Kala Gelap Terbit Susah
Oleh Abdul Haris Booegies
Pesantren IMMIM dibangun dengan pendekatan multiaspek. Seluruh detail direken secara matang. Pendirian Pesantren IMMIM pada 1975, hampir bersamaan pemindahan lokasi Unhas dari Baraya ke Tamalanrea.
Tamalanrea tergolong perawan. Masih berupa rimba di pinggir kota. Sawah nan hijau tampak di tiap sisi jalan. Jauh di belakang, terpandang pohon-pohon kekar yang berusia puluhan tahun.
Pada awal 80-an, masih terlihat jelas bekas sawah yang menjadi lokasi Pesantren IMMIM. Dari depan laboratorium sampai di area 20 toilet. Kemudian dari belakang Rayon Sultan Hasanuddin sampai pagar di bagian Selatan. Segenap jengkal tanah masih menampakkan tekstur sawah.
Daerah ini sangat subur. Air berlimpah tiada habis. Pada 1980, ada tiga sumur di Pesantren IMMIM. Perigi kibar (senior), sumur kecil dekat dapur serta perigi di belakang kantin.
Tiga sumur ini digunakan sekitar 500 santri. Ajaibnya, tiga perigi ini tak pernah kering. Airnya meluap-luap ketika sumur penduduk di sekitar kering-kerontang di musim kemarau.
Sumber air favoritku ialah dekat dapur. Ini perigi mungil. Airnya jernih nian. Dari tiga sumur, ini yang terdalam. Rongga tengahnya buncit bagai perut gendut.
Di suatu malam saat kelas I, saya seorang diri lompat untuk menyelam. Mendadak saya menderu-deru tergopoh-gopoh naik ke atas. Saya ketakutan gara-gara dasarnya kasar dan sekelam jelaga periuk koki. Sejak itu, saya malas ke perigi di sisi dapur ini.
Pegawai Daerah
Tatkala Pesantren IMMIM dibangun, sang pionir Fadeli Luran turut memperhitungkan santri dari luar Sulawesi. Kalau ada santri menuntut ilmu di pesantren, lantas orangtuanya menjenguk. Di mana para pembesuk menginap?
Tamu dari luar Sulawesi tidak punya sanak-saudara di Tamalanrea. Hotel terlalu mahal untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Fadeli Luran yang merumuskan target ambisius lalu menawarkan solusi. Ada aula yang enteng disewa dengan tarif murah.
Jadi, fungsi lain aula yang berlantai dua yaitu hotel. Selain itu, kamar-kamar aula juga dihuni oleh guru-guru yang mengajar malam. Bila berhalangan pulang, mereka menginap di aula.
Pada 1984-1986, aula disewa secara bergantian oleh pegawai dari pertanian serta peternakan. Mereka mengikuti pelatihan dengan peserta dari daerah.
Guru-guru akhirnya menginap di mes selama aula digunakan oleh pihak luar. Mes terletak di Jalan Bugis dekat 20 peturasan. Di akhir 1984, saya tinggal di mes. Saya acap disuruh oleh wakil pimpinan kampus untuk menyiapkan kamar. Belakangan, saya tersingkir dari mes. Ustaz Abdul Kadir Massoweang menempatkan saya di bilik I Asrama Imam Bonjol.
Lail Majnun
Pada 1985, ada kebijakan baru pimpinan kampus. Lampu dipadamkan pada pukul 22.10. Begitu tiba di kamar dari kelas, semua rayon gelap-gulita.
Tentu saja santri dongkol. Di tengah gelap kami bingung. Aktivitas langsung khatam sebelum kelar. Santri tak berkesempatan mengkristalkan konsep. Padahal, tugas sekolah tidak pernah berakhir. Apalagi, santri berkhidmat untuk peradaban dunia dengan gagasan-gasasan futuristis.
Saya ikut repot. Biasanya setelah dari kelas, saya menulis diari selama 30 menit. Bagiku, menulis merupakan jalan ninja. Maklum, mencatat aktivitas di buku harian sanggup merangsang watak untuk tekun. Sesudah menorehkan teks di diari, saya berbaring mengkhayalkan anak gadis orang lain. Tak terasa, mata terkatup dibuai mimpi jerat-jerat cinta.
Sejak lampu dipadamkan, otak rasanya agak miring. Saya, rekan-rekan beringas level mercon bersama ketua geng gosip mengalami gejala "sinting sedikit". Virus ini didiagnosis bernama lail majnun, jika malam jadi gila karena tiada lentera.
Pemadaman lampu pasti dipicu oleh kenakalan santri. Santri bandel sering bereksperimen vulgar. Begadang sambil merokok, nonton TVRI sampai pukul 02.00 dan aktivitas unfaedah lain. Ustaz Saifullah Mangun Suwito akhirnya menempuh cara tidak lazim. Untuk mengikis mobilitas negatif santri, ia mematikan pelita.
Mudah bagi pimpinan kampus memadamkan lampu. Ia tinggal memencet tombol sekring (sirkuit pemutus) di sentral listrik yang terpasang di aula. Seluruh asrama pun kontan gelap-gulita lantaran mekanisme saklar internal terputus dari arus listrik. Akibatnya, terdengar pekik marah santri. Mereka mengumpat-umpat saking jengkel.
Pemadaman lampu merupakan kebijakan yang ditempuh secara terburu-buru. Pemadaman tentu tak menyelesaikan masalah. Justru memicu persoalan baru yang merugikan santri. Sikap reaktif ini menimbulkan kontra produktif. Pimpinan kampus akhirnya menghentikan malapraktik ini supaya santri tenang belajar dalam kampus Islami.