Sabtu, 18 Mei 2024

Hari Terakhir di Pesantren IMMIM


Hari Terakhir di Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Kehidupan yang ditapak, niscaya punya akhir.  Ada kanan, ada kiri.  Ada depan, ada belakang, tetapi, yang pasti ada awal, ada akhir.  Tidak ada yang abadi kecuali pergantian kehidupan.
     Hidup merupakan pergeseran yang diserupakan roda berputar.  Hari ini bersuka-ria.  Besok berdukacita.  Sekarang sukses, nanti gagal.  Ada pergantian kehidupan dari positif ke negatif atau sebaliknya.
     Pergantian kehidupan dialami oleh siapa pun.  Tidak pandang bulu, punya bulu mata, bulu kaki atau bulu ketiak.  Semua mengalami pergantian kehidupan.
     Pergantian kehidupan inilah yang terjadi di Pesantren IMMIM.  Di suatu hari nan cerah, 78 pemuda tampan bersalin rupa dari santri menjadi alumni.
     Apa yang terjadi hari itu?  Bagaimana suasana ketika Angkatan 80 tamat sebagai alumni keenam Pesantren IMMIM?  Apa yang terjadi di hari terakhir itu sebagai santri?
     Kita akan berkelana melintas sang kala.  Menerobos waktu agar tiba pada Rabu, 23 April 1986 yang bertepatan 14 شَعْبان 1406.  Ini pasti mendebarkan.  Sebab, kita bakal bersua dengan masa silam tanpa bantuan sulap, tanpa penggunaan sihir.
     Beginilah hikayat tersebut terjadi pada 38 tahun lampau.  Ketika itu, hatiku berbunga-bunga.  Ini hari terakhir Ujian Pesantren setelah ujian Aliyah dan Ebtanas.  Hari ini, kami menghadapi mata pelajaran Insya' (mengarang).
     Di ruang ujian, semua 78 santri kelas VI tidak bisa fokus.  Kami menghitung detak jarum jam.  Sebentar lagi kami tamat di pesantren.  Enam tahun berlalu.  Kami setia bertahan di pondok demi rasa cinta kepada Pesantren IMMIM.  Hari yang dinanti akhirnya datang.  Satu per satu santri keluar ruangan sesudah menyelesaikan kewajiban mengisi jawaban.
     Koridor kelas maupun beranda asrama mendadak riuh dengan pekik kejayaan.  Kami alumni keenam sukses mencapai garis finis.  Seluruh 78 mantan santri saling berangkulan.  Kami bagai tak menyangka bahwa ada akhir di pesantren.  Angkatan 80 sukses keluar dari labirin sarat aturan.
     Terdengar gelak tawa membahana.  Cerita yang dihamburkan pun simpang-siur.  Tak ditahu kisah apa hendak dituturkan untuk dihimpun sebagai epos.  Semua larut dalam kebahagiaan.
     Sejumlah bekas santri ini saling berkerumun agar menulis nama berikut simbol di baju sesama rekan dengan spidol atau cat semprot pylox.  Sepertinya Saifullah Nurdin sudah menyiapkan pylox merah.
     Menjelang Zhuhur, saya ke serambi rayon Panglima Polem.  Tampak Muhammad Kuri Kilat seorang diri menghamparkan tenda.  Kami berdua lantas memasang tenda di lapangan depan asrama Datuk Ribandang.
     Sebagian sahabat memilih pulang.  Menuntaskan rindu dendam di kampung masing-masing.  Di kampus, laskar 8086 tersisa sekitar 35 orang.  Mereka bertahan untuk hadir di Malam Renungan.
     Pukul 17.00, Angkatan 80 mulai berkumpul di tenda.  Ada yang duduk, ada pula berbaring.  Lengking musik rock pun membahana.  Kami memilih dendang rock untuk menunjukkan gejolak emosi yang sedikit sinting gara-gara euforia kelulusan.
     Saat senja, beberapa santri bergerombol memperhatikan kami di tenda.  Rasa bangga menyelinap di kalbu.  "Kami tamat.  Kalian menyusul, adik-adikku".
     Api unggun kemudian dinyalakan.  Kobar api laksana semangat kami selama menuntut ilmu di Pesantren IMMIM.
     Saya lantas ke rumah di Jalan Veteran Selatan untuk mengambil susu, kopi serta gula.  Hanya ini yang akan menemani kami sampai larut malam, sampai subuh, sampai pagi.
     Pukul 01.00, alunan rock tetap meraung-raung seperti dengung sirene.  Api unggun pun terus membesar.  Membumbung menjilat pekat malam.
     Pukul 02.00, ustaz Abdul Kadir Kasim tiba di tenda sebagai puncak Malam Renungan.  Api unggun mulai redup ketika terdengar pembacaan ayat suci al-Qur'an dengan terjemah.  Penerangan di tenda yang remang-remang cuma senter.
     Ustaz Kadir lantas menasehati kami.  Makin lama, nasehat itu kian terdengar seperti untaian kata perpisahan seorang ibu dengan anak gadisnya.  Ini membuat kami terharu.  Isak tangis mulai terdengar.
     Saya tak kuasa menahan air mata ketika ustaz Kadir mendoakan kami.  Ada atmosfer refleksi bergelayut di dada.  Sebentar lagi pundak kami memikul tanggung jawab besar.  Bukan sekedar pelawan laku kriminal, namun, segera berproses dalam eksplorasi diri secara maksimal.
     Usai menuntaskan pesan-pesan motivasional, kami bergantian memeluk ustaz Kadir.  Ia sesepuh di antara seluruh pembina pesantren.
     Pukul 04.00, kami ke masjid.  Shalat sunah dua rakaat sebagai tanda syukur kepada Allah.  Kami sujud untuk membujuk Tuhan supaya diberi jalur lempeng, bukan lorong berliku.  Kami berterima kasih berkat terpilih sebagai 78 alumni setelah ditapis dari 155 jumlah awal Angkatan 80.
     Selepas shalat Shubuh, kami saling bersalaman dengan santri kelas I, II, III, IV dan V.  Kami lalu jalan-jalan di luar kampus.  Sesudah itu, menemui para pembina.
     Enam tahun di pesantren menjadi landasan pergantian kehidupan.  Kami sesama alumni 1986 tetap menjalin ukhuwah, memupuk silaturahmi.  Selalu ada ikatan emosional tatkala mengenang hari-hari romantis atau kelabu di Pesantren IMMIM.
     Dewasa ini, nostalgia tentang kehidupan di kampus IMMIM Tamalanrea, makin mengikat jiwa.  Ada sesuatu yang mengusik hati bila terkenang suka duka sebagai santri.  Ada kerinduan mengulang kehidupan itu sesudah tenaga aus oleh usia.  Ada hasrat di ujung akhir pengembaraan di dunia untuk mengulang hari-hari di Pesantren IMMIM sebagai santri, sebagai bagian dari pergantian kehidupan.

Berikut peserta Malam Renungan Angkatan 80 (alumni 1986).  Disusun secara alfabetis.
Abdul Haris Booegies
Ahmad Afifi
Ahmad Hidayat
Andi Asri Lolo
Andi Fausih Rahman
Andi Muhammad Yusuf
Ansarullah Abubakar Latonra
Awaluddin Mustafa
Fuad Mahfud Azuz
Hamid Seltit
Irsyad Dahri
Iskandar Adnan
Muhammad Kuri Kilat
Muhammad Ridwan
Muhammad Zubair Andy
Sabri Rata

Foto terlampir adalah buku harian yang menjadi landasan tulisan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People