Senin, 13 Mei 2024

Tembang Raib


Tembang Raib
Oleh Abdul Haris Booegies


     Ada banyak kenangan selama remaja.  Nostalgia-nostalgia tersebut akan membentuk untaian kerinduan.  Rindu bersua dengan sesama pelaku kenangan.  Rindu dengan tempat kenangan berlangsung.  Bahkan, rindu mengulang kenangan itu.
     Kala bocah, kita samar-samar terkesan saat disuap oleh ibu.  Boleh jadi juga teringat tante judes yang membatasi jatah ikan.  Ini nostalgia dalam keluarga normal.  Lain cerita dengan santri yang ditempa di pondok selama enam tahun.  Hikayat lebih seru tidak bisa ditawar-tawar.
     Di Pesantren IMMIM era 80-an, hidangan santri sangat sederhana.  Lauk cuma ikan kering, teri goreng, perkedel teri, tembang goreng, tempe goreng serta tumis tempe yang dicampur jeroan.
     Pada pertengahan 1980 sewaktu kelas satu di Pesantren IMMIM, saya agak risi.  Soalnya, ada kawan mencuri tembang goreng.  Ia ketahuan setelah santri di meja bersangkutan disuruh semua melepas songkok.  Tiba-tiba melenting tembang goreng dari balik kopiah.  Pelakunya berinisial Z.  Ia tepergok akibat kurang andal memahami definisi operasional pencurian yang santun.  Ia belum mahir, masih medioker.  Triknya berlepotan, kasar karena belum berpengalaman menjambret ikan.  Orkestrasi yang dipraktekkan secara solo masih jauh dari skala maksimal.  Biasalah, baru beberapa hari jadi santri.
     Santri panjang tangan rupanya tidak kapok.  Pasalnya, selalu saja ada santri yang kehilangan tembang goreng.
     Ketika duduk di kelas lima, ada peningkatan gizi.  Sekali sepekan, santri memperoleh pembagian sepotong telur rebus.  Satu telur dibagi dua.
     Ketika tahu bahwa santri makan telur, saya pun ke dapur.  Biasanya saya ke aula menikmati santapan sedap.  Ini karena ada pegawai negeri atau swasta dari daerah ikut pelatihan.  Sajiannya ala restoran.  Saya selalu memperoleh ransum berkat akrab dengan Mantang, kepala konsumsi.  Rantangku senantiasa terisi ayam goreng atau gulai.  Ini menguntungkan saya lantaran tidak suka ikan.  Baunya amis.  Hingga, kalau terpaksa ke dapur santri, saya lebih memilih jadwal bermenu tempe.
     Saya ingin suguhan hari ini berbeda dengan mendatangi lagi dapur santri.  Berhasrat bertualang merasakan suasana dapur yang hiruk-pikuk, sesak sekaligus pengap.  Separah apa pun kondisi dapur, pasti tetap menjadi kerinduan bagi perut lapar.  Jika kenyang, santri bisa produktif.  Minimal sibuk tak keruan arah di asrama.
     Saya santri kelas lima yang pertama tiba di dapur.  Tangan langsung gatal mencomot telur.  Ini membuat saya panen raya.  Lebih 10 potongan telur di ompreng teman saya tilap.  Ini saja sudah cukup mengenyangkan tanpa nasi.
     Tatkala rekan-rekan ribut bersengketa gara-gara telur raib, saya bersikap bengong.  Ajaibnya, tiada seorang sahabat yang menudingku.  Musababnya, mereka mafhum bila selama ini makananku enak.  Apalagi, saya tepercaya secara moralitas.  Mustahil saya mengaut atau mencoleng secara diam-diam.
     Selama enam tahun di pesantren, terhampar fakta bahwa hanya ikan kering, teri dan tempe yang tidak pernah hilang.  Kasus kehilangan tembang goreng menempati posisi teratas disusul telur.
     Kalau saja ada santri yang mencuri teri, dapat dipastikan ia belum makan selama berhari-hari.  Bayangkan, teri saja yang cuma berbumbu kecap ia rampas, apalagi tembang goreng yang lezat hasil racikan koki-koki cantik.

Foto terlampir saat kelas III di kamar 2 rayon Pangeran Diponegoro Pesantren IMMIM pada 1982


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People