Kata Kenangan
Oleh Abdul Haris Booegies
Interaksi merupakan bagian dari pergaulan. Dengan berinteraksi, ada timbal-balik pengaruh antarhubungan. Interaksi bisa sesama murid sekolah, rekan kerja, tetangga atau orang yang baru dikenal.
Dalam berinteraksi, usia serta derajat bukan penghalang. Siswa dapat berinteraksi dengan guru atau pegawai. Karyawan dengan manajer, wartawan dengan redaktur atau pembeli dengan penjual.
Interaksi ada di mana-mana, termasuk di Pesantren IMMIM. Di kampus Islami ini, santri junior bisa berinteraksi dengan santri senior. Santri enteng pula berinteraksi dengan ustaz, guru serta pembina. Bahkan, ada santri berinteraksi dengan koki cantik. Punya hubungan khusus dengan koki, jelas menguntungkan santri. Sebab, masakan enak pasti menjadi santapan wajib tiap hari.
Di Pesantren IMMIM, santri yang kokoh secara finansial alias santri sultan atau santri berparas ganteng, tidak boleh punya dua koki kesayangan. Ini supaya tidak terjadi kecemburuan. Kalau kedua koki cemburu, niscaya santri bersangkutan yang gigit jari. Hidangan lezat mendadak tidak tersedia.
Ketika menjadi santri di Pesantren IMMIM para 1980-1986, ada beberapa ucapan istimewa sahabat yang muncul dari interaksi. Kalimat khusus ini seolah masih tergiang sampai kini.
Sayangnya, untaian kata ini tidak tercatat di buku harianku. Saya sanggup mengingatnya lantaran kesan kalimat tersebut begitu dalam. Kata-kata ini enteng ditelisik berkat ada peristiwa yang akan, sedang atau sudah berlangsung turut mengiringi.
oOo
Saat kelas IV, saya biasa menggunakan kata "modern" untuk hal-hal heboh. Di suatu kala, Musytari Randa yang berdiri di dekatku depan selasar asrama Panglima Polem lantas berkomentar. "Modern dalam bahasa Arab adalah mutakhir".
Saya termangu. Rupanya mutakhir adalah bahasa Arab. Di kurun tersebut, istilah "canggih" belum muncul. "Canggih" mulai ramai digunakan sewaktu saya kelas VI. Dipopulerkan oleh Menristek BJ Habibie.
oOo
Saat duduk di kelas IV, saya selalu kabur ke bioskop. Pimpinan Kampus akhirnya mencidukku untuk ditempatkan di Wisma Guru. Di sini, Mukbil yang kelas III lebih dulu dikarantina. Kami sama-sama bandel tingkat akut. Di Wisma Guru, ada ustaz Abdul Kadir Massoweang, Wakil Pimpinan Kampus. Belakangan bergabung kyai Abdul Kadir Kasim.
Saya cuma berdua Mukbil sebagai santri di Wisma Guru. Di sinilah masa-masa jaya kebebasanku. Saya bawa radio tape recorder dengan lebih 50 kaset. Majalah juga saya boyong, termasuk kitab suciku, majalah Vista. Di seluruh asrama di kampus IMMIM, benda-benda ini tergolong barang haram. Duo Abdul Kadir seolah cuek melihat ulahku. Keduanya tak pernah menegurku soal radio, kaset maupun majalah.
Di suatu hari, bergiang musik dari radio. Kyai Kadir Kasim lantas mengintip ke bilikku. "Merrung radiona Haris (bunyi radionya Haris)", ujarnya.
Saya menahan tawa mendengar bahasa Bugis kyai Kadir Kasim. Maklum, pilihan katanya salah. Ini karena kyai Kadir Kasim orang Selayar. Bukan "merrung" bila radio, namun, "moni". "Merrung" dan "moni" sama-sama berarti bunyi. Kalau mesin, mobil serta motor, digunakan "merrung". Sementara untuk radio, televisi atau mainan portabel dipakai morfem "moni".
Ketika bersua Lukman Sanusi yang orang Sengkang, saya ceritakan kecelakaan bahasa yang dilakukan kyai Kadir Kasim. Lukman sontak terbahak. Ia tak mampu menahan tawa.
oOo
Di suatu hari, saya berpapasan dengan Mahmuddin Achmad Akil di lapangan kampus. Wajahnya tampak ceria.
"Ada kabar kalau adikku telah lahir", ungkap Mahmuddin dengan mata berbinar. Bibirnya berhias senyum akibat segudang kembang bahagia memenuhi rongga dadanya.
"Perempuan adikku", sambungnya senang. Saya hanya terpana mendengarnya. Tak sanggup berkata-kata. Raut muka Mahmuddin perlahan berubah. Ada hasrat sekaligus harapan bergelayut di roman mukanya. Ia pasti ingin segera pulang ke Sidrap. Mau mencium adik barunya. Hendak menggendong sebagai bentuk kasih sayang. Mata Mahmuddin mulai berkaca-kaca. Ada keharuan, ada kerinduan di Tamalanrea untuk adik baru di Sidrap.
oOo
Sewaktu kelas II, saya mulai memajang poster di dekat ranjangku. Poster itu hasil kreasiku karena bisa melukis. Naik kelas V, poster yang saya tempel di dinding sekitar 20, belum termasuk di lemari. Tentu saja poster tersebut aktris Hollywood dan roker Amrik yang dibeli di toko buku. Saya tidak bernafsu menempel poster selebritas Mandarin walau ada yang cantik seperti Lin Ching Hsia.
Di suatu hari, Fuad Mahfud Azuz bertandang ke tempatku di kamar 1 Panglima Polem. Ia heran karena di lemariku ada dua poster bayi.
"Biasanya yang suka poster bayi itu cewek", ujar Fuad.
oOo
Di suatu senja saat kelas V, saya mengajak Abdul Hafid ke bioskop. Ada film baru. Hafid ogah, bergeming.
"Saya mau mengadili dulu di qismul amni (seksi keamanan). Kamu saja yang pergi", jawabnya dengan senyum meringis.
Tentu saja mustahil menunggu Hafid. Ia mulai mengadili santri pelanggar pada pukul 20.00. Sementara film diputar pukul 20.00.
Mengapa Hafid tersenyum menyeringai ketika menyuruhku pergi seorang diri ke bioskop? Ini lantaran ia menikmati aksi menggertak seraya memukul santri pelanggar. Tidak heran jika banyak santri junior menudingnya kejam. Mereka kapok diintimidasi secara fisik sampai jantung nyaris copot.
oOo
Menjelang ujian untuk tamat dari pesantren, saya ke kelas yang tidak jauh dari kantor Pimpinan Kampus. Di siang bakda Zhuhur itu, kami kelas VI sudah tidak aktif belajar.
Tatkala hendak masuk ke kelas, Saifuddin Ahmad melintas di koridor.
"Kita harus belajar keras. Tidak seperti Shalahuddin yang satu kakinya sudah ada di perguruan tinggi", seloroh Saifuddin seraya memperagakan satu kakinya masuk ke ruang kelas.
Shalahuddin Ahmad bukan santri sembarang. Ia cerdas sekali. Saya pernah ke biliknya. Jangankan di ember ada rumus fisika, di timba sumurnya saja ada rumus kimia. Seingat saya, ia punya 23 buku fisika saat kelas VI.
Prediksi Saifuddin benar. Shalahuddin lolos di ITB. Sementara Saifuddin di Fisipol Unhas. Saya di Sastra Unhas.
oOo
Saat ujian Pesantren 1986, dua rekan hampir tidak ikut. Semua gara-gara mengusik santriwati saat Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebtanas). Senpai Indra Jaya Mansyur pun murka.
Segelintir santri kelas VI, tidak puas dengan tindakan senpai. Ini memicu kasak-kusuk untuk melakukan perlawanan.
Informasi ini tersembunyi. Saya pun hampir tidak mengendusnya. Saya dihindari karena termaktub orang kedua di Black Panther unit IMMIM.
Di suatu interaksi selepas Matahari tergelincir, saya bersama empat kelas VI berbincang. Di momen itu, tiada satu pun kata yang saya ucapkan.
"Bagaimana dengan kamu, Lukman", pancing seorang kawan.
"Tidak mungkin saya mau lawan guruku!" Sembur Lukman Sanusi dengan suara marah sembari melirikku.
Sampai sekarang, saya selalu lupa bertanya ke Lukman. Apa maksud ia melirikku. Apakah itu bermakna Lukman sependirian denganku untuk membela senpai atau sekedar drama ala sinetron TV swasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar