kau lewat jendela!"
     Siapa pula santri baru tidak ketakutan mendengar ancaman mengerikan.  Ini tragedi kelam.  Apalagi, Boomboom tergolong sangat besar di Pesantren IMMIM.  Suaranya menggelegar bak gemuruh guntur.  Ini kombinasi ideal untuk menggertak.  Ironisnya, setelah semua penghuni Hasanuddin ke masjid, Boomboom justru berleha-leha tidur sampai pagi.  Coba, lihainya akalnya.
     Di kamar dua Ribandang pada 1980, ketua kamar ialah Rusdi.  Ia santri kelas lima.  Jika Rusdi tidak ada, penghuni kamar dua pun heboh.  Kami bebas melakukan aktivitas di dalam bilik.  Ini mempermudah kami beradaptasi dengan kondisi pesantren yang terasa asing, riuh sekaligus berjubel aturan.  Pesantren masih ibarat ladang dengan duri-duri yang melukai.  Ada perih, ada luka yang selalu menganga oleh bayangan untuk bertahan selama enam tahun.
     Ada dua memori yang senantiasa terlintas di pikiran saya kala terkenang Tamalanrea 1980.  Pertama, Fachri Jauzy menjadi santri pertama yang membawa teh celup.  Kedua, Nur Lezy memboyong lemari mahabesar.  Jangankan pakaian, lima santri malahan enteng bersembunyi di lemarinya.  Bahkan, saya bisa masuk dengan posisi berdiri di tempat gantungan baju.  Inilah lemari terbesar yang pernah ada di Pesantren IMMIM.
     Berikut nama penghuni kamar dua asrama Datuk Ribandang pada pertengahan 1980.  Disusun secara abjadiah.
Abdul Hafid
Abdul Haris Booegies
Abdul Khalik
Abdul Samad
Ahmad Hidayat
Ahmad Natser
Ahmad Taufik
Agus Ambo
Agus Laja
Andi Muhammad Nur Taufik
Fachri Jauzy
Farid
Halid Lageranna
Heriyanto
Ilham
Irsyad Dahri
Mochtar Goval
Nur Alim Basyir
Nur Lezy
Rusman
Syahabuddin
Syukri Makmur
Zakaria

Narasumber secara alfabetis
Ahmad Hidayat
Ahmad Natser
Syahruddin Fattah

Foto terlampir saat kelas VI di Pesantren IMMIM


Senin, 13 Mei 2024

Tembang Raib


Tembang Raib
Oleh Abdul Haris Booegies


     Ada banyak kenangan selama remaja.  Nostalgia-nostalgia tersebut akan membentuk untaian kerinduan.  Rindu bersua dengan sesama pelaku kenangan.  Rindu dengan tempat kenangan berlangsung.  Bahkan, rindu mengulang kenangan itu.
     Kala bocah, kita samar-samar terkesan saat disuap oleh ibu.  Boleh jadi juga teringat tante judes yang membatasi jatah ikan.  Ini nostalgia dalam keluarga normal.  Lain cerita dengan santri yang ditempa di pondok selama enam tahun.  Hikayat lebih seru tidak bisa ditawar-tawar.
     Di Pesantren IMMIM era 80-an, hidangan santri sangat sederhana.  Lauk cuma ikan kering, teri goreng, perkedel teri, tembang goreng, tempe goreng serta tumis tempe yang dicampur jeroan.
     Pada pertengahan 1980 sewaktu kelas satu di Pesantren IMMIM, saya agak risi.  Soalnya, ada kawan mencuri tembang goreng.  Ia ketahuan setelah santri di meja bersangkutan disuruh semua melepas songkok.  Tiba-tiba melenting tembang goreng dari balik kopiah.  Pelakunya berinisial Z.  Ia tepergok akibat kurang andal memahami definisi operasional pencurian yang santun.  Ia belum mahir, masih medioker.  Triknya berlepotan, kasar karena belum berpengalaman menjambret ikan.  Orkestrasi yang dipraktekkan secara solo masih jauh dari skala maksimal.  Biasalah, baru beberapa hari jadi santri.
     Santri panjang tangan rupanya tidak kapok.  Pasalnya, selalu saja ada santri yang kehilangan tembang goreng.
     Ketika duduk di kelas lima, ada peningkatan gizi.  Sekali sepekan, santri memperoleh pembagian sepotong telur rebus.  Satu telur dibagi dua.
     Ketika tahu bahwa santri makan telur, saya pun ke dapur.  Biasanya saya ke aula menikmati santapan sedap.  Ini karena ada pegawai negeri atau swasta dari daerah ikut pelatihan.  Sajiannya ala restoran.  Saya selalu memperoleh ransum berkat akrab dengan Mantang, kepala konsumsi.  Rantangku senantiasa terisi ayam goreng atau gulai.  Ini menguntungkan saya lantaran tidak suka ikan.  Baunya amis.  Hingga, kalau terpaksa ke dapur santri, saya lebih memilih jadwal bermenu tempe.
     Saya ingin suguhan hari ini berbeda dengan mendatangi lagi dapur santri.  Berhasrat bertualang merasakan suasana dapur yang hiruk-pikuk, sesak sekaligus pengap.  Separah apa pun kondisi dapur, pasti tetap menjadi kerinduan bagi perut lapar.  Jika kenyang, santri bisa produktif.  Minimal sibuk tak keruan arah di asrama.
     Saya santri kelas lima yang pertama tiba di dapur.  Tangan langsung gatal mencomot telur.  Ini membuat saya panen raya.  Lebih 10 potongan telur di ompreng teman saya tilap.  Ini saja sudah cukup mengenyangkan tanpa nasi.
     Tatkala rekan-rekan ribut bersengketa gara-gara telur raib, saya bersikap bengong.  Ajaibnya, tiada seorang sahabat yang menudingku.  Musababnya, mereka mafhum bila selama ini makananku enak.  Apalagi, saya tepercaya secara moralitas.  Mustahil saya mengaut atau mencoleng secara diam-diam.
     Selama enam tahun di pesantren, terhampar fakta bahwa hanya ikan kering, teri dan tempe yang tidak pernah hilang.  Kasus kehilangan tembang goreng menempati posisi teratas disusul telur.
     Kalau saja ada santri yang mencuri teri, dapat dipastikan ia belum makan selama berhari-hari.  Bayangkan, teri saja yang cuma berbumbu kecap ia rampas, apalagi tembang goreng yang lezat hasil racikan koki-koki cantik.

Foto terlampir saat kelas III di kamar 2 rayon Pangeran Diponegoro Pesantren IMMIM pada 1982


Amazing People