Dari Sini Narasi Besar Iapim Bermula
Oleh Abdul Haris Booegies
Syahdan, di suatu hari pada 1975, puluhan bocah putra maupun putri bersiaga meninggalkan kediaman masing-masing. Ada yang lincah bergerak karena bangga segera berstatus santri serta santriwati. Ada pula yang merenung. Ia bimbang berpisah dengan orangtua. Sepenggal suasana yang begitu menyorot perhatian sekaligus menguras emosi.
Sejumlah calon santri-santriwati yang ogah beranjak lantas dihibur. Mereka dipapah sambil dibujuk oleh keluarga.
"Ayah-ibu akan membesukmu saban hari. Di pesantren kamu bakal jadi ustaz yang selalu memperoleh kepala kambing kalau ada hajatan. Di sana kamu akan menjelma ulama intelek".
Tujuan seluruh anak-anak ialah Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM. Lokasi ada dua. Satu di Tamalanrea, Makassar. Lainnya di Minasa Te'ne (Miss Teen), Pangkep.
Tamalanrea khusus putra. Sedangkan di Minasa Te'ne untuk putri plus putra. Pesantren di Minasa Te'ne menerima putra dengan pertimbangan keamanan. Fadeli Luran dan bupati Pangkep HM Arsyad B bersama tokoh masyarakat lokal merestui kehadiran putra demi kenyamanan dalam belajar-mengajar. Kehadiran santri mampu menggerus gangguan dari luar. Santriwati bersama pembina juga dapat tenang berkat adanya santri.
Kebijakan ini hanya satu tahun. Pada penerimaan berikut, Minasa Te'ne cuma mengizinkan putri. Kuota pun tidak lagi berimbang. Jumlah santri sekitar 20. Sementara santriwati dua kali lipat.
Hidup terpisah dari orangtua membuat banyak santri-santriwati tersiksa. Mereka tak bisa bermanja-manja. Sebab, terkurung dalam sekolah asrama. Rutinitas ditentukan jadwal shalat serta lonceng.
Hidup sederhana di area kampus kian menusuk kalbu lantaran tiada kawan. Tidak ada kakak kelas. Tak ada adik kelas. Sunyi, sepi dan senyap. Kosong serta hening serasa dalam gua.
Tiada hiburan kecuali belajar di tengah kekurangan. Tidak ada listrik, apalagi televisi atau telepon. Segalanya serba bersahaja di pertengahan era 70-an.
Kala malam menjelang, semua pun sibuk. Mereka menyiapkan diri menyambut malam yang tanpa penerang. Terkadang, ranting pohon yang bergoyang sanggup mencabik-cabik nyali santri-santriwati. Mereka terkesiap, mengira pohon yang dilihat berhantu. Padahal, ada burung yang bertengger. Ada bayu yang berembus.
Di tengah malam, terdengar suara jangkrik dan kodok dari ilalang liar. Hewan piaraan penduduk, acap pula menyelonong ke kampus. Sapi, kerbau serta kambing ini kerap mendengus sembari mengibaskan-ibaskan ekor mengusir nyamuk. Santri-santriwati yang mengupingnya langsung menutup telinga dengan bantal. Sekujur tubuh ditudungi sarung. Doa santri-santriwati seragam, berharap pagi segera tiba untuk memulai aktivitas baru.
Dari hari ke hari dan dari pergantian malam demi malam, pelajar Muslim ini menghadapi ragam cobaan. Beberapa di antara mereka menangis merenungi nasib yang tak menentu di tengah keterbatasan. Sebagian akhirnya meninggalkan pondok, memilih sekolah lain. Mereka wassalam dari kampus Islami.
Santri-santriwati lain berusaha tegar. Semua berikhtiar membangun stamina spiritual. Mereka terus mengasah intelektualitas secara prima. Perjalanan masih panjang, tetapi, pantang biduk surut ke pantai. Bukan pengelana ilmu bila pulang tanpa kemuliaan. Cita-cita wajib dikejar, sekalipun menyeberang seribu samudera.
Derita akhirnya berbuah keagungan. Enam tahun berlalu. Kini, mereka tertegun. Terpana nyaris tidak sadar bahwa perjalanan panjang telah khatam. Rintangan terjal yang dulu memalang akhirnya menjadi cerita masa silam yang semanis madu.
Deretan sengsara di awal mula Pesantren IMMIM yang dialami alumni pertama, menjadi tali batin. Jiwa mereka saling bertaut sebagai komunitas santri pelopor Pesantren IMMIM.
Dari kisah heroisme alumni 81, kita menyaksikan rasa persaudaraan yang begitu kental. Mereka bukan saja seperti saudara, namun, kembar identik dari seorang ibu suci.
Korps 81 merupakan tonggak sejarah yang menopang pergerakan Iapim. Mereka menjadi pusat gravitasi dari alumni 1982 sampai lichting terbaru. Angkatan pionir ini mendesain fondasi yang sekarang semerbak mengiringi perjuangan-perjuangan alumni di segenap bidang. Mereka mengentak dalam romansa bertabur gairah. Tamatan antik ini menyinari fajar baru rangkuman peristiwa kejayaan Pesantren IMMIM.
Dari hampir seratus santri-santriwati 1975-1981, hanya 32 yang selamat sentosa tiba di finis. Nama mereka bakal abadi di tiap momen historis Pesantren IMMIM. Angkatan 7581 akan tergiang terus sebagai santri-santriwati perintis. Nama mereka terukir dengan tinta emas sebagai alumni pertama yang menjadi sumber segenap narasi Iapim.
Inilah nama lulusan yang lestari dalam gemerlap kemewahan Pesantren IMMIM.
Alumni Pesantren IMMIM Putra:
1. Abdul Rauf K
2. Amir Mahmud
3. Andi Makmun Tato Wawo
4. Andi Syamsu Darmawan
5. Faisal Sanusi
6. Harun Al Rasyid
7. Indra Jaya Mansyur
8. Kamaruddin
9. Khairuddin Rabbi
10. Khairuddin SB
11. Makki Rauf
12. Muhammad Ansar Ilyas
13. Muhammad Ilyas L
14. Muhammad IrfanTiro
15. Muhammad Nur Anugrawan
16. Muhammad Ridha Hs
17. Muhammad Taufiq Tobo
18. Rusydi Abdullah
19. Tamsir Mustaqim
20. Zainal Abidin
Alumni Pesantren IMMIM Putri:
1. Fatmawati
2. Hasma
3. Jumriah
4. Kudsiah
5. Madyan A
6. Mariati
7. Martina Budiana Mulia
8. Najemiah
9. Nurhayati
10. Nurliah
11. Rosdiana K
12. Saberiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar