Pesantren IMMIM Bukan Restoran
Oleh Abdul Haris Booegies
Sebelum dilantik sebagai nabi, Maharasul Muhamnad tertera sebagai taipan gemilang. Bisnisnya berkembang pesat. Ia tinggal bersama Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta. Rumahnya di Mekah berlantai dua, dilengkapi balkon.
Di hari-hari khusus, Maharasul Muhammad ke gua Hira. Ia berjalan kaki menenteng bekal makanan ala kadarnya. Padahal, ia bisa diantar dengan kuda oleh karyawan atau budaknya. Ia dapat membawa berkarung-karung santapan lezat selama menginap di gua Hira.
Maharasul Muhamnad ke gua Hira untuk memikirkan komunitas Mekah yang kehilangan impuls spiritual. Di gua sempit itu, ia memikirkan langkah restorasi, reformasi dan revolusi untuk puak Quraisy. Maharasul Muhamnad mengasah akal serta kalbu. Bukan hedonisme, bersenang-senang dengan menu sedap.
Di Pesantren IMMIM, santri berguru selama enam tahun guna merestorasi, mereformasi dan merevolusi masa depannya. Santri tinggal di pesantren untuk belajar, bukan untuk makan enak.
Kala saya tercatat sebagai santri pada 1980-1986, menu cukup beragam. Ada ikan tembang, teri, telur, tempe, perkedel teri, sayur serta pecel. Ada jatah teh manis secangkir ketika pagi. Saat sore, santri leluasa mengambil teh tawar sebesar apa pun termos yang dibawa. Satu ember pun, silakan. Bebas.
Dari segi hidangan, sesungguhnya tidak ada masalah. Persoalannya, ada santri yang tak tahan di pesantren kemudian menuding makanan sebagai alasan untuk keluar. Ini kasus kecil yang dialami segelintir santri cengeng. Buktinya, ratusan santri tetap bertahan. Mereka beraktivitas penuh semangat dengan masakan ala koki dari dusun Kumadang.
Satu hal yang selalu terlupa. Pembayaran per bulan di pesantren tergolong kecil. Pada 1983, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sebesar Rp 15 ribu. Di masa tersebut, kue tradisional seperti tarajju (ubi jalar) dan apam dibanderol Rp 25. Martabak biasa Rp 150. Martabak istimewa Rp 750. Karcis buat nonton film di New Artis Theatre sebesar Rp 1.000.
SPP Rp 15 ribu jika dikalkulasi terlalu sepele dibandingkan fasilitas yang diperoleh di pesantren. Asrama sejuk, tidak ada nyamuk. Tak perlu bayar kos selama enam tahun. Ada listrik 24 jam. Ranjang disiapkan dengan papan. Air berlimpah, ingin mandi 10 drum tidak ada yang melarang. Sekali-sekala bebas ke warkop meneguk limun serta soda di pasar Bharata. Bahkan, santri Tamalanrea tak mengenal tawuran. Apalagi, tawuran dengan Pesantren IMMIM Putri Miss Teen (Minasa Tene).
SPP yang cuma Rp 15 ribu diperinci secara detail guna membeli beras, lauk-pauk, sayur-mayur, minyak tanah dan bensin untuk mobil pasar. Selain itu, dipakai pula untuk membayar staf. Pesantren menggaji pembina, guru, teknisi, sopir serta koki.
SPP yang seolah koin receh ini tidak pernah dimaklumi oleh sejumlah pihak, terutama santri bermental lembek. Mereka hanya tahu menuduh kalau santapan di pesantren tak memadai.
Pada 1983, terdengar isu bila SPP bakal naik menjadi Rp 20 ribu. Apes akibatnya. Rumah ustaz Saifullah Mangun Suwito selaku pimpinan kampus, dilempari oknum santri di tengah malam.
Di satu sisi, mau makan enak. Di sudut lain melakukan aksi pelemparan selama beberapa malam tatkala SPP hendak dinaikkan. Banyak santri tidak paham, bahwa dana pesantren begitu kecil. Alhasil, penghematan dilakukan. Sebagai contoh, ibunda Rahmah ke pesantren demi menampi beras di gudang. Di siang hari, ia seorang diri membawa tampah berdiameter 80 cm. Ibunda menampi beras secara manual guna memisahkan kotoran sebelum dibawa ke dapur. Santri tak mengerti bahwa nasi yang dimakan tersebut nyaman dikunyah berkat ikhtiar istri Abuna Fadeli Luran yang seorang diri menapis di gudang. Ini ditempuh untuk menghemat anggaran pesantren yang minim. Apakah momen yang menusuk sanubari seraya mengaduk-aduk emosi ini diketahui oleh santri dan alumni? Apakah warga Iapim pernah mengenang jasa-jasa ibunda Rahmah di awal sejarah Pesantren IMMIM?
Selama enam tahun, santri dilayani oleh koki-koki hebat nan cantik. Saya bersama kolega diladeni penuh takzim oleh juru masak spesial. Mereka antara lain Mantang (chef de cuisine di aula), Ny Suroso (head chef yang dikenal dengan panggilan Bibi Jawa), Ibunda Taga (kepala koki), Ari, Amming, Damma, Darna, Diana, Endang, Hasni, Hata, Kamariah, Nadira, Nonni, Nur Daedah (Deda), Rusni, Rusymi, Sahariah (Sariya), Sammi, Sana, Sara', Sayya serta Yuni (istri Pak Yusuf).
Pesantren membimbing santri agar tangkas. Tidak boleh manja, apalagi menuding hidangan kurang nikmat. Pesantren IMMIM merupakan institusi pendidikan, bukan warung makan. Pesantren IMMIM adalah medan buat menempa calon ilmuwan selevel Albert Eisntein, bukan restoran high class untuk selebritas.
Di gua Hira, Maharasul Muhammad bermunajat dengan bekal seadanya demi merestorasi, mereformasi dan merevolusi penduduk Mekah. Di Pesantren IMMIM, santri tiga kali sehari menyantap masakan sederhana supaya andal merestorasi, mereformasi serta merevolusi masa depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar