Renovasi Masjid ath-Thalabah
Oleh Abdul Haris Booegies
Tanpa terasa, telah berlalu waktu selama 33 tahun sejak kepergian Haji Fadeli Luran. Pendiri Pesantren IMMIM tersebut wafat pada Ahad, 1 Maret 1992. Aktor dengan konektivitas berjangkauan luas itu menghembuskan nafas di rumah sakit Fatmawati, Jakarta.
Dalam mitologi Nordik, Fadeli Luran ibarat pohon ash Yggdrasil. Sebuah pohon ash kolosal dengan sentuhan ekstravaganza. Pohon ini mekar di antara sembilan dunia. Pucuk dahan ash menjulang ke angkasa. Ini serupa santri-santri Fadeli Luran yang berjumlah ribuan. Mereka berkelana ke arah empat mata angin, dua samudera dan lima benua.
Saat takziah pertama, saya hadir bersama segelintir alumni. Bertindak selaku penyambut tamu di Jalan Lanto Daeng Pasewang yakni Azhar Arsyad, direktur Pesantren IMMIM Putra. Ia didampingi Ahmad Fathanah, putra Fadeli Luran.
Penceramah ialah Andi Sose. Ia membuka pidatonya dengan mengakui jika dulu dengan Fadeli Luran, sama-sama nakal. Ini sontak mengundang gelak tawa.
Andi Sose menyampaikan bahwa semasa Fadeli Luran masih sehat, ia menghubunginya. Memberi kabar bila masjid ath-Thalabah di Pesantren IMMIM Putra, sudah tidak mampu menampung jumlah santri. Andi Sose pun menyatakan kesiapan untuk merenovasi masjid.
Di suatu siang usai kuliah di Unhas, saya mampir ke pesantren. Saya heran karena pembangunan masjid tersendat. Ini sudah sekitar satu tahun sejak dibongkar.
Saya tanya Ibu Nuhaerah, istri ustaz Saufullah MS. Ia cuma bingung. Tak tahu-menahu soal keterlambatan pembangunan. Ini laksana ada yang berkelok.
Selang beberapa hari, saya berdiri seorang diri di depan sekretariat Iapim di Gedung IMMIM. Mendadak dari koperasi muncul Ibu Rahmah, istri Fadeli Luran.
Ibu Rahmah bergegas menghampiri seraya menunjuk ke arahku.
"Haris? Ini Haris!"
Saya agak gugup. Ada apa ini?
Rupanya, Ibu Rahmah mau memaparkan keterlambatan pembangunan masjid ath-Thalabah. Ia pun menerangkan mengapa masjid agak lama rampung.
Penjelasan ini penting karena Ibu Rahmah mencemaskan ada asumsi liar. Ia khawatir ini diangkat ke media cetak. Apalagi, saat itu saya doyan melansir berita ketimpangan, khususnya di majalah Lektura. Seperti dimaklumi, Lektura akhirnya tewas diberedel setelah banyak membeberkan kebohongan.
Eksekutor
Masjid ath-Thalabah merupakan pusat seluruh aktivitas di Pesantren IMMIM Putra. Masjid ini laksana gerbang kebaikan. Mendekapkan kalbu ke masjid seolah membawa aneka berkah. Kahlil Gibran tentu sahih bahwa Tuhan menciptakan banyak pintu kebenaran. Pintu-pintu tersebut terbuka bagi segenap insan yang mengetuk dengan jari-jari iman.
Di Pesantren IMMIM, durasi kegiatan santri diselaraskan dengan jadwal shalat. Sebagai umpama, bakda shalat Shubuh, ada santri yang belajar atau berolahraga. Bahkan, joging sampai di jembatan Tello yang berjarak sekitar tiga kilometer.
Selepas shalat Zhuhur, seluruh santri bersantap siang. Usai shalat Magrib, santri makan malam. Di masa Azhar Arsyad sebagai direktur, makan malam diadakan sebelum Magrib. Ini untuk memaksimalkan santri mengaji bakda Magrib.
Pukul 20.00 selepas Isya, seluruh santri diwajibkan belajar di kelas. Aktivitas ini khatam pada pukul 22.00. Santri kembali ke bilik masing-masing untuk tidur atau nonton TV di masjid.
Di era 80-an, santri junior hanya boleh menyaksikan Dunia Dalam Berita yang disiarkan TVRI pada pukul 22.00. Sesudah itu, mereka dipaksa ke kamar. Siapa bandel akan dicatat sebagai pelanggar untuk digebuk sampai bonyok oleh algojo-algojo keji qismul amni (seksi keamanan).
Dewasa ini, masjid di kampus II Pesantren IMMIM di Moncongloe, punya fungsi lain. Santri pelanggar dieksekusi di masjid. Tidak terbayang di kepala, hukuman fisik yang merupakan ciri khas Pesantren IMMIM di Tamalanrea era 80-an, kini diekspor ke Moncongloe. Momen mencekam itu kiranya tiada beranjak. Tak sirna usai melewati ratusan purnama selama empat dasawarsa. Jangan kaget, dua eksekutor adalah alumni pesantren. Ada lagi satu non-alumni, berinisial T. Betul-betul jagoan!
Negosiator
Kepergian Fadeli Luran, menandai dua peristiwa besar di Pesantren IMMIM pada 1992. Pertama, masjid ath-Thalabah dirombak total. Kedua, pesantren membuka diri untuk menerima santri baru dari tamatan SMP.
Wajah baru Pesantren IMMIM dengan dua iklim baru, merupakan gebrakan antisipatif terhadap perubahan. Ini lantaran IMMIM tidak punya lagi tokoh sentral. Fadeli Luran tak memiliki putra mahkota untuk menggantikannya. Ia juga tidak mewariskan sosok pengganti yang ideal di kalangan pengurus IMMIM.
IMMIM -terutama pesantren- wajib berbenah. Bergerak di tengah kemunculan pesantren lain. Dulu, nama besar Fadeli Luran adalah jaminan keunggulan. Kepergiannya niscaya mempengaruhi seluruh sepak-terjang IMMIM, termasuk pesantren.
Fadeli Luran merupakan sosok pantang mengalah sebagaimana Letnan John McClane (Bruce Willis) di film Die Hard. Selain bermental die hard, Fadeli Luran juga dikenal sabar dalam merajut impian. Seperti ungkapan Jalaluddin Rumi: "Kesabaran dengan keandalan mengamati detail kecil, memacu kesempurnaan dalam pekerjaan besar".
Apa yang disuarakan Rumi dibuktikan oleh Fadeli Luran dengan mendirikan Pesantren IMMIM. Sebuah pesantren yang bergelimang keharuman selama dua dekade di ujung akhir milenium kedua.
Babad Fadeli Luran mengajarkan kita bahwa orang besar tidak dilahirkan. Drama hidupnya tidak lurus, tetapi, melengkung bak lorong berlika-liku. Klasemen seputar hayatnya malahan diselang-seling dengan beragam tragedi. Ditangkap Belanda sebagai pejuang kemerdekaan. Dijebloskan ke bui gara-gara fitnah. Suatu riwayat pilu yang akhirnya mengubah versi kehidupannya. Hatta, sanggup mengukir sejarah dengan warna-warni.
Dalam sirahnya, Fadeli Luran cuma sampai kelas III SD. Kala remaja, ia jongos Belanda yang kemudian banting setir menjadi saudagar, polisi serta tentara.
Biografi Fadeli Luran semelodi-seharmoni dengan petuah Ali bin Abi Thalib. "Jangan menyangka dirimu makhluk kecil. Pada dirimu tersimpan jagat raya mahaluas".
Kini, Fadeli Luran sebagai figur dominan IMMIM telah lama pergi. Orang-orang bakal mengenangnya sebagai pendakwah, pebisnis, patriot sekaligus negosiator ulung yang dilengkapi lidah nan fasih.
Kematian Fadeli Luran mengingatkan heroisme pejuang Norse yang lestari dalam hikayat sebagai Viking. Pendekar Viking meyakini bahwa kematian mustahil dihindari, namun, kemasyhuran pasti abadi.