Senin, 15 Agustus 2022

Diari Fuad


Diari Fuad
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sehari sebelum pulang ke Maluku, Fuad Mahfud Azuz mengunjungiku pada Senin, 25 Juli 2022.  Ia sempat melongok ke perpustakaan.  Saya memamerkan tumpukan diari yang saya tulis selama di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.
     Di buku harian tersebut, tertera sejumlah nama Fuad.  Saya dengan Fuad menjalin pertemanan sejak kelas I sampai VI di Pesantren IMMIM.  Persahabatan kami diwarnai pasang surut.  Benci dan tawa.  Sebab, watak berbeda.  Saya temperamental, sementara Fuad sarat empati.
     Menjelang akhir 1984, saya sempat murka ke Fuad.  Seorang rekan membisik bahwa tadi malam ada rapat sesama konco Masdar.  Kelompok santri ini ingin membalas dendam atas pembunuhan 1.000 Muslim di Tanjung Priok pada Rabu, 12 September 1984.
     Pembantaian terhadap umat Islam terjadi akibat Babinsa (Bintara Pembina Desa) bernama Hermanu masuk ke mushala tanpa melepas sepatu.  Bukan itu saja, ia juga menyiram dinding surau dengan air got pekat untuk melepas sebuah pamflet.  Warga di seputar mushala pun geram.
     Masdar yang merupakan santri kelas VI, sukses menggalang kekuatan di pesantren.  Fuad ikut terbuai.  Komplotan ini punya dua agenda.  Pertama, memberontak kepada Orde Baru.  Kedua, bertekad melakukan pembersihan di pesantren.  Santri yang dianggap tidak sejalan bakal disingkirkan dengan cara dibunuh.  Namaku ada di nomor urut paling atas.  Pasalnya, dinilai agen Amerika yang mempropagandakan Hollywood di Pesantren IMMIM.  Slogan mereka: "Hancurkan Haris Bugis dengan Amerikanya".
     Tatkala rapat di tengah malam, Fuad keceplosan.  Ia hendak melibasku atas nama jihad.  Ketika informasi ini terdengar di kupingku, rasanya geli, kecewa, jengkel sekaligus marah.
     Rupanya, posisi Fuad cukup kuat.  Ia didukung MR yang ditunjuk komandan pasukan khusus untuk mengeksekusi target.
     Sampai tamat di pesantren, "pasukan takut mati" ini tak dapat menjalankan satu pun misinya.  Mereka keteteran sendiri.  Bahkan, kena tipu sampai jutaan rupiah oleh Didin, guru spiritual Masdar.  Sedangkan Masdar dipecat pada Jumat, 16 November 1984.  Sebaliknya, kampanye Amerika makin agresif serta masif di pesantren berkat majalah dinding Superpower yang saya terbitkan.

Rabu, 5 Desember 1984
     Hari ini Rabu, 13 Rabiul Awal 1405 Hijriah, ada rencana maulid di pesantren.  Pagi saat santri kongko, ada fogging di seluruh rayon dalam kampus.  Pengasapan alias insektisidasi ini menyemburkan senyawa kimia untuk membasmi serangga, khususnya nyamuk Aedes aegypti.
     Muhammad Ishak Madani, sepupu, ketika sore datang membawakanku makanan berupa nasi pulut (sokko), ayam goreng tumis, gulai ayam dan telur rebus.  Tadi siang pasti ada maulid di rumah.
     Saya, Fuad bersama Ahmad Kurikilat kemudian menyantap habis hidangan.  Kami gembira karena bahan bakar untuk perut lumayan enak.  Beginilah hidup di pondok.  Kendati makanan cuma sedikit, tetapi, memuaskan bila dilahap beramai-ramai.

Ahad, 24 Februari 1985
     Kala pagi menyingsing, saya ke kamar Fuad.  Kami bergantian cerita.
     Mendadak suasana berubah serius.  Fuad terlihat berhati-hati saat mengeluarkan kata demi kata.  Ini terkait majalah dinding Superpower.  Nyaris di tiap kalimat, ia menyebut namaku.  Ini teknik Fuad agar saya tidak tersinggung.
     "Saya sudah hubungi anak IPA, mitra sekelasmu, Haris.  Sebaiknya kamu bikin majalah dinding tersendiri dengan nama Superpower, tanpa embel-embel eksakta.  Kalau kamu kerja sama, pasti cekcok.  Soalnya, tiap edisi kamu selalu menampilkan Amerika.  Kamu memiliki keuntungan jika berdiri sendiri menangani Superpower.  Maklum, menang tempat berkat berada di pojok ramai antara asrama Datuk Ribandang dengan Panglima Polem".
     Rupanya, segelintir anak IPA gerah lantaran Superpower mewartakan film maupun musik dari negeri Paman Sam.  Fuad yang anak IPS pun dipanggil sebagai negosiator untuk menekan saya.

Jumat, 22 Maret 1985
     Pukul 10.00, saya berpapasan dengan ustaz Hasnawi Mardjuni di pintu belakang aula.  Ia menyuruhku mencari khatib di kota.
     "Kamu naik mobil", terang ustaz Hasnawi sambil menunjuk Mattulada, sang sopir.
     Saya lantas memanggil beberapa sobat supaya perjalanan menjelma petualangan seru.  Saya ajak Fuad, Wahyu Muhammad, Muhammad Zubair Andy, Andi Arman, Lukman Sanusi serta Juriani F.
     Di atas kendaraan, saya banyak lagak.  Bergantian ikhwan menegurku agar diam.
     "Kita di mobil pesantren.  Apa kata orang bila melihatmu ugal-ugalan".
     Saya tak menggubris peringatan kawan-kawan sampai tiba di Gedung IMMIM, sekitar 10 km dari pesantren.  Saya turun dari mobil seraya bertingkah bagai orang penting demi mencari khatib untuk masjid ath-Thalabah, Tamalanrea.

Ahad, 1 Desember 1985
     Ketika bangun, masih terasa bayangan Splash, film yang tadi malam saya tonton di New Artis.  Film ini dibintangi oleh Tom Hanks dan Daryl Hannah.  Ini film fantasi romantis, agak kocak.
     "Hikayat film ini bagus, Fuad", ujarku berpromosi saat berjumpa dengan Fuad.  Ia melirikku.  Memperhatikan raut wajahku.
     Fuad pun berfilsafat bahwa orang yang berkomunikasi sembari menyebut nama lawan bicara, cenderung diperhatikan.  Ada kesan untuk menyimak percakapan.  Biasanya kamu tidak menyebut namaku kalau kita berinteraksi secara verbal.  Ini memaparkan pula jika Splash yang kamu saksikan berkesan di hatimu.

Jumat, 13 Desember 1985
     Bakda Magrib, saya ke sebuah masjid di kota Pinrang.  Di sana, empat santri Pesantren IMMIM mengikuti perhelatan Pelajar Islam Indonesia (PII).  Ini suasana libur.  Hatta, remaja Muslim mempererat hubungan sosial dengan menyelenggarakan aktivitas positif.  Agendanya meliputi hidup serta kehidupan dengan menekankan manusia dan kemanusiaan.
     Fuad sedang berceramah ketika saya masuk ke masjid.  Ia agak heran saat menatapku.  Musababnya, kami bertemu di Pinrang, sekitar 163 km dari Pesantren IMMIM.
     Empat hari sebelumnya pada Kamis, 10 Desember 1985, saya kaget melihat Ali berdiri di pinggir jalan di Pinrang.  Saya dalam perjalanan menuju rumah paman di Data, yang jaraknya sekitar 30 km lagi.  Ali yang berasal dari Timor Timur, berbinar ketika memandangku.  Ternyata ia bersama Fuad, Irwan Thahir Manggala serta Hamid Seltit menjadi utusan untuk mengikuti PII di Pinrang.  Empat santri Pesantren IMMIM ini ditempa menjadi teladan bagi umat dengan otoritas keilmuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People