Aliyah 1986 Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies
Semua kehidupan akan berakhir. Secinta apa pun hati, ada batas untuk berpisah. Ada sekat guna mengakhiri sesuatu demi menyongsong yang baru. Ibarat langkah, ayunan kanan berakhir ketika kaki kiri melangkah.
Di Pesantren IMMIM, santri kelas VI niscaya mengalami hari-hari emosional. Menyeruak pergulatan batin. Makin dekat ujian akhir untuk tamat, kian terasa menyiksa pikiran. Di satu sisi wajib meninggalkan kampus setelah belajar enam tahun. Di rongga terpencil kalbu, meronta asa untuk tetap berdiam di pondok.
Kaki seolah tertancap untuk tetap tinggal di pesantren. Ada keharuan tatkala hendak pergi. Semua akibat sepetak tanah di Tamalanrea. Di sebidang bentala tersebut, tertanam belahan hati selama berbilang hari, berbilang tarikh.
Hati siapa tidak merintih saat harus melangkah keluar dari pesantren. Terkenang suka duka yang membentuk aneka pertualangan manis maupun pahit. Di kampus IMMIM, ketabahan diasah guna memperkuat karakter. Santri saling menyokong, memberi dukungan emosional.
Dari serpihan catatan, Angkatan 80 Pesantren IMMIM merupakan angkatan terbesar selama hampir dua dekade. Ini berkat dihuni 78 alumni. Sementara angkatan lain cuma berjumlah di bawah 70.
Hari-hari menjelang senja Angkatan 80, khususnya anak IPA, tergolong indah. Sebab, santri IPA mengerjakan seluruh ujian di kampus IMMIM. Berbeda dengan anak IPS yang harus keluar kampus menumpang ujian di sekolah lain.
Berikut hari-hari ujian Aliyah Angkatan 80 Pesantren IMMIM. Disusun berdasar diari yang menjadi saksi aksi-aksi santri IMMIM di masa lampau.
Ahad, 23 Maret 1986
Pagi ini, hujan turun. Ini membuatku batal ke Maros untuk latihan karate Black Panther.
Makin lama, hatiku berdebar-debar. Tubuh seolah bergetar. Belakangan ini, hari-hari begitu sarat pergolakan batin. Semua karena saya tinggal menghitung hari untuk beranjak dari Pesantren IMMIM.
Siang berlalu, petang menyingkir. Malam pun merayap menggelapkan Bumi. Jarum jam terus berdetak dari detik ke detik. Ada gelisah mengusik ketika tidur. Mata sulit terpejam.
Senin, 24 Maret 1986
Ada sejumput kengerian di kalbu kala bangun menyambut fajar menyingsing. Ini hari penentuan. Kami bakal menghadapi ujian Aliyah, ujian akhir sebelum Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) serta ujian Pesantren.
Pagi ini, kampus Pesantren IMMIM, diamuk dinamika. Ada panorama molek. Pasalnya, santriwati Pesantren Gombara serta siswi Aliyah/SMA Swasta Muallimin Muhammadiyah, ikut ujian di sini.
Paling apes santri IPS Pesantren IMMIM. Mereka ke kota untuk ujian di sekolah lain. Ini bukti bahwa kesantrian bocah IPS tidak100 persen. Berbeda dengan laskar IPA yang tetap tegap di Tamalanrea.
Hari ini, kami ujian Hadis, Tafsir serta Syariat. Kami agak gugup. Musababnya, jawaban kami menentukan masa depan.
Setelah ujian selesai, kami pun dilanda perasaan senang setelah tadi tegang. Ini memompa rasa percaya diri untuk berjibaku di hari kedua besok.
Selasa, 25 Maret 1986
Hari ini kami ujian Bahasa Arab dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Setelah mengisi jawaban, kami pun keluar ruangan. Saling memamerkan senyum.
Siswi Muhammadiyah rupanya kumpulan kupu-kupu cantik. Berparas rupawan. Ini membuat kumbang-kumbang IMMIM bersemangat.
Bakda Ashar, banyak rekan sesama kelas VI saling menyiram air. Teman yang berjalan mendadak disiram air dari ember atau wadah apa pun. Sahabat yang basah kuyup tentu saja jadi bahan tertawaan.
Rabu, 26 Maret 1986
Hari ini, kami ujian Bahasa Inggris serta Syariah.
Kamis, 27 Maret 1986
Hari ini, kami ujian Bahasa Indonesia dan Olahraga Kesenian (Orkes).
Saya teler menyelesaikan bahasa Indonesia. Susah sekali pertanyaannya. Lebih-lebih jawabannya.
Usai ujian, saya pulang ke rumah. Mau istirahat tanpa gangguan. Apalagi, besok Jumat. Kami prei.
Sabtu, 29 Maret 1986
Hari ini ujian Fisika serta Biologi.
Di antara sesama santri, membahana seorang siswi Muhammadiyah. Menurut kawan binal, namanya berinisial S. Ia cantik, mungil dengan kulit putih. Saya belum pernah melihatnya. Tentu mau berkenalan.
Senin, 31 Maret 1986
Hari ini kami ujian Menggambar. Saya jadi pahlawan bagi enam siswi Muhammadiyah. Pensil mereka kedaluwarsa. Saya pun meminjamkan pensil.
Baru mereka tahu jika alat tulisku banyak. Mungkin selama ini mereka mengira santri itu terbatas. Padahal, kami hidup berkecukupan di pesantren. Apalagi santri sultan. Mereka tentu royal, terutama ke gadis-gadis sintal.
Selasa, 1 April 1986
Siswi Muhammadiyah kian akrab dengan santri peserta ujian.
Kami pun saling bertukar pandang, bertukar senyum. Ujung-ujungnya, saling bertanya nama masing-masing.
Saya memperkenalkan diri sebagai "Ogi". Tawa siswi berderai mendengarnya. Ada pula yang cekikikan. "Seperti nama di film kartun, Yogie", ungkapnya geli.
Saya dengan S bertukar alamat. Saya langsung paham letak rumahnya. Tidak jauh dari bioskop New Artis, markasku.
Saya meminjam pulpen unik milik S. Saya juga meminjam bukunya.
Siswi Muhammadiyah bebas bergaul tanpa canggung di kampus IMMIM. Berbeda dengan santriwati Gombara. Mereka dijaga ketat oleh pembinanya.
Saya sempat sebal. Tatkala lewat di belakang aula, saya melirik ke santriwati Gombara. Seorang ustazahnya menatapku tajam. Dalam hati, sudah menumpang di sini, masih mau cari gara-gara dengan cara memelototiku.
Rabu, 2 April 1986
Hari ini tes terakhir. Pelajaran yang diujikan yakni Matematika serta Kimia.
Begitu tuntas mengerjakan ujian, kami berhamburan keluar kelas. Kami bahagia seolah sudah memandang langit ketujuh.
Santri kelas VI lantas siram-menyiram. Keadaan makin seru saat santri IPS tiba dari kota. Paling kacau Saifullah Nurdin karena menyemprot baju dengan pylox. Suasana pun membahana. Suara riuh terdengar menggelegar.
Saya mengajak enam siswi Muhammadiyah jalan-jalan ke kantin.
"Asramamu yang mana?" R dan F (keduanya inisial), bertanya.
Saya menunjuk ke Timur, letak bangsal Panglima Polem.
Di depan kantin, sejumlah rekan mencidukku. Mereka datang tanpa diundang sewaktu saya dikelilingi cewek-cewek. Saya meronta lantaran disemprot pylox.
Siswi Muhammadiyah kerasan di kampus. Kami menciptakan momen-momen menawan yang susah luntur dari ingatan. Hari ini, santri bersama siswi merajut persahabatan penuh makna serta warna-warni. Jiwa kami seolah terhubung.
Untuk menambah kesyahduan, kami berfoto-foto. Ada dua kamera. Argus milikku, lainnya kepunyaan seorang siswi. Kenangan yang diabadikan, tak bakal terancam eksistensinya dalam mengarungi pergantian zaman.
Kala sang Surya tergelincir menuju petang, siswi Muhammadiyah pun pulang. Santri genit melepas kepergian mereka dengan berat hati. Maklumlah, santri merupakan pribadi yang rindu gelak tawa lawan jenis. Kini, masih adakah pertemuan selanjutnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar