Santri Moviegoer
Oleh Abdul Haris Booegies
Selama berguru di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM pada 1980-1986, tersaji fakta bahwa sebagian santri senang ke bioskop. Mereka nonton film tatkala libur pada Kamis siang dan Jumat. Sementara moviegoer (pecandu film) tidak dibatasi waktu. Bila ada film baru serta bagus, mereka bolos, kabur dari kampus. Di zaman tersebut, bioskop merupakan hiburan bergengsi.
Pelipur lain di masa itu ialah kaset yang didengar lewat radio tape recorder. Sedangkan sumber informasi untuk entertainment diperoleh dari majalah dan surat kabar. Belum ada televisi swasta yang menyiarkan infotaiment.
Majalah yang membahas film sekaligus musik yaitu Vista, Variasi, Ria Film serta Team. Sementara Pos Film merupakan koran mingguan yang menjadi pula rujukan film dan musik.
Ada satu surat kabar yang juga menjulang dalam semarak. Namanya Inti Jaya. Koran ini doyan mengulas gosip-gosip panas seputar selebritas. Sebenarnya, Inti Jaya fokus ke kasus kriminalitas, khususnya perkosaan.
Saya tak pernah melihat santri Pesantren IMMIM menyimak Inti Jaya. Anehnya, mereka fasih melafalkan berita-berita hot Inti Jaya. Ini berarti santri membacanya secara sembunyi-sembunyi. Sebab, malu diledek sebagai konsumen informasi porno.
Inti Jaya terbilang lantang memajang gambar vulgar. Foto-foto seronok yang ditampilkan cuma dicoret hitam pada alat kelamin.
Saya pernah membeli Inti Jaya ketika heboh foto bugil YK. Pada 1983, cewek imut ini berpose aduhai sebagai model kalender porno. Inti Jaya memang mencoreng hitam genitalia YK, tetapi, tetap "pusing pala Barbie" membayangkan lekak-lekuk yang dicoret.
Midnight Show
Film, kaset maupun majalah merupakan hiburan favorit di era 80-an. Dari tiga jenis hiburan ini, tentu film menempati peringkat pertama. Di periode tersebut, Makassar punya sederet bioskop. Gugusan bioskop di tengah kota yakni New Artis Theatre, Artis II, Makassar, Paramount, Dewi, Mitra. Istana, Benteng, Ratu, Jaya, Teater DKM, Rusa, Apollo, Mutiara, Mesra, Cenderawasih serta Jumpandang.
Santri dijamin emoh ke bioskop Rusa yang terletak di Jalan Rusa. Maklum, bioskop ini tidak jauh dari kediaman Haji Fadeli Luran, pendiri Pesantren IMMIM.
New Artis sangat populer karena identik dengan midnight show di akhir pekan. Pertunjukan pada pukul 00.00 ini senantiasa ramai dibanjiri penonton. Pasalnya, menayangkan box office dunia semacam James Bond.
Pada Sabtu, 13 Februari 1983, saya nonton midnite film For Your Eyes Only. Serial 007 ini tayang perdana di New Artis. Sejak Sabtu pagi, saya telah menyusun strategi untuk kabur dari kampus. Sinopsis film sudah saya tahu lewat Vista, kitab suciku di pesantren. Soundtrack yang didendangkan Sheena Easton telah pula saya dengar dari kaset.
Biasanya, film yang diputar midnite akan tayang secara reguler sesudah sepekan atau setengah bulan. Lebih baik langsung nonton midnite ketimbang menunggu 10 hari untuk menyaksikan petualangan seru James Bond. For Your Eyes Only diputar reguler di New Artis dan Artis II pada Rabu, 23 Februari 1983, 10 hari setelah saya tonton.
Selain film bermutu, midnite juga terkadang memutar film aurat. Aktris-aktrisnya tak canggung memamerkan buah dada yang ranum mempesona. Dalam bonae memoriae (ingatan baik) perihal solidaritas sesama santri moviegoer, terlontar kriteria dara idola. Santri mendambakan perawan dengan bibir sensual, perut ramping serta kaki jenjang. Bagi santri, gadis sempurna mesti memiliki bokong bulat dan payudara padat berisi. Tidak kempot seperti emak-emak yang punya selusin anak. Santri Tamalanrea zaman old suka bodi gitar yang kini dinamakan hourglass, berlekuk serupa jam pasir.
Pada 1984, puluhan santri menyaksikan Lady Tenant Next Door. Di film ini, Edwige Fenech tak memakai beha. Santri yang menonton hanya bisa menahan nafas. Mereka ngiler membayangkan nikmatnya olah tubuh dua insan berbeda jenis.
Penampilan Edwige Fenech selalu mengundang syahwat. Raganya montok. Kulitnya putih mulus, halus pula bak kulit bayi. Tidak sama cewek lokal yang biasa berpantat hitam. Santri yang ketagihan adegan mesum Edwige Fenech, mendadak bermental hidung belang, mata keranjang, buaya darat atau kucing garong.
Bidadari Pasifik
Dari ratusan film yang saya tonton selama berstatus santri, ada dua paling membekas. Keduanya adalah The Blue Lagoon serta Back to the Future.
The Blue Lagoon merupakan petualangan percintaan. Saya kelas II Tsanawiyah saat menontonnya di New Artis pada 1982. Hikayatnya tentang sejoli yang bereksperimen secara seksual. Film The Blue Lagoon disadur dari novel karya Henry De Vere Stacpoole yang diterbitkan pada 1908.
Di film ini, Brooke Shields yang berlakon sebagai Emmeline Lestrange, tampil mempesona. Brooke Shields yang berumur 14 tahun, terlihat memukau sebagai wanita muda dari era Victoria. Ia laksana bidadari yang tersesat di pulau tropis di Pasifik Selatan.
Sampai sekarang di usia remaja senja, saya terus merindukan hidup ala The Blue Lagoon demi menstimulasi imajinasi. Senantiasa tafakur mendambakan realitas kreatif ini menjelma kenyataan objektif. Saya berharap sepenuh jiwa agar leluasa bermukim di sebuah pulau terpencil yang sepi, sunyi dan senyap. Di sana semua free no fee. Khayal tak terbendung untuk merestrukturisasi kehidupan dengan didampingi empat gadis belia yang cuma mengenakan kutang serta cawat, persis Brooke Shields di The Blue Lagoon.
My Mind My Adventure
Film yang juga merasuk ke sumsum ialah Back to the Future. Awalnya, saya bingung membaca judul. Apa maksud "kembali ke masa depan"? Ungkapan yang jamak terdengar yaitu "kembali ke masa lampau". Tajuk film ini jelas provokatif, merangsang nalar. Kelak, Back to the Future mempengaruhi artikel-artikel yang saya produksi.
Back to the Future tiada lain satuan fragmen fiksi ilmiah dengan bumbu komedi petualangan. Film ini berkisah mengenai kasus mahaberat lantaran mempermainkan tempo. Ilmuwan nyentrik Dr Emmett Brown (Christopher Lloyd) mengirim Marty McFly (Michael J Fox), sahabatnya ke zaman silam menggunakan mobil DeLorean DMC-12. Mobil ini dimodifikasi sebagai penjelajah waktu. DeLorean dilengkapi flux capacitor bertenaga 1,12 gigawatt yang setara energi halilintar.
Melintasi waktu sesungguhnya perkara maharuwet. Walau bertema berat, namun, alur Back to the Future teramat lugas dan sederhana. Apalagi, tidak ada hukum fisika teoretis yang mengharamkan seseorang berpindah waktu.
Menonton Back to the Future seolah kita menyeruput es cendol di beranda rumah kala panas terik. Begitu banyak warna serta ilustrasi di film ini. Dahi tak berkerut menyimak perjalanan waktu dari Sabtu, 26 Oktober 1985 (12 Shafar 1406 Hijriah) ke Sabtu, 5 November 1955 (21 Rabiul Awal 1375 Hijriah) yang ditempuh kurang dari tiga detik!
Usai menyaksikan Back to the Future, saya berfantasi meracik artikel-artikel bernuansa masa depan yang mudah dipahami. Berilusi menghasilkan artikel teknologi dan sains yang ringan serta enteng diselisik. Kening tidak perlu berkedut memamah ide-ideku. Gaya tulisan mutlak kreatif sebagaimana sineas Hollywood mengemas Back to the Future. Dengan menulis, saya menggagas kredo suci bahwa; "my mind my adventure".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar