Sabtu, 12 Februari 2022

Ketawa Gaya Santri (6)


Ketawa Gaya Santri (6)
Oleh Abdul Haris Booegies


Episode keempatbelas:
Tabungan Finansial

     Pesantren IMMIM memiliki tujuh asrama pada 1983.  Rayon Pangeran Diponegoro, Rayon Panglima Polem, Rayon Datuk Ribandang (Fadeli Luran), Rayon Imam Bonjol, Rayon Sultan Hasanuddin, Rayon Raja Faisal serta Rayon Raja Khalik.  Ada pula bilik Anwar Sadat yang satu bangunan dengan asrama Hasanuddin.  Kamar Anwar Sadat ditempati oleh personel qismul amni (seksi keamanan).
     Ada satu lagi asrama bernama Ayatollah Khomeini.  Bangunan kayu berbentuk rumah panggung ini berubah fungsi menjadi pondok untuk pimpinan kampus.  Griya ini awalnya terletak di depan kampus, dekat pos piket.
     Pada 1978, asrama Khomeini diangkut ke belakang di arah Barat Daya.  Pasalnya, di lokasinya segera dibangun Majelis Guru.  Pada 1984, pondok ini menjadi mes guru.  Tenaga pendidik yang mengajar malam kerap menginap di mes.
     Ketika kelas IV (kelas I SMA), saya bersama Mukbil (8187) tinggal di mes bersama Abdul Kadir Massoweang, wakil pimpinan kampus.  Saya lantas memajang tonggak dengan tulisan Jalan Bugis.  Jalan setapak ini satu-satunya akses ke 20 toilet.
     Tujuh asrama di pesantren menampung sekitar 500 santri.  Mereka semua berwatak khusus, termasuk yang berkepribadian ganda semacam Havid de Berru (8086).  Ini santri nyentrik yang pernah berlari dalam keadaan bugil.
     Ada secarik memori mengenai karakter santri bernama Mahmuddin Akil (8288).  Ini santri asal Sidrap dari keluarga terpelajar.  Husain, kakeknya tertoreh sebagai guru kedua yang pernah ada di Sidrap.
     Mahmuddin dididik secara mandiri.  Sebelum masuk pesantren, ia senantiasa tampil rapi ke sekolah.  Di rumahnya di Pangkajene, ia punya radio tape kaset pita dengan speaker Yamaha, barang luks di era 70-an.  Mahmuddin suka mendengar murattal.
     Di suatu hari pada akhir 1982, saya mengunjungi Mahmuddin di Raja Khalik.  Saat ia membuka lemarinya, saya tertegun.  Ada celengan keramik berbentuk bulat.
     "Tiap pagi saya menabung Rp 25 atau Rp 50", bisiknya dengan senyum bagai merumuskan eksprerimen yang teramat terkontrol.
     Saya kehabisan akal mencerna kata-kata Mahmuddin.  Ini di luar jangkauan pikiran.  Bagaimana mungkin ada santri menabung?  Ini pasti kisah mengesankan yang membuat pohon nangka di depan dapur ikut terkesan.
     Kalau memiliki uang Rp 1.000, tak usah dipecah dalam bentuk koin Rp 25.  Langsung saja disimpan.  Lebih praktis.  Tidak butuh celengan.
     Di tarikh 1983, fulus Rp 25 nilainya lumayan.  Bisa ke kantin untuk membeli satu bakpao (roti pawa).  Kini pada 2022, bakpao isi kelapa atau kacang dibanderol Rp 1.000.
     Syahdan, kala bertemu ibu, saya beritahu bahwa Mahmuddin punya celengan di kampus.  "Ikhtiar yang baik.  Ia belajar berinvestasi untuk masa depan", jawab ibuku.
     Tatkala Mahmuddin kelas III, ia menjadi pengurus koperasi ath-Thalabah.  Bakda Isya selama setengah jam, Mahmuddin melayani pembeli.  Koperasi santri terletak di belakang aula, sejajar rayon Polem.  Qismul amni kemudian menempati ruangan tersebut ketika koperasi pindah ke belakang Majelis Guru.
     Hikayat celengan di Pesantren IMMIM, bukan cuma milik Mahmuddin.  Ada santri lain yang juga tekun menabung saban pagi.  Anehnya, sekalipun menabung, ia royal.  Sakunya bak ATM, seolah ia keponakan pangeran Kuwait.
     Sesudah diusut, akhirnya misteri tersingkap laksana rahasia sulap.  Ia memasukkan koin sebelum sarapan.  Saat akan ke kelas, ia merogoh bagian bawah celengan yang pecah akibat disengaja.  Koin ia rebut kembali untuk dikantongi.  Pantas banyak duitnya sebagaimana anak-anak Donald Trump.  Rupanya ia tiap hari membobol celengan.  Betul-betul santri nyeleneh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People