Kemelut 86
(Bagian pertama dari empat tulisan)
Oleh Abdul Haris Booegies
Ketika terdaftar sebagai santri Pesantren IMMIM pada 1980, saya gembira serta bangga. Ini pondok suci yang menjunjung akhlak karimah. Jadwal shalat ketat, jadwal belajar padat. Penghuni Kampus Tamalanrea merupakan insan terpilih.
Sesudah sang kala berlalu tiga kali Mentari terbit, saya merasa sesuatu mengganjal kalbu. Ada segelintir santri bandel. Saya mengutuk dalam hati kenakalan yang dipraktikkan di pesantren. Mereka virus yang menodai pondok.
Bagaimana mengurangi pelanggaran santri sampai ke zona nol? Metode kontemporer yang efektif strategis yakni dengan enkripsi algoritma. Sebuah chip berisi kode multidata diinjeksikan ke tubuh santri. Ini andal 100 persen memantau segala aktivitas selama 24 jam sehari. Semua terkontrol secara komprehensif.
Santri menjadi insan transparan. Orientasi untuk melakukan reaksi minor enteng terdeteksi di ruang pimpinan kampus. Qismul aman (bodyguard pesantren) bisa menunggu santri wildlines (bani liar) di balik pagar sebelum lompat ke luar pondok. Modus futuristis saintifik ini memangkas pelanggaran ke titik nihil. Maklum, ada mobilitas antisipasi dini via fenomena psikologis yang dipandu enkripsi algoritma. Kelak, perkakas supermutakhir ini akan dioperasikan di Kampus Moncongloe setelah Kampus Tamalanrea terjual. Dunia bakal menyaksikan superioritas Pesantren IMMIM pasca Tamalanrea.
D5 vs 86
Tidak terbayang di kepala, kelak saya memusingkan pimpinan kampus maupun qismul aman. Pelanggaranku bertumpuk. Catatan hitam pelanggaranku lebih tebal dari bantal. Saya berkali-kali diancam dipecat. Lemariku disita, orangtua dipanggil. Sesungguhnya, jika saya tak bandel, otomatis qismul aman defisit eksistensi.
Sekalipun dituding nakal, namun, saya tidak merokok. Seingatku, hanya saya dengan Rusman yang tak merokok dari Angkatan 86. Inilah prestasi cemerlang di pesantren.
Selama enam tahun di Kampus Tamalanrea, ada beberapa persinggungan negatif yang menimpa Angkatan 86. Sebagai umpama, pada Selasa, 9 Agustus 1983. Suasana nyaris tidak terkendali di dapur. Ini dimotori Irwanuddin Abbas dan Mustari Takkalalla dari Angkatan 85. Keduanya bukan sembarang santri. Mereka jago adu mulut. Lugas menggertak. Suaranya menggelegar, terutama Mustari.
Malam itu, kelas V mengambil separuh jatah makanan kelas IV dari Angkatan 86. Melihat nasi kurang, kelas IV sebal. Sebagian bersungut-sungut. Irwanuddin bersama Mustari kemudian mengomel: "Ini kelas IV terlambat ke dapur!"
Kata-kata ini langsung memantik emosi. Sebab, tak lagi menuding individu, tetapi, kolektif. Solidaritas Angkatan 86 bergelora bak semburan gunung berapi. Segenap kelas IV merapatkan shaf serta rasa setia kawan gara-gara tersinggung.
Kedua angkatan akhirnya cekcok dalam skala besar. Tingkah berubah liar. Dapur gaduh seperti kena mortir. Adegan demi adegan serupa perang verbal mafioso dalam film gangster. Kedua angkatan digoda setan gundul dari alam remang-remang. Kelas IV memang telat ke dapur karena belajar di kelas.
Ahad petang pada 13 Januari 1985, saya hampir berkelahi dengan Mustari yang sudah kelas VI. Kami nyaris duel tatkala mandi di sumur kibar. Ketegangan memuncak. Tiada lagi yang menghalangi kami baku hantam kecuali Ikbal Bakry muncul melerai.
Saya waktu itu beringas karena selesai latihan karate. Saya juga tergiur mempraktikkan karatedo (jurus) yang tadi diajarkan di dojo. Saya geregetan akibat dipisah dari pertikaian. Andai terealisasi, ini pasti pertarungan indah.
Popeye Lokal
Ahad malam pada 14 April 1985, saya sedang berbagi kisah dengan Fuad Mahfud Azuz. Saat asyik bertukar cerita di bawah pohon akasia di sisi teras rayon Panglima Polem, mendadak terdengar bunyi gaduh. Sumber suara berasal dari bilik qismul aman yang berjarak tujuh langkah dari beranda asrama Panglima Polem. Ruang ini dulu merupakan koperasi. Mahmuddin Akil (Angkatan 88) termasuk pengurus koperasi.
Saya bersama Fuad langsung berlari. Kami masuk ke ruang qismul aman. Di situ meringkuk Zulfikar Ghaffar (Angkatan 88) bersama tiga rekannya. Empat pelanggar ini hampir bonyok mirip tomat kena batu. Raga mereka terkulai dengan jiwa merintih hati menjerit.
Fuad lantas menolong satu pesakitan. Ia mengusap wajah korban yang terluka. "Keamanan jangan terlalu keras", sembur Fuad yang tidak menoleransi pemukulan. Keadaan pun berubah tegang. Kata-kata Fuad menyundut emosi lantaran dinilai komentar pedis yang melecehkan.
Personel seksi keamanan yang terdiri dari Zubair, Wahyu Muhammad, Lukman Sanusi, Hamid Seltit dan Yunus merasa diintervensi. Ruang qismul aman yang pengap serta bau badan yang menyengat membuat saya menyeletuk. "Huh, siapa yang berbau ketiaknya".
Anggota qismul aman sontak tersinggung. Terjadi adu mulut. Qismul aman merasa harga dirinya diseruduk. Wahyu lalu melontarkan pukulan ke Fuad. Ia berkelit. Pukulan tersebut lewat di depan mukaku.
Saya merasakan ada aroma pertarungan. Saya dua kali melirik ke seorang awak qismul aman yang tergolong kuat di Black Panther. Mereka lima orang. Saya cuma dua, partnerku bertubuh kecil lagi. Celaka kalau begini.
Fuad rupanya tak gentar. Ia tetap tegar di tengah badai konflik. Bahkan, mulutnya tidak diam melontarkan perlawanan. Hasrat perjuangannya menggelembung. Fuad kemudian menggenggam tanganku. Saya berupaya melepasnya, namun, ia kian menggenggam erat.
Suasana panas itu berangsur adem. Saya bersama Fuad keluar ruangan. Kami sempat berbasa-basi dengan empat korban bodyguard pesantren.
Dari anggota bela diri tenaga dalam Prana Sakti, saya memperoleh informasi. Di pencak silat ini dikenal penyaluran tenaga dalam. Berarti Fuad menggenggam tanganku karena menyalurkan tenaga dalam. Ia ingin saya menjelma semacam Popeye. Pelaut perkasa yang memiliki kekuatan super usai menyantap sekaleng bayam.
Saya garuk-garuk kepala. Bila begitu, bilik qismul aman nyaris hancur-lebur akibat ulahku. Popeye lokal hampir mengamuk di Pesantren IMMIM.
Kurang Ajar
Pada Selasa, 18 September 1984, kelas V IPA kewalahan. Pelajaran penuh dari pagi sampai siang. Benak seolah ditumbuk, tak dapat mendinamiskan pikiran. Seisi kelas lemas guna menyeimbangkan sintesis harmonis seluruh pelajaran hari ini. Kapasitas otak tidak sebanding dengan spektrum ilmu yang disodorkan. Kami penat dan jenuh, perut lapar pula.
Ketika ustaz Danial Jalaluddin mengajar, saya berulah. Saya bersiul, menepuk-nepuk bangku, mengentak-entakkan kaki di lantai serta sesekali memekik. Tentu saja ustaz marah.
"Siapa itu!", bentaknya.
Semua diam. Tak ada yang mengaku. Lebih-lebih saya, tidak mau mengaku.
"Kurang ajar semua", umpat ustaz.
Rekan sekelas tak menyalahkanku karena saya mewakili kebosanan dan kedongkolannya. Saat ustaz keluar usai mengajar, kami satu kelas teriak-teriak. Kami gembira sekaligus menumpahkan kekesalan gara-gara diejek "kurang ajar semua".
Sehari berikutnya pada Rabu sore, 19 September 1984. Kami kelas V IPA diadili oleh ustaz Saifullah di Majelis Guru. Musababnya, guru sejarah tersinggung lantaran santri tidak menghiraukan pelajaran.
Saya tak tahu kelakuan apa yang diperbuat teman. Menurut ketua kelas Andi Arman, santri gempar karena ada burung tersasar di kelas. Ketika pelajaran berlangsung, saya tidak berada di TKP, tempat kejadian perkara. Sewaktu saya masuk kelas, ternyata pelajaran telah kelar. Begitu duduk di bangku, guru beranjak pergi.
Saya ikut diadili walau tak mengerti permasalahan. Saya waktu itu sudah tobat nakal. Hatiku bernegosiasi dengan dua realitas, rajin ke masjid dapat pahala atau tekun ke bioskop lihat paha. Saya berikhtiar kembali ke jalan lurus yang sarat rida. Berkehendak jadi santri tahfiz Angkatan 86.
(Bersambung)