Minggu, 27 Februari 2022

Kala Gelap Terbit Susah


Kala Gelap Terbit Susah
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pesantren IMMIM dibangun dengan pendekatan multiaspek.  Seluruh detail direken secara matang.  Pendirian Pesantren IMMIM pada 1975, hampir bersamaan pemindahan lokasi Unhas dari Baraya ke Tamalanrea.
     Tamalanrea tergolong perawan.  Masih berupa rimba di pinggir kota.  Sawah nan hijau tampak di tiap sisi jalan.  Jauh di belakang, terpandang pohon-pohon kekar yang berusia puluhan tahun.
     Pada awal 80-an, masih terlihat jelas bekas sawah yang menjadi lokasi Pesantren IMMIM.  Dari depan laboratorium sampai di area 20 toilet.  Kemudian dari belakang Rayon Sultan Hasanuddin sampai pagar di bagian Selatan.  Segenap jengkal tanah masih menampakkan tekstur sawah.
     Daerah ini sangat subur.  Air berlimpah tiada habis.  Pada 1980, ada tiga sumur di Pesantren IMMIM.  Perigi kibar (senior), sumur kecil dekat dapur serta perigi di belakang kantin.
     Tiga sumur ini digunakan sekitar 500 santri.  Ajaibnya, tiga perigi ini tak pernah kering.  Airnya meluap-luap ketika sumur penduduk di sekitar kering-kerontang di musim kemarau.
     Sumber air favoritku ialah dekat dapur.  Ini perigi mungil.  Airnya jernih nian.  Dari tiga sumur, ini yang terdalam.  Rongga tengahnya buncit bagai perut gendut.
     Di suatu malam saat kelas I, saya seorang diri lompat untuk menyelam.  Mendadak saya menderu-deru tergopoh-gopoh naik ke atas.  Saya ketakutan gara-gara dasarnya kasar dan sekelam jelaga periuk koki.  Sejak itu, saya malas ke perigi di sisi dapur ini.

Pegawai Daerah
     Tatkala Pesantren IMMIM dibangun, sang pionir Fadeli Luran turut memperhitungkan santri dari luar Sulawesi.  Kalau ada santri menuntut ilmu di pesantren, lantas orangtuanya menjenguk.  Di mana para pembesuk menginap?
     Tamu dari luar Sulawesi tidak punya sanak-saudara di Tamalanrea.  Hotel terlalu mahal untuk masyarakat kelas menengah ke bawah.  Fadeli Luran yang merumuskan target ambisius lalu menawarkan solusi.  Ada aula yang enteng disewa dengan tarif murah.
     Jadi, fungsi lain aula yang berlantai dua yaitu hotel.  Selain itu, kamar-kamar aula juga dihuni oleh guru-guru yang mengajar malam.  Bila berhalangan pulang, mereka menginap di aula.
     Pada 1984-1986, aula disewa secara bergantian oleh pegawai dari pertanian serta peternakan.  Mereka mengikuti pelatihan dengan peserta dari daerah.
     Guru-guru akhirnya menginap di mes selama aula digunakan oleh pihak luar.  Mes terletak di Jalan Bugis dekat 20 peturasan.  Di akhir 1984, saya tinggal di mes.  Saya acap disuruh oleh wakil pimpinan kampus untuk menyiapkan kamar.  Belakangan, saya tersingkir dari mes.  Ustaz Abdul Kadir Massoweang menempatkan saya di bilik I Asrama Imam Bonjol.

Lail Majnun
     Pada 1985, ada kebijakan baru pimpinan kampus.  Lampu dipadamkan pada pukul 22.10.  Begitu tiba di kamar dari kelas, semua rayon gelap-gulita.
     Tentu saja santri dongkol.  Di tengah gelap kami bingung.  Aktivitas langsung khatam sebelum kelar.  Santri tak berkesempatan mengkristalkan konsep.  Padahal, tugas sekolah tidak pernah berakhir.  Apalagi, santri berkhidmat untuk peradaban dunia dengan gagasan-gasasan futuristis.
     Saya ikut repot.  Biasanya setelah dari kelas, saya menulis diari selama 30 menit.  Bagiku, menulis merupakan jalan ninja.  Maklum, mencatat aktivitas di buku harian sanggup merangsang watak untuk tekun.  Sesudah menorehkan teks di diari, saya berbaring mengkhayalkan anak gadis orang lain.  Tak terasa, mata terkatup dibuai mimpi jerat-jerat cinta.
     Sejak lampu dipadamkan, otak rasanya agak miring.  Saya, rekan-rekan beringas level mercon bersama ketua geng gosip mengalami gejala "sinting sedikit".  Virus ini didiagnosis bernama lail majnun, jika malam jadi gila karena tiada lentera.
     Pemadaman lampu pasti dipicu oleh kenakalan santri.  Santri bandel sering bereksperimen vulgar.  Begadang sambil merokok, nonton TVRI sampai pukul 02.00 dan aktivitas unfaedah lain.  Ustaz Saifullah Mangun Suwito akhirnya menempuh cara tidak lazim.  Untuk mengikis mobilitas negatif santri, ia mematikan pelita.
     Mudah bagi pimpinan kampus memadamkan lampu.  Ia tinggal memencet tombol sekring (sirkuit pemutus) di sentral listrik yang terpasang di aula.  Seluruh asrama pun kontan gelap-gulita lantaran mekanisme saklar internal terputus dari arus listrik.  Akibatnya, terdengar pekik marah santri.  Mereka mengumpat-umpat saking jengkel.
     Pemadaman lampu merupakan kebijakan yang ditempuh secara terburu-buru.  Pemadaman tentu tak menyelesaikan masalah.  Justru memicu persoalan baru yang merugikan santri.  Sikap reaktif ini menimbulkan kontra produktif.  Pimpinan kampus akhirnya menghentikan malapraktik ini supaya santri tenang belajar dalam kampus Islami.


Jumat, 25 Februari 2022

Rindu Pesantren Rindu Rumah


Rindu Pesantren Rindu Rumah
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sekolah asrama semacam pesantren identik dengan aturan.  Segenap aktivitas berjalan di atas peraturan dan tata tertib.  Pesantren selalu menekankan kedisiplinan santri.
     Di Pesantren IMMIM, aturan pun mewarnai rutinitas.  Dari seluruh aturan, tentu yang paling menyiksa tiada lain jadwal pulang.
     Santri cuma punya satu kali jatah pulang dalam sebulan.  Pulang pada Kamis pukul 14.00.  Balik lagi ke kampus pada Jumat pukul 16.00.
     Aturan pulang sekali sebulan membelenggu sejumlah pelajar kampus Islami.  Santri badung bersama santri puber akhirnya melampiaskan egoisme dengan melanggar peraturan.  Mereka bolos dari kampus.  Ini pelanggaran berat di pesantren.  Hukumannya pun berat nian.
     Santri pelanggar dihukum agar tak ditiru oleh rekan-rekannya.  Ini juga diterapkan supaya ada efek jera bagi pelanggar.  Alhasil, prinsip supremasi hukum yang didasarkan pada kaidah-kaidah etika serta akhlak dapat ditegakkan.  Apalagi, aturan dan tata tertib memiliki nilai pendidikan.  Sebab, santri diarahkan menjadi manusia yang menjunjung tinggi moral.

300 Kali Bolos
     Saya terkenang tatkala kelas I di pesantren.  Di suatu siang saya gelisah.  Mendadak rindu meronta mengajak pulang.  Saya menimbang aksi ini.  Untuk apa pulang?  Apalagi, sejak kelas II SD saya telah hidup terpisah dengan orangtua.  Entah bagaimana, saya tetap nekat pulang ke rumah.
     Saya sudah memperhitungkan segala aspek resiko.  Kalau ketahuan pasti dilibas di qismul amni (seksi keamanan).  Di situ ada Bachtiar, yang suara tapak kakinya saja bisa menggedor jantung sampai copot.  Resiko lain yang menakutkan ialah digundul jika ketahuan bolos dari kampus.
     Rindu mengalahkan semua.  Ketika teman-teman tidur siang, saya keluar kampus setelah mengelabui dua piket.  Saya ke arah Kavaleri untuk menunggu mikrolet (petepete).
     Jarak rumah dengan pesantren sekitar 15 km.  Dua kali naik mikrolet.  Saya hanya sekitar lima menit di rumah.  Sesudah itu saya kembali ke kampus.  Saya merasa berdosa meninggalkan pesantren tanpa izin.
     Di luar dugaan, sukses tanpa hukuman di bolos pertama, membuat saya ketagihan.  Saya ingin terus mengulang petualangan-petualangan mendebarkan.  Selama enam tahun di pesantren, saya mungkin 300 kali bolos.  Sebuah prestasi yang sulit ditandingi.

300 Santri Hijrah
     Saat saya naik kelas II pada pertengahan 1981, terjadi perubahan radikal.  Ustaz Saifullah Mangun Suwito menggantikan ustaz Ismail Halim Tanro sebagai pimpinan kampus.  Jadwal pulang ikut berubah.
     Tidak diperkenankan lagi pulang pada Kamis.  Santri cukup diberi kesempatan beberapa jam pulang pada Jumat.  Banyak santri mengeluh lantaran tak punya waktu menginap di rumah.
     Setelah berjalan hampir tiga tahun, aturan pulang pada Jumat akhirnya dikembalikan lagi ke Kamis.  Santri bersorak bahagia.  Kebijakan ini disambut gegap-gempita.  Kini, santri kembali menikmati vakansi dua hari; Kamis serta Jumat.
     Pada Kamis, 2 Februari 1984, bagai ada eksodus di Pesantren IMMIM.  Ini akibat santri yang pulang begitu banyak.  Shaf di masjid langsung langsing.  Barangkali ada 300 santri yang pulang.  Kampus laksana kota mati yang habis diserbu pasukan khusus.  Kosong dan lengang.
     Pulang pada Kamis-Jumat bagi santri merupakan karunia.  Pasalnya, santri berpeluang menata diri sesudah berlibur dua hari.  Beristirahat dua hari selama sebulan bakal menyegarkan daya nalar sekaligus menggerus kebosanan.  Jeda dua hari mampu merangsang otak berpikir progresif revolusioner.
     Pesantren IMMIM mengajarkan bagaimana memompa diri, mental maupun pikiran menggapai yang terbaik.  Elemen inilah yang senantiasa menggoda rasa rindu ke almamater.  Segenap santri yang tamat selalu menyimpan rindu menggebu di kotak terdalam sanubari.  Rindu kembali ke pesantren lantaran sejarah seolah hendak dikoreksi dengan cara merekonstruksi masa lampau di pesantren.
     Pada Rabu, 14 Mei 1986, saya terbangun.  Ini suasana baru.  Saya sekarang di rumah.  Sudah berbilang hari tamat di pesantren.  Ada sesuatu yang menyusup di batin.  Pikiran terasa kosong, hati pun begitu.  Saya termenung di sisi ranjang.  Kangen meluap-luap bak kobar api kala terkenang Pesantren IMMIM.  Betul-betul sendiri tersiksa rindu.
     Saya rindu sinar mentari pagi yang menyelinap di bilik I Rayon Panglima Polem, kamar terakhirku.  Saya rindu udara segar fajar yang berembus dari pohon mangga depan aula.  Saya rindu semerbak akasia dengan bunganya yang kuning.  Saya rindu percakapan sahabat dalam bahasa Ararea (Arab Tamalanrea).  Saya rindu air sejuk sumur kibar (senior).  Saya rindu suasana dapur yang berisik dengan umpatan lucu kawan-kawan.  "Lahmun karet", "nasi berotot" atau "ikan paku".  Saya rindu pekik koki di pagi hari yang membagikan teh manis.  "Dobel ini!  Tadi sudah dikasih!"
     Rindu santri adalah rindu ke almamater.  Sebuah rumah suci yang dulu menempa kami menjadi petarung ulung untuk bergerak di masa depan.


Senin, 21 Februari 2022

Dari Sini Narasi Besar Iapim Bermula


Dari Sini Narasi Besar Iapim Bermula
Oleh Abdul Haris Booegies


     Syahdan, di suatu hari pada 1975, puluhan bocah putra maupun putri bersiaga meninggalkan kediaman masing-masing.  Ada yang lincah bergerak karena bangga segera berstatus santri serta santriwati.  Ada pula yang merenung.  Ia bimbang berpisah dengan orangtua.  Sepenggal suasana yang begitu menyorot perhatian sekaligus menguras emosi.
     Sejumlah calon santri-santriwati yang ogah beranjak lantas dihibur.  Mereka dipapah sambil dibujuk oleh keluarga.
     "Ayah-ibu akan membesukmu saban hari.  Di pesantren kamu bakal jadi ustaz yang selalu memperoleh kepala kambing kalau ada hajatan.  Di sana kamu akan menjelma ulama intelek".
     Tujuan seluruh anak-anak ialah Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Lokasi ada dua.  Satu di Tamalanrea, Makassar.  Lainnya di Minasa Te'ne (Miss Teen), Pangkep.
     Tamalanrea khusus putra.  Sedangkan di Minasa Te'ne untuk putri plus putra.  Pesantren di Minasa Te'ne menerima putra dengan pertimbangan keamanan.  Fadeli Luran dan bupati Pangkep HM Arsyad B bersama tokoh masyarakat lokal merestui kehadiran putra demi kenyamanan dalam belajar-mengajar.  Kehadiran santri mampu menggerus gangguan dari luar.  Santriwati bersama pembina juga dapat tenang berkat adanya santri.
     Kebijakan ini hanya satu tahun.  Pada penerimaan berikut, Minasa Te'ne cuma mengizinkan putri.  Kuota pun tidak lagi berimbang.  Jumlah santri sekitar 20.  Sementara santriwati dua kali lipat.
     Hidup terpisah dari orangtua membuat banyak santri-santriwati tersiksa.  Mereka tak bisa bermanja-manja.  Sebab, terkurung dalam sekolah asrama.  Rutinitas ditentukan jadwal shalat serta lonceng.
     Hidup sederhana di area kampus kian menusuk kalbu lantaran tiada kawan.  Tidak ada kakak kelas.  Tak ada adik kelas.  Sunyi, sepi dan senyap.  Kosong serta hening serasa dalam gua.
     Tiada hiburan kecuali belajar di tengah kekurangan.  Tidak ada listrik, apalagi televisi atau telepon.  Segalanya serba bersahaja di pertengahan era 70-an.
     Kala malam menjelang, semua pun sibuk.  Mereka menyiapkan diri menyambut malam yang tanpa penerang.  Terkadang, ranting pohon yang bergoyang sanggup mencabik-cabik nyali santri-santriwati.  Mereka terkesiap, mengira pohon yang dilihat berhantu.  Padahal, ada burung yang bertengger.  Ada bayu yang berembus.
     Di tengah malam, terdengar suara jangkrik dan kodok dari ilalang liar.  Hewan piaraan penduduk, acap pula menyelonong ke kampus.  Sapi, kerbau serta kambing ini kerap mendengus sembari mengibaskan-ibaskan ekor mengusir nyamuk.  Santri-santriwati yang mengupingnya langsung menutup telinga dengan bantal.  Sekujur tubuh ditudungi sarung.  Doa santri-santriwati seragam, berharap pagi segera tiba untuk memulai aktivitas baru.
     Dari hari ke hari dan dari pergantian malam demi malam, pelajar Muslim ini menghadapi ragam cobaan.  Beberapa di antara mereka menangis merenungi nasib yang tak menentu di tengah keterbatasan.  Sebagian akhirnya meninggalkan pondok, memilih sekolah lain.  Mereka wassalam dari kampus Islami.
     Santri-santriwati lain berusaha tegar.  Semua berikhtiar membangun stamina spiritual.  Mereka terus mengasah intelektualitas secara prima.  Perjalanan masih panjang, tetapi, pantang biduk surut ke pantai.  Bukan pengelana ilmu bila pulang tanpa kemuliaan.  Cita-cita wajib dikejar, sekalipun menyeberang seribu samudera.  
     Derita akhirnya berbuah keagungan.  Enam tahun berlalu.  Kini, mereka tertegun.  Terpana nyaris tidak sadar bahwa perjalanan panjang telah khatam.  Rintangan terjal yang dulu memalang akhirnya menjadi cerita masa silam yang semanis madu.
     Deretan sengsara di awal mula Pesantren IMMIM yang dialami alumni pertama, menjadi tali batin.  Jiwa mereka saling bertaut sebagai komunitas santri pelopor Pesantren IMMIM.
     Dari kisah heroisme alumni 81, kita menyaksikan rasa persaudaraan yang begitu kental.  Mereka bukan saja seperti saudara, namun, kembar identik dari seorang ibu suci.
     Korps 81 merupakan tonggak sejarah yang menopang pergerakan Iapim.  Mereka menjadi pusat gravitasi dari alumni 1982 sampai lichting terbaru.  Angkatan pionir ini mendesain fondasi yang sekarang semerbak mengiringi perjuangan-perjuangan alumni di segenap bidang.  Mereka mengentak dalam romansa bertabur gairah.  Tamatan antik ini menyinari fajar baru rangkuman peristiwa kejayaan Pesantren IMMIM.
     Dari hampir seratus santri-santriwati 1975-1981, hanya 32 yang selamat sentosa tiba di finis.  Nama mereka bakal abadi di tiap momen historis Pesantren IMMIM.  Angkatan 7581 akan tergiang terus sebagai santri-santriwati perintis.  Nama mereka terukir dengan tinta emas sebagai alumni pertama yang menjadi sumber segenap narasi Iapim.
     Inilah nama lulusan yang lestari dalam gemerlap kemewahan Pesantren IMMIM.
     Alumni Pesantren IMMIM Putra:
1. Abdul Rauf K
2. Amir Mahmud
3. Andi Makmun Tato Wawo
4. Andi Syamsu Darmawan
5. Faisal Sanusi
6. Harun Al Rasyid
7. Indra Jaya Mansyur
8. Kamaruddin
9. Khairuddin Rabbi
10. Khairuddin SB
11. Makki Rauf
12. Muhammad Ansar Ilyas
13. Muhammad Ilyas L
14. Muhammad IrfanTiro
15. Muhammad Nur Anugrawan
16. Muhammad Ridha Hs
17. Muhammad Taufiq Tobo
18. Rusydi Abdullah
19. Tamsir Mustaqim
20. Zainal Abidin
     Alumni Pesantren IMMIM Putri:
1. Fatmawati
2. Hasma
3. Jumriah
4. Kudsiah
5. Madyan A
6. Mariati
7. Martina Budiana Mulia
8. Najemiah
9. Nurhayati
10. Nurliah
11. Rosdiana K
12. Saberiah


Jumat, 18 Februari 2022

The Dream Team IMMIM Generation FC


The Dream Team IMMIM Generation
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sepak bola merupakan olahraga populer di segenap bentala di bawah langit.  Muda-tua, kaya-papa, jaka-dara, semua terpesona dengan atraksi bola di lapangan hijau.  Andai Planet Biru tempat kita hidup ini berganti nama, niscaya pilihan adalah Planet Bola.
     Sampai hari ini, saya cuma melakoni dua olahraga; karate dan renang.  Walau tidak mahir bermain bola, namun, punya tim fantasi dengan skema 244.  Tim ini pasti sulit dikalahkan, sekalipun kesebelasan dari planet Mars.  Tim fantasi ini terdiri atas kiper Lev Ivanovich Yashin.  Kolaborasi bek yakni Franz Anton Beckenbauer serta Paolo Cesare Maldini.  Empat gelandang yaitu Diego Armando Maradona, Zinédine Yazid Zidane, Hendrik Johannes Cruijff dan Michel Platini.  Bomber ialah Ferenc Puskas, Alfredo Di Stéfano, Ronaldo Luís Nazário de Lima serta Pele (Edson Arantes do Nascimento).
     Di Pesantren IMMIM, juga ada pemain-pemain fenomenal.  Mereka berlaga dalam panji IMMIM Generation Football Club.
     "Di periode awal, tim ini bernama Kesebelasan Pesantren IMMIM.  Biasa disebut IMMIM", kenang Zainal Abidin, legenda Pesantren IMMIM sekaligus hadratussyaikh Iapim.
     "Nama IMMIM Generation dipilih atas kesepakatan bersama.  Diharapkan di era mendatang muncul tunas baru di lapangan hijau.  Ada generasi baru di tiap zaman", urai Nur Zaman Razak, striker terbaik sepanjang masa IMMIM Generation.
     "Bergabung di IMMIM Generation merupakan anugerah.  Saya terkadang bebas dari qismul amni (seksi keamanan) jika ada pelanggaran di kampus.  Kami sering pula keluar kota untuk pertandingan persahabatan", ungkap Hasman Hajasi, pilar sakti yang membentengi IMMIM Generation.  Hasman bukan sembarang atlet.  Ia bergabung di IMMIM Generation sejak kelas II SMP.
     Tiap pemain di IMMIM Generation wajib mengekspresikan diri.  Mereka saling menunjang guna membentuk kemitraan yang padu dalam tim.  Hingga, santri secara brilian memahami anatomi permainan.  IMMIM Generation bermain apik berkat solid bertahan seraya efektif menyerang.
     Skuad IMMIM Generation memiliki bintang-bintang gemerlap nan gemilang.  Kesebelasan ini andal meramu pemain berkarakter beda dalam sebuah orkestra lapangan hijau.
     Sebelum 1980, IMMIM Generation diperkuat oleh Amir Mahmud (7581), Harun Arsyad (7581), Ilyas Lamatika (7581), Irfan Tiro (7581), Zainal Abidin (7581), Bachtiar (7682), Nur Zaman Razak (7682), Zulkarnain Maidin (7682), Ahmad Thariq (7783), Muhammad Yusuf Halim (7783), Usman Suwakil (7784) dan Umar Bauw (7884).
     Selama 1980-1990, IMMIM Generation kian bertaji oleh pemain-pemain berbakat.  Mereka antara lain Muhammad Ikhwan Rahman (7884), Arsyad H Nasir (7985), Muhammad Rizal (7985), Suhardi (7985), Daswar Muhammad (8086), Ikbal Said (8086), Lukman Sanusi (8086), Muhammad Zubair (8086), Kasman Jaya (8288), Mahmuddin Achmad Akil (8288), Muhammad Fahrur alias Arbet (8288), Taufik Sailu (8288), Suryadi Sulthan (8389) serta Hasman Hajasi (8490).

Talenta Regional
     Di tiap pertandingan, deretan bek IMMIM Generation sanggup mempertahankan wilayah dari dominasi striker lawan.  Soalnya, cerdik mengintimidasi dengan menggalang kemitraan defensif untuk mengusir bomber lawan.  Barisan bek punya teknik defensif sempurna guna merespons situasi berbahaya.
     Permainan sepak bola dibangun dari unit gelandang yang kreatif.  Seluruh tim terbaik di dunia memiliki gelandang trengginas.  IMMIM Generation terus-menerus menjaga konsistensi barisan pemain tengah.  Sebab, kekuatan pola permainan ada di area sentral yang dikuasai gelandang.  Dari sini mereka mengalirkan umpan-umpan berbahaya.  Mereka menyuplai bola matang.  Alhasil, tombak agresif IMMIM Generation luwes melenggang melewati garis pertahanan lawan.
     Selama 15 tahun sejak 1975-1990, IMMIM Generation menjadi klub kuat di antara SMA di Makassar.  Tim ini menjadi lambang kesuksesan sepak bola Pesantren IMMIM.  Pasalnya, senantiasa tampil mengesankan dengan mengembangkan level teknis.  Mereka berlari demi membobol gawang.  Mengecoh untuk mengonversi umpan menjadi gol.
     Talenta-talenta lokal saling berkelindan membentuk permainan apik di lapangan.  Klub regional dari negeri Tamalanrea ini punya spirit gigantik.  Mereka kokoh di segala lini.  Kipernya mirip Superman, terbang demi menjaga tiap jengkal gawang.  Pertahanan mereka seulet bek AC Milan pada 2005 saat diperkuat Paolo Maldini, Alessandro Nesta, Jaap Stam dan Cafu.  Mereka membentuk formasi pertahanan gerendel ala catenaccio (kunci) racikan Helenio Herrera Gavilán.
     Gelandang emas IMMIM Generation mengingatkan sepak-terjang shaf tengah Perancis di Piala Eropa 1984.  Kala itu, Negeri Mode diperkuat Alain Giresse, Jean Tigana, Platini serta Luis Fernández.  Sementara penyerang IMMIM Generation menerjang bak Lionel Messi dan Luis Suarez yang merupakan kombinasi mematikan musim 2015-2016 di La Liga.  Barcelona mencetak 100 gol dari kedua striker ini.

Hikayat Menang
     Susunan starting XI IMMIM Generation era 1975-1990 yang disucikan secara agung sebagai the dream team.  Arsyad H Nasir (kiper).  Usman Suwakil (bek kanan), Umar Bauw (bek kiri), Muhammad Fahrur (bek) serta Hasman Hajasi (bek).  Lukman Sanusi (gelandang), Mahmuddin Achmad Akil (gelandang), Zainal Abidin (gelandang) dan Zulqarnain Maidin (gelandang).  Di depan berdiri duo samurai, Daswar Muhammad (striker) serta Nur Zaman Razak (striker).
     Tim impian IMMIM Generation 1975-1990 merupakan sekumpulan santri berbakat istimewa.  Atraksinya menghibur seperti sulap.
     IMMIM Generation berkali-kali ikut turnamen kasta elite sepak bola antar-SMA di Makassar.  Anak-anak IMMIM mengukir momen-momen spektakuler di lapangan.  Semua padu berkat saling mengenal karakter permainan.
     Beberapa kali IMMIM Generation terlibat dalam turnamen.  Klub ini juga memiliki agenda keliling daerah mengikuti pertandingan persahabatan.  IMMIM Generation sempat berpartisipasi di turnamen antar-SMA/Pesantren sekecamatan Biringkanaya di Lapangan Daya (kini pangkalan Damri) pada 1978.  IMMIM Generation ditahbiskan sebagai juara bersama.
     Pada Ahad, 17 Shafar 1408 Hijriah (11 Oktober 1987), IMMIM Generation menempati posisi runner up dalam invitasi sepak bola antar pelajar, mahasiswa serta instansi sekotamadya Ujung Pandang.  Sebuah pencapaian yang menjadi buah bibir manis dan bunga tidur indah.  Kemenangan ini sampai sekarang tergiang-giang secara gegap-gempita laksana kokok ayam saban subuh.  Titel juara II ini terus terkisahkan di tiap dekade, mungkin di tiap abad.  Seuntai kenangan yang tak pernah sirna dalam narasi besar IMMIM Generation.


Minggu, 13 Februari 2022

Pesantren IMMIM Bukan Restoran


Pesantren IMMIM Bukan Restoran
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sebelum dilantik sebagai nabi, Maharasul Muhamnad tertera sebagai taipan gemilang.  Bisnisnya berkembang pesat.  Ia tinggal bersama Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta.  Rumahnya di Mekah berlantai dua, dilengkapi balkon.
     Di hari-hari khusus, Maharasul Muhammad ke gua Hira.  Ia berjalan kaki menenteng bekal makanan ala kadarnya.  Padahal, ia bisa diantar dengan kuda oleh karyawan atau budaknya.  Ia dapat membawa berkarung-karung santapan lezat selama menginap di gua Hira.
     Maharasul Muhamnad ke gua Hira untuk memikirkan komunitas Mekah yang kehilangan impuls spiritual.  Di gua sempit itu, ia memikirkan langkah restorasi, reformasi dan revolusi untuk puak Quraisy.  Maharasul Muhamnad mengasah akal serta kalbu.  Bukan hedonisme, bersenang-senang dengan menu sedap.
     Di Pesantren IMMIM, santri berguru selama enam tahun guna merestorasi, mereformasi dan merevolusi masa depannya.  Santri tinggal di pesantren untuk belajar, bukan untuk makan enak.
     Kala saya tercatat sebagai santri pada 1980-1986, menu cukup beragam.  Ada ikan tembang, teri, telur, tempe, perkedel teri, sayur serta pecel.  Ada jatah teh manis secangkir ketika pagi.  Saat sore, santri leluasa mengambil teh tawar sebesar apa pun termos yang dibawa.  Satu ember pun, silakan.  Bebas.
     Dari segi hidangan, sesungguhnya tidak ada masalah.  Persoalannya, ada santri yang tak tahan di pesantren kemudian menuding makanan sebagai alasan untuk keluar.  Ini kasus kecil yang dialami segelintir santri cengeng.  Buktinya, ratusan santri tetap bertahan.  Mereka beraktivitas penuh semangat dengan masakan ala koki dari dusun Kumadang.
     Satu hal yang selalu terlupa.  Pembayaran per bulan di pesantren tergolong kecil.  Pada 1983, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sebesar Rp 15 ribu.  Di masa tersebut, kue tradisional seperti tarajju (ubi jalar) dan apam dibanderol Rp 25.  Martabak biasa Rp 150.  Martabak istimewa Rp 750.  Karcis buat nonton film di New Artis Theatre sebesar Rp 1.000.
     SPP Rp 15 ribu jika dikalkulasi terlalu sepele dibandingkan fasilitas yang diperoleh di pesantren.  Asrama sejuk, tidak ada nyamuk.  Tak perlu bayar kos selama enam tahun.  Ada listrik 24 jam.  Ranjang disiapkan dengan papan.  Air berlimpah, ingin mandi 10 drum tidak ada yang melarang.  Sekali-sekala bebas ke warkop meneguk limun serta soda di pasar Bharata.  Bahkan, santri Tamalanrea tak mengenal tawuran.  Apalagi, tawuran dengan Pesantren IMMIM Putri Miss Teen (Minasa Tene).
     SPP yang cuma Rp 15 ribu diperinci secara detail guna membeli beras, lauk-pauk, sayur-mayur, minyak tanah dan bensin untuk mobil pasar.  Selain itu, dipakai pula untuk membayar staf.  Pesantren menggaji pembina, guru, teknisi, sopir serta koki.
     SPP yang seolah koin receh ini tidak pernah dimaklumi oleh sejumlah pihak, terutama santri bermental lembek.  Mereka hanya tahu menuduh kalau santapan di pesantren tak memadai.
     Pada 1983, terdengar isu bila SPP bakal naik menjadi Rp 20 ribu.  Apes akibatnya.  Rumah ustaz Saifullah Mangun Suwito selaku pimpinan kampus, dilempari oknum santri di tengah malam.
     Di satu sisi, mau makan enak.  Di sudut lain melakukan aksi pelemparan selama beberapa malam tatkala SPP hendak dinaikkan.  Banyak santri tidak paham, bahwa dana pesantren begitu kecil.  Alhasil, penghematan dilakukan.  Sebagai contoh, ibunda Rahmah ke pesantren demi menampi beras di gudang.  Di siang hari, ia seorang diri membawa tampah berdiameter 80 cm.  Ibunda menampi beras secara manual guna memisahkan kotoran sebelum dibawa ke dapur.  Santri tak mengerti bahwa nasi yang dimakan tersebut nyaman dikunyah berkat ikhtiar istri Abuna Fadeli Luran yang seorang diri menapis di gudang.  Ini ditempuh untuk menghemat anggaran pesantren yang minim.  Apakah momen yang menusuk sanubari seraya mengaduk-aduk emosi ini diketahui oleh santri dan alumni?  Apakah warga Iapim pernah mengenang jasa-jasa ibunda Rahmah di awal sejarah Pesantren IMMIM?
     Selama enam tahun, santri dilayani oleh koki-koki hebat nan cantik.  Saya bersama kolega diladeni penuh takzim oleh juru masak spesial.  Mereka antara lain Mantang (chef de cuisine di aula), Ny Suroso (head chef yang dikenal dengan panggilan Bibi Jawa), Ibunda Taga (kepala koki), Ari, Amming, Damma, Darna, Diana, Endang, Hasni, Hata, Kamariah, Nadira, Nonni, Nur Daedah (Deda), Rusni, Rusymi, Sahariah (Sariya), Sammi, Sana, Sara', Sayya serta Yuni (istri Pak Yusuf).
     Pesantren membimbing santri agar tangkas.  Tidak boleh manja, apalagi menuding hidangan kurang nikmat.  Pesantren IMMIM merupakan institusi pendidikan, bukan warung makan.  Pesantren IMMIM adalah medan buat menempa calon ilmuwan selevel Albert Eisntein, bukan restoran high class untuk selebritas.
     Di gua Hira, Maharasul Muhammad bermunajat dengan bekal seadanya demi merestorasi, mereformasi dan merevolusi penduduk Mekah.  Di Pesantren IMMIM, santri tiga kali sehari menyantap masakan sederhana supaya andal merestorasi, mereformasi serta merevolusi masa depannya.


Sabtu, 12 Februari 2022

Ketawa Gaya Santri (6)


Ketawa Gaya Santri (6)
Oleh Abdul Haris Booegies


Episode keempatbelas:
Tabungan Finansial

     Pesantren IMMIM memiliki tujuh asrama pada 1983.  Rayon Pangeran Diponegoro, Rayon Panglima Polem, Rayon Datuk Ribandang (Fadeli Luran), Rayon Imam Bonjol, Rayon Sultan Hasanuddin, Rayon Raja Faisal serta Rayon Raja Khalik.  Ada pula bilik Anwar Sadat yang satu bangunan dengan asrama Hasanuddin.  Kamar Anwar Sadat ditempati oleh personel qismul amni (seksi keamanan).
     Ada satu lagi asrama bernama Ayatollah Khomeini.  Bangunan kayu berbentuk rumah panggung ini berubah fungsi menjadi pondok untuk pimpinan kampus.  Griya ini awalnya terletak di depan kampus, dekat pos piket.
     Pada 1978, asrama Khomeini diangkut ke belakang di arah Barat Daya.  Pasalnya, di lokasinya segera dibangun Majelis Guru.  Pada 1984, pondok ini menjadi mes guru.  Tenaga pendidik yang mengajar malam kerap menginap di mes.
     Ketika kelas IV (kelas I SMA), saya bersama Mukbil (8187) tinggal di mes bersama Abdul Kadir Massoweang, wakil pimpinan kampus.  Saya lantas memajang tonggak dengan tulisan Jalan Bugis.  Jalan setapak ini satu-satunya akses ke 20 toilet.
     Tujuh asrama di pesantren menampung sekitar 500 santri.  Mereka semua berwatak khusus, termasuk yang berkepribadian ganda semacam Havid de Berru (8086).  Ini santri nyentrik yang pernah berlari dalam keadaan bugil.
     Ada secarik memori mengenai karakter santri bernama Mahmuddin Akil (8288).  Ini santri asal Sidrap dari keluarga terpelajar.  Husain, kakeknya tertoreh sebagai guru kedua yang pernah ada di Sidrap.
     Mahmuddin dididik secara mandiri.  Sebelum masuk pesantren, ia senantiasa tampil rapi ke sekolah.  Di rumahnya di Pangkajene, ia punya radio tape kaset pita dengan speaker Yamaha, barang luks di era 70-an.  Mahmuddin suka mendengar murattal.
     Di suatu hari pada akhir 1982, saya mengunjungi Mahmuddin di Raja Khalik.  Saat ia membuka lemarinya, saya tertegun.  Ada celengan keramik berbentuk bulat.
     "Tiap pagi saya menabung Rp 25 atau Rp 50", bisiknya dengan senyum bagai merumuskan eksprerimen yang teramat terkontrol.
     Saya kehabisan akal mencerna kata-kata Mahmuddin.  Ini di luar jangkauan pikiran.  Bagaimana mungkin ada santri menabung?  Ini pasti kisah mengesankan yang membuat pohon nangka di depan dapur ikut terkesan.
     Kalau memiliki uang Rp 1.000, tak usah dipecah dalam bentuk koin Rp 25.  Langsung saja disimpan.  Lebih praktis.  Tidak butuh celengan.
     Di tarikh 1983, fulus Rp 25 nilainya lumayan.  Bisa ke kantin untuk membeli satu bakpao (roti pawa).  Kini pada 2022, bakpao isi kelapa atau kacang dibanderol Rp 1.000.
     Syahdan, kala bertemu ibu, saya beritahu bahwa Mahmuddin punya celengan di kampus.  "Ikhtiar yang baik.  Ia belajar berinvestasi untuk masa depan", jawab ibuku.
     Tatkala Mahmuddin kelas III, ia menjadi pengurus koperasi ath-Thalabah.  Bakda Isya selama setengah jam, Mahmuddin melayani pembeli.  Koperasi santri terletak di belakang aula, sejajar rayon Polem.  Qismul amni kemudian menempati ruangan tersebut ketika koperasi pindah ke belakang Majelis Guru.
     Hikayat celengan di Pesantren IMMIM, bukan cuma milik Mahmuddin.  Ada santri lain yang juga tekun menabung saban pagi.  Anehnya, sekalipun menabung, ia royal.  Sakunya bak ATM, seolah ia keponakan pangeran Kuwait.
     Sesudah diusut, akhirnya misteri tersingkap laksana rahasia sulap.  Ia memasukkan koin sebelum sarapan.  Saat akan ke kelas, ia merogoh bagian bawah celengan yang pecah akibat disengaja.  Koin ia rebut kembali untuk dikantongi.  Pantas banyak duitnya sebagaimana anak-anak Donald Trump.  Rupanya ia tiap hari membobol celengan.  Betul-betul santri nyeleneh.


Rabu, 02 Februari 2022

Aku berpikir, maka, aku tak punah


Aku berpikir, maka, aku tak punah
(Abdul Haris Booegies)
 


Amazing People