Rindu Pesantren Rindu Rumah
Oleh Abdul Haris Booegies
Sekolah asrama semacam pesantren identik dengan aturan. Segenap aktivitas berjalan di atas peraturan dan tata tertib. Pesantren selalu menekankan kedisiplinan santri.
Di Pesantren IMMIM, aturan pun mewarnai rutinitas. Dari seluruh aturan, tentu yang paling menyiksa tiada lain jadwal pulang.
Santri cuma punya satu kali jatah pulang dalam sebulan. Pulang pada Kamis pukul 14.00. Balik lagi ke kampus pada Jumat pukul 16.00.
Aturan pulang sekali sebulan membelenggu sejumlah pelajar kampus Islami. Santri badung bersama santri puber akhirnya melampiaskan egoisme dengan melanggar peraturan. Mereka bolos dari kampus. Ini pelanggaran berat di pesantren. Hukumannya pun berat nian.
Santri pelanggar dihukum agar tak ditiru oleh rekan-rekannya. Ini juga diterapkan supaya ada efek jera bagi pelanggar. Alhasil, prinsip supremasi hukum yang didasarkan pada kaidah-kaidah etika serta akhlak dapat ditegakkan. Apalagi, aturan dan tata tertib memiliki nilai pendidikan. Sebab, santri diarahkan menjadi manusia yang menjunjung tinggi moral.
300 Kali Bolos
Saya terkenang tatkala kelas I di pesantren. Di suatu siang saya gelisah. Mendadak rindu meronta mengajak pulang. Saya menimbang aksi ini. Untuk apa pulang? Apalagi, sejak kelas II SD saya telah hidup terpisah dengan orangtua. Entah bagaimana, saya tetap nekat pulang ke rumah.
Saya sudah memperhitungkan segala aspek resiko. Kalau ketahuan pasti dilibas di qismul amni (seksi keamanan). Di situ ada Bachtiar, yang suara tapak kakinya saja bisa menggedor jantung sampai copot. Resiko lain yang menakutkan ialah digundul jika ketahuan bolos dari kampus.
Rindu mengalahkan semua. Ketika teman-teman tidur siang, saya keluar kampus setelah mengelabui dua piket. Saya ke arah Kavaleri untuk menunggu mikrolet (petepete).
Jarak rumah dengan pesantren sekitar 15 km. Dua kali naik mikrolet. Saya hanya sekitar lima menit di rumah. Sesudah itu saya kembali ke kampus. Saya merasa berdosa meninggalkan pesantren tanpa izin.
Di luar dugaan, sukses tanpa hukuman di bolos pertama, membuat saya ketagihan. Saya ingin terus mengulang petualangan-petualangan mendebarkan. Selama enam tahun di pesantren, saya mungkin 300 kali bolos. Sebuah prestasi yang sulit ditandingi.
300 Santri Hijrah
Saat saya naik kelas II pada pertengahan 1981, terjadi perubahan radikal. Ustaz Saifullah Mangun Suwito menggantikan ustaz Ismail Halim Tanro sebagai pimpinan kampus. Jadwal pulang ikut berubah.
Tidak diperkenankan lagi pulang pada Kamis. Santri cukup diberi kesempatan beberapa jam pulang pada Jumat. Banyak santri mengeluh lantaran tak punya waktu menginap di rumah.
Setelah berjalan hampir tiga tahun, aturan pulang pada Jumat akhirnya dikembalikan lagi ke Kamis. Santri bersorak bahagia. Kebijakan ini disambut gegap-gempita. Kini, santri kembali menikmati vakansi dua hari; Kamis serta Jumat.
Pada Kamis, 2 Februari 1984, bagai ada eksodus di Pesantren IMMIM. Ini akibat santri yang pulang begitu banyak. Shaf di masjid langsung langsing. Barangkali ada 300 santri yang pulang. Kampus laksana kota mati yang habis diserbu pasukan khusus. Kosong dan lengang.
Pulang pada Kamis-Jumat bagi santri merupakan karunia. Pasalnya, santri berpeluang menata diri sesudah berlibur dua hari. Beristirahat dua hari selama sebulan bakal menyegarkan daya nalar sekaligus menggerus kebosanan. Jeda dua hari mampu merangsang otak berpikir progresif revolusioner.
Pesantren IMMIM mengajarkan bagaimana memompa diri, mental maupun pikiran menggapai yang terbaik. Elemen inilah yang senantiasa menggoda rasa rindu ke almamater. Segenap santri yang tamat selalu menyimpan rindu menggebu di kotak terdalam sanubari. Rindu kembali ke pesantren lantaran sejarah seolah hendak dikoreksi dengan cara merekonstruksi masa lampau di pesantren.
Pada Rabu, 14 Mei 1986, saya terbangun. Ini suasana baru. Saya sekarang di rumah. Sudah berbilang hari tamat di pesantren. Ada sesuatu yang menyusup di batin. Pikiran terasa kosong, hati pun begitu. Saya termenung di sisi ranjang. Kangen meluap-luap bak kobar api kala terkenang Pesantren IMMIM. Betul-betul sendiri tersiksa rindu.
Saya rindu sinar mentari pagi yang menyelinap di bilik I Rayon Panglima Polem, kamar terakhirku. Saya rindu udara segar fajar yang berembus dari pohon mangga depan aula. Saya rindu semerbak akasia dengan bunganya yang kuning. Saya rindu percakapan sahabat dalam bahasa Ararea (Arab Tamalanrea). Saya rindu air sejuk sumur kibar (senior). Saya rindu suasana dapur yang berisik dengan umpatan lucu kawan-kawan. "Lahmun karet", "nasi berotot" atau "ikan paku". Saya rindu pekik koki di pagi hari yang membagikan teh manis. "Dobel ini! Tadi sudah dikasih!"
Rindu santri adalah rindu ke almamater. Sebuah rumah suci yang dulu menempa kami menjadi petarung ulung untuk bergerak di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar