Kau Bukan Alumnus
Oleh Abdul Haris Booegies
Beberapa hari sesudah tamat di Pesantren IMMIM pada 1986, saya bersama sekitar 15 orang mengikuti orientasi sebagai kandidat anggota IAPIM (Ikatan Alumni Pesantren IMMIM). Alumni yang saya ingat ikut antara lain Rosmiati Tanrere, Juli, Hasniah Kaduak, Awaluddin Mustafa dan Irsyad Dahri. Sedangkan instruktur ialah Mappinawang serta Andi Nurzaman Razaq. Di zaman itu, sekretariat IAPIM masih di bagian depan Gedung IMMIM di Jalan Jenderal Sudirman.
Program orientasi yang berlangsung dua hari sempat mencuatkan sikap. Anggota IAPIM adalah santri yang tamat di Pesantren IMMIM.
Ketika Syamsulbahri Salihima terpilih ketua IAPIM, markas besar pindah ke sisi utara Gedung IMMIM di Jalan Sungai Lariang. IAPIM masih sepi peminat.
Di suatu hari kala berdua dengan Syamsulbahri. Ia berteori bahwa alumni yang rajin ke IAPIM bisa dipastikan bukan pengurus senat di kampusnya.
Saya tersenyum mendengarnya. Di periode itu, saya bersama Syamsulbahri tercatat sebagai pengurus senat di fakultas masing-masing. Syamsulbahri bukan hanya pengurus senat, ia juga motor penggerak pramuka di UIN Alauddin. Kami sama-sama pula aktif menulis di harian Pedoman Rakyat.
Saya hampir tiap hari ke kantor IAPIM karena kondisi lingkungannya sejuk. Di depan sekretariat ada dua pohon raksasa yang meninju cakrawala. Beranda luar kantor H Fadeli Luran juga teramat sejuk. Di situ saya acap duduk-duduk sembari membaca.
IAPIM di masa Syamsulbahri mulai berkembang. Administrasi tertata rapi. Diterbitkan pula kartu anggota. Penggerak IAPIM di era ini yakni Syamsulbahri, Andi Takdir dan Fitri Marzuki.
Tatkala ditunjuk sebagai ketua panitia pelatihan jurnalistik tingkat intermediate, saya cekcok dengan Syamsulbahri. Saya menghendaki anggaran dari Yasdic digunakan seluruhnya untuk peserta. Sementara Syamsulbahri berpandangan beda. Dana mutlak disisihkan untuk membeli lemari arsip, cermin, gula serta kopi.
Cermin mesti ada di kantor karena rata-rata anggota IAPIM berpaham metroseksual. Bercermin merupakan kewajiban bagi anak muda. Gula dan kopi disediakan bagi anggota IAPIM yang bertandang. Siapa ingin minum kopi, silakan melayani diri sendiri.
Saat Indra Jaya terpilih ketua IAPIM, muncul persoalan. Mappinawang mengusulkan tips demi kelangsungan IAPIM. Indra tersinggung. Ia merasa kewenangannya dilangkahi.
Indra lantas menulis di papan tulis tantangan berkelahi untuk Mappinawang. Semua langsung takut, sebagian sinis. Di suatu malam, saya diprovokasi Kaharuddin Nasta. "Bagaimana kalau Haris jawab ini".
Tentu saja saya tidak mau. Sebab, Indra merupakan mahaguru karate saya. Seburuk apa pun ia, pasti tetap suci di mataku. Apalagi ini senpai Black Panther yang hampir separuh ilmunya diwariskan kepada saya.
Apes bagi sekretariat IAPIM. Anggota ngeri datang. Akibatnya fatal. Kesunyian melanda. Segalanya seolah sepi. Selama dua tahun saya bersama Daswar M Rewo bahu-membahu agar IAPIM kembali cerah-ceria.
Tiap pagi saya dengan Daswar bergantian membuka pintu kantor IAPIM. Jika pulang, saya mengunci pintu. Saya sempat bersitegang dengan Daswar. Saya menyuruhnya mengunci pintu bila pulang pada siang atau sore. Ia menampik. Alasannya, kalau pintu terkunci, otomatis tak ada alumni berminat singgah.
"Bagaimana jika ada pencuri?" Daswar menjawab bahwa ada staf gedung yang mengunci sekretariat IAPIM pada pukul 22.00.
Ketika Ahmad Fathanah terpilih ketua IAPIM, suasana berangsur berubah. Keramaian mulai meningkat. Apalagi, ada televisi. Nyaris tiap malam diadakan acara minum kopi.
Di IAPIM pada kepengurusan Ahmad Fathanah, saya ditugaskan di Seksi Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Pada 8 Februari 1993, diselenggarakan Rapat Kerja VI di Hotel Paris.
Secara perlahan, saya surut dari IAPIM. Alumni baru lebih gesit untuk menangani IAPIM. Sejak 1994 sampai 2021, saya buta perihal IAPIM.
Hari ini saya sering risih. Ada santri tidak tamat di pesantren, tetapi, mengaku alumnus. Bahkan, diamanahkan mengurus alumni. Siapa sebenarnya yang gila di sini. Alumni tulen yang tak malu memberi kewenangan kepada alumni jadi-jadian atau sebaliknya.
Saya selalu marah bila membayangkan ini. Bagaimana kalau ada santri tidak tamat mengaku alumnus. Begitu dipersilakan jadi imam, ia menyingkir. Tergopoh-gopoh menghindar ke saf belakang. Memalukan sekali. Nama Pesantren IMMIM sontak tercoreng. Saya tak rela almamater dipermalukan begitu.
Lima tahun silam saya mulai meradang menyaksikan situasi ini. Di pesantren saya enam tahun dikejar-kejar qismul aman (seksi keamanan). Mendadak ada bekas santri yang cuma satu tahun di pesantren mau mengatur-atur alumni. Kau tidak selevel dengan kami! Tempatmu bukan di IAPIM! Tanggalkan sekarang segenap atribut IAPIM! Kau punya almamater tersendiri! Paham kau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar