Ararea
Bahasa Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies
Bahasa menunjukkan bangsa. Maksudnya, tutur kata seseorang memperlihatkan jati diri. Kalau bahasa yang diucapkan santun, baik dan benar, berarti orang tersebut terpelajar serta beradab.
Selama mengecap pendidikan di Pesantren IMMIM, santri memiliki pula karakteristik bahasa Arab. Bila orang di luar pesantren mendengarnya, mereka pasti kagum. Bocah dan remaja leluasa berkomunikasi dengan bahasa Arab dalam kampus.
Angkatan dekade pertama (1981-1990) acap menyebut bahasa Pesantren IMMIM sebagai bahasa Arab Tamalanrea. Saya menamakannya Ararea (Arab Tamalanrea) supaya terdengar seksi sekaligus gaul.
Sesungguhnya, bahasa Ararea tergolong bahasa modifikasi. Bahkan, boleh dibilang bahasa sandwich سندويتش. Seperti dimafhumi, komposisi sandwich terdiri dari roti, sayur, keju, mayonnaise, daging, telur mata sapi, saus tomat serta sambal.
Tipe sandwich yang kaya bahan ini mirip Ararea. Bahasa Ararea juga kaya, termasuk kaya dengan pengaruh bahasa Bugis Makassar. Contoh pengaruh bahasa daerah. "Saya takut bela". Kata "bela" merupakan penekanan pada sebuah kata atau kalimat. Makna "bela" tergantung konteks. Maksud "saya takut bela" ialah "saya jadinya takut" atau "saya takut-takut". Jika diterjemahkan ke Ararea menjadi "anaa akhaf bela".
Di suatu Sabtu pagi, dengan mimik tegang, saya menyuruh rekan sekamar segera bergegas. "Maujud tuffaaha shabah". Teman-teman bingung, apa itu tuffaaha shabah. Tuffaahatun artinya buah apel. Shabahun bermakna pagi. Saya pun menjelaskan. "Apel pagi. Ada upacara di lapangan". Saya tidak tahu bahasa Arabnya "upacara" (maraasim). Arkian, sekenanya berceloteh ada "tuffaaha shabah".
Imam Setiawan (Angkatan 86) pernah menggoda sesama mitra bahwa jerawat dalam bahasa Arab adalah tainun/تعين . Banyak santri terkecoh. Mengira itu betul asli. Padahal, yang benar yaitu hubbu asy-syabaab (حب الشباب).
Menurut pengakuan Imam, ia mengkreasinya dari kata tahi (kotoran) ditambah "nun". Kata nun diambil dari bathnun/بَطْنٌ yang bermakna perut.
Begitulah jadinya kalau belum mahir berkomunikasi ala warga Timur Tengah. Demi menambal kekurangan kosa kata, terpaksa berkreasi. Ini untuk mengakali pula mahkamah luga (pengadilan bahasa). Ketahuan berbahasa Indonesia, bisa kena hukum.
Sariqun
Dalam bahasa Ararea, ada dua ungkapan legendaris. Keduanya yakni sariqun/سرق (pencuri) dan mittu anaa/مت انا (mati saya). Sepertinya dua istilah ini bermasalah secara tata bahasa, tetapi, inilah Ararea, bahasa orisinal santri Pesantren IMMIM.
Bila santri merasa terusik dengan ulah seseorang yang tak diketahui, ia mengumpat "sariqun zalika". Secara harfiah berarti "pencuri itu". Padahal, dalam kasus ini tidak ada yang kehilangan akibat aksi maling. Pada kategori ini, idiom tersebut bertujuan mengungkapkan kekesalan. Alhasil, sariqun zalika dapat bermakna qaliilul adab (kurang ajar).
Jika santri menyuruh seseorang dengan perasaan jengkel, ia sontak berseru "anta faqath sariqun". Arti secara harfiah yaitu "kau saja, pencuri". Dalam konteks ini, "anta faqath sarikun" bisa bermakna "kau saja!" (dengan tanda seru). Ada penitikberatan ke individu yang ditunjuk. Kata sariqun di sini juga dapat berarti ungkapan negatif semacam sumpah atau kutukan.
Penggunaan kata sariqun ibarat intensifier, penguat atau pengutamaan keterangan. Berfungsi untuk emphasizer (menekankan), amplifier (menguatkan) maupun downtoner (merendahkan).
Kata sariqun dalam area Ararea betul-betul kaya makna. Mengucapkannya menandakan aksentuasi terhadap situasi serta kondisi. Sariqun tertoreh kata the great di Pesantren IMMIM. Tiap waktu terdengar di kamar, di kelas atau di mana saja selama ada santri mengoceh.
Jadi, jangan heran kalau ada santri Pesantren IMMIM dipanggil "sariqun". Sedangkan yang dipanggil tak marah, Ia malahan tersenyum, pura-pura tidak mendengar atau bermasa bodoh. Penyeru dan yang diseru bukan psikopat. Keduanya tak mengalami kelainan jiwa karena di sini tidak berlaku pepatah; bahasa menunjukkan bangsa.
Kuat dugaan, sariqun yang merupakan istilah top Ararea dikreasi oleh Angkatan 82, 83 atau 84. Idiom ini sudah populer tatkala Angkatan 86 bercokol di pesantren.
Mittu Anaa
Serupa dengan sariqun, ungkapan mittu anaa tertera pula sebagai the legend di Pesantren IMMIM. Santri menerjemahkan mittu anaa dengan "mati saya". Bila problem yang dihadapi teramat gawat, santri berujar "mittu haqiiqatan anaa" (mampus betul saya).
Mittu anaa kemudian menghasilkan varian baru. Jika ada santri tepergok melakukan pelanggaran atau tertangkap basah berbuat curang. Ia pasti disemprot dengan kata "mittaka". Morfem ini terdiri dua kata; mautu (mati) serta anta (kamu) yang menjelma mittaka. Di Pesantren IMMIM, mittaka berarti mampus kau (you're dead atau you will burn).
Seorang guru bahasa Arab sempat tersenyum mendengar istilah mittu anaa. Dalam penerawangannya, ini keliru secara tata bahasa. Sayang sekali, ia tak sanggup menerangkan secara detail di mana letak kesalahannya. Musababnya, ini idiom remaja kampus Islamik. Lebih khusus lagi, ini produk santri Pesantren IMMIM. Salah sedikit otak bisa meleleh kalau nekat membahas mittu anaa yang tidak dikenal di negara-negara Arab.
Mittu anaa mirip ungkapan dead man walking dan dead meat. Rangkaian kata ini mendeskripsikan seseorang terancam atau dalam persoalan serius. Ini lumrah diucapkan bila ditimpa nasib malang. Apalagi jika pertolongan seolah jauh dari harapan. Mittu haqiiqatan anaa, Sariqun!