Penghuni Datuk Ribandang 1980
Oleh Abdul Haris Booegies
Pada pertengahan 1980, Pesantren IMMIM hanya punya lima asrama. Lima bangsal ini yakni Datuk Ribandang, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Panglima Polem dan Imam Bonjol.
Rayon Ribandang merupakan asrama pertama yang dibangun pada 1975. Setelah pendiri Pesantren IMMIM wafat pada 1992, namanya diabadikan dengan mengganti Ribandang menjadi asrama Fadeli Luran.
Ribandang merupakan rayon bagi santri pertama yang masuk pada 1975. Di masa itu, santri belum menggunakan ranjang besi bertingkat. Mereka cuma menggunakan ranjang papan yang memanjang untuk beberapa santri. Ranjang besi mulai digunakan pada 1980.
Ketika masuk pada 1980, sisa-sisa ranjang papan masih tampak di asrama Anwar Sadat. Pada 1983, bangsal ini menjadi kamar pengurus Ikatan Santri Pesantren IMMIM (ISPM) alias OSIS. Di situ pula santri pelanggar dihukum secara fisik. Mereka dihantam maupun ditempeleng. Usai menerima siksa, semua santri pelanggar pun menderita bengkak atau lecet. Maklum, pengurus ISPM kecanduan kekerasan.
Angkatan 80 alias alumni 1986, awalnya berjumlah 155. Jumlah ini susut menyisakan 78 alumni. Mereka berjaya lantaran tahan banting selama enam tahun. Tidak cengeng atau tergoda kehidupan luar yang gemerlap. Kendati digembleng di ladang berduri, laskar 8086 tetap setia. Hingga, ladang penuh onak tersebut menjelma taman dengan kembang warna-warni nan elok.
Tambahan 155 santri baru pada 1980, ternyata tidak mampu tertampung di lima asrama. Sekitar 20 santri akhirnya dititip di aula. Mereka kemudian dikarantina di asrama Anwar Sadat. 20-an santri ini akhirnya berlabuh di asrama Ayatollah Khomeini. Khomeini merupakan rumah panggung yang terletak di Jalan Bugis, jalan setapak dekat danau Unhas.
Saya beruntung bukan termasuk 20-an santri yang bernasib terkatung-katung digeser kanan-kiri. Saya ditempatkan di kamar dua Ribandang bersama 33 santri. Ini termasuk bilik para raksasa dari kalangan santri kelas satu. Soalnya, semua berukuran tinggi besar. Bukan cuma berfisik gigantik. Sebab, rata-rata badung.
Santri baru bertubuh mini ditempatkan di Hasanuddin. Selain berpostur pendek, mereka juga sensitif digertak. Hingga, mereka merespons secara gesit segala perintah. Inilah yang membuatnya rajin ke masjid. Soalnya, takut dengan ketua kamar serta pembina. Bahkan, pembina kamar bernama Boomboom pernah mengeluarkan ancaman dahsyat. "Siapa belum bangun untuk shalat Shubuh, saya lemparkan kau lewat jendela!"
Siapa pula santri baru tidak ketakutan mendengar ancaman mengerikan. Ini tragedi kelam. Apalagi, Boomboom tergolong sangat besar di Pesantren IMMIM. Suaranya menggelegar bak gemuruh guntur. Ini kombinasi ideal untuk menggertak. Ironisnya, setelah semua penghuni Hasanuddin ke masjid, Boomboom justru berleha-leha tidur sampai pagi. Coba, lihainya akalnya.
Di kamar dua Ribandang pada 1980, ketua kamar ialah Rusdi. Ia santri kelas lima. Jika Rusdi tidak ada, penghuni kamar dua pun heboh. Kami bebas melakukan aktivitas di dalam bilik. Ini mempermudah kami beradaptasi dengan kondisi pesantren yang terasa asing, riuh sekaligus berjubel aturan. Pesantren masih ibarat ladang dengan duri-duri yang melukai. Ada perih, ada luka yang selalu menganga oleh bayangan untuk bertahan selama enam tahun.
Ada dua memori yang senantiasa terlintas di pikiran saya kala terkenang Tamalanrea 1980. Pertama, Fachri Jauzy menjadi santri pertama yang membawa teh celup. Kedua, Nur Lezy memboyong lemari mahabesar. Jangankan pakaian, lima santri malahan enteng bersembunyi di lemarinya. Bahkan, saya bisa masuk dengan posisi berdiri di tempat gantungan baju. Inilah lemari terbesar yang pernah ada di Pesantren IMMIM.
Berikut nama penghuni kamar dua asrama Datuk Ribandang pada pertengahan 1980. Disusun secara abjadiah.
Abdul Hafid
Abdul Haris Booegies
Abdul Khalik
Abdul Samad
Ahmad Hidayat
Ahmad Natser
Ahmad Taufik
Agus Ambo
Agus Laja
Andi Muhammad Nur Taufik
Fachri Jauzy
Farid
Halid Lageranna
Heriyanto
Ilham
Irsyad Dahri
Mochtar Goval
Nur Alim Basyir
Nur Lezy
Rusman
Syahabuddin
Syukri Makmur
Zakaria
Narasumber secara alfabetis
Ahmad Hidayat
Ahmad Natser
Syahruddin Fattah
Foto terlampir saat kelas VI di Pesantren IMMIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar