Islamfobia
Putu Ayu
Oleh
Abdul Haris Booegies
Sebelum
Innocence of Muslims mencecar brutal, ada dua tulisan
menyerang Islam. Pertama, tulisan Ayu Utami berjudul Simbol
di Seputar Indonesia pada Ahad, 16 September 2012. Kedua,
opini Putu Setia bertajuk Identitas di Koran Tempo pada
Ahad, 16 September 2012.
Dalam
tulisannya, Ayu Utama (AU) merasa heran pada taraf yang sulit ia
pahami. Ihwal tersebut terkait usaha untuk mengganti lambang Palang
Merah Indonesia. Selama ini, ia anggap idiom itu netral di dunia.
AU
lantas mencontohkan India yang mayoritas Hindu maupun Thailand dengan
Budha sebagai mayoritas. Kedua negara tidak berpikir mengganti
simbol Palang Merah, kendati lambang tersebut identik salib yang
berasal dari tradisi Kristen.
Di
sini, AU ingin berkhotbah bahwa tak usah usik simbol Palang Merah.
Saya tidak tahu, agama apa yang dianut AU. Saya menduga ia Kristen.
Orang Kristen pasti tak rela jika lambang Palang Merah diganti.
Sebab, berkorelasi dengan ajaran Alkitab. Salib dipandang simbol
kehidupan.
Tatkala
kaum Muslim gerah dengan identitas itu, tentu ada upaya buat
mengubahnya. AU mendadak menghalanginya dengan mengambil contoh
India serta Thailand.
Ada
kealpaan di benak dan dada AU karena berkehendak menyamakan Hindu
serta Budha dengan Islam. Benar bahwa orang Hindu bersama Budha
tidak memperkarakan lambang Palang Merah. Pertanyaannya, adakah
jaminan bahwa esok kedua negara tak mengubahnya?
Saya
ingin tanya AU. “Mengapa ia gerah kalau simbol tersebut mau
diganti?” Saya curiga bila AU tidak rela lantaran lambang Palang
Merah itu bagian dari agamanya.
Seluruh
komunitas sekular-liberal menyanjung setinggi langit demokrasi dan
pluralisme. Secara sederahana dimafhumi bahwa demokrasi ialah suara
terbanyak sebagai pemenang. Ini mengindikasikan kekuasaan berada di
tangan mayoritas.
Ketika
golongan mayoritas bergerak untuk mengganti suatu identitas sesat,
sontak segelintir gerombolan sekuler-liberal mencak-mencak. Dalam
kasus simbol Palang Merah, AU melakukan perlawanan lewat pena sembari
memberi tamsil perihal Hindu serta Budha.
AU
lupa bahwa Islam berbeda dengan Hindu dan Budha. Sebagai misal, umat
Islam makan sapi. Sementara di India sapi didewakan.
Di
India, penganut agama mayoritas minum kencing sapi. Mengusap-usapkan
ekor sapi di wajah. Membiarkan sapi berkeliaran di jalan raya atau
lorong sempit. Pasalnya, pemali mengusir atau mengusiknya.
Cecunguk
pluralis jelas mendambakan segenap agama setara, termasuk toleransi
minum kencing sapi. Kalau AU mau, saya siap mengirimkannya segalon
per hari. Gratis seumur hidup.
“Di
antara manusia ada yang sesumbar: “Kami Kristen”. Kami juga
sudah mengambil perjanjian dengannya. Mereka secara sengaja
melupakan pula sebagian dari apa yang telah diperingatkan.
Akibatnya, Kami tanamkan di antara mereka permusuhan serta kebencian
sampai Hari Kiamat” (al-Maidah: 14).
Vulgarisme
si Pendeta Hindu
Putu
Setia (PS) segendang-sepenarian dengan AU. Ia secara sinis
mempersoalkan ide penggantian lambang Palang Merah. Menurutnya,
gagasan identitas keagamaan tersebut tak ada kaitannya dengan urusan
keyakinan.
Sinisme
PS merupakan bagian otentik pluralisme. Semua agama sama. Dewasa
ini, PS seolah merana karena di Bali bermunculan rumah makan dengan
aksara mencolok “warung Muslim”. Diakuinya kalau tidak terlihat
“warung Hindu”.
Di
planet ini, hampir mustahil ada “warung Yahudi” atau “warung
Majusi”. Sesungguhnya, identitas sebagai “warung Muslim”
dipancangkan karena ketakutan soal keharaman suatu makanan. Kaum
Muslim gentar terhadap makanan berkat panduan tata tertip. Berbeda
dengan agama lain. Mereka melahap apa saja. Otak kera, sup
kelelawar, babi, anjing, ular, tikus, kalajengking, darah beku atau
binatang yang dibantai, semua disikatnya.
“Allah
mengharamkan bagimu bangkai, darah dan daging babi. Diharamkan juga
hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah” (al-Baqarah:
173).
Koran
Tempo menjadi medium bagi PS untuk menggasak Islam.
Tulisan-tulisannya yang menvisualkan Front Pembela Islam (FPI) selalu
insinuatif sekaligus tendensius. Ia, umpamanya menulis Ini Harus
Dilawan di Koran Tempo pada Ahad, 20 Mei 2012.
“Ini
harus dilawan” adalah kalimat PS yang ditujukan kepada FPI. PS
memang tak jantan menunjuk tegas FPI. Sebagai pendeta Hindu agar
tidak dituduh mencampuri urusan Islam atau bertendensi SARA (suku,
agama, ras serta antargolongan), PS secara licik memakai istilah
sinis seperti “ormas itu” atau “penjaga moral bangsa” untuk
FPI.
Pada
artikel sebelumnya, PS menulis Polisi Lain di Koran Tempo
pada Ahad, 13 Mei 2012. Dalam tulisan itu, terlihat betapa pendeta
Hindu ini begitu geram bercampur dengki terhadap FPI.
FPI
acap mengganggu tidur PS sebagaimana diakuinya dalam artikel Saatnya
Dipikirkan Undang-Undang Ormas Keagamaan di Koran Tempo
pada Jumat, 17 Februari 2012.
“FPI
sering melakukan aksi-aksi yang meresahkan masyarakat”, tulisnya.
Pertanyaannya, masyarakat apa yang risau. FPI menghancurkan tempat
maksiat. PS resah. Bila ada yang risau, berarti ia bagian dari
kemaksiatan yang memang wajib dihancur-leburkan.
Jika
punya bukti, paparkan. Tunjuk masyarakat mana yang resah. Kalau
Islam Liberal yang dituding, pasti tiada yang membantahnya. Bila
gerombolan sekuler-liberal yang risau, maka, seratus persen benar.
Harap dimengerti bahwa dua musuh Islam tersebut tak mewakili
masyarakat.
PS
mengeluh tentang repotnya membubarkan FPI. “Betapa panjangnya
jalan “menuju Indonesia tanpa FPI” itu”.
Dalam
opini SARA di Koran Tempo pada Ahad, 26 Agustus 2012,
batin PS menjerit lantaran kampanye “pilih pemimpin seiman” di
Pilkada Jakarta 2012. Ia pun yakin jika Indonesia sejak dulu belum
final. “Negeri ini ternyata makin runyam. Astaga!”, tulis PS.
Saya
ingin tanya kepada pendeta ini. Negara apa di muka bumi ini yang
sudah final? Pada esensinya, tidak ada negara yang final. Maklum,
mengikuti dinamika masyarakat. Gaya baru, teknologi baru berikut
ekonomi baru terus-menerus memutar roda kehidupan. Negara bertambah
kacau-balau kalau ada pendukung kemaksiatan. Contohnya, serdadu
Thaghut yang menghendaki “Indonesia tanpa FPI”.
Nakoula
Basseley Nakoula (Sam Bacile), antek Yahudi yang menyutradarai
Innocence of Muslims menegaskan bahwa ini zaman perang
ideologi terhadap Islam. Tak heran bila orang semacam AU atau PS
menyerang Islam lewat tulisan. Non-Islam ngeri berjihad secara
berhadapan satu lawan satu gara-gara tidak memiliki rekomendasi
langit dari Tuhan yang tak beranak. Mereka cuma menduga-duga hakikat
agamanya. Saat kepalsuan menyelimutinya, ia pun bertekad
menggelincirkan umat Islam supaya turut tersesat. Mereka berhasrat
agar Islam terhina meniti kehidupan.
“Pada
hari ini begundal kafir putus asa untuk mengalahkan agamamu. Jangan
takut kepada mereka! Takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku
sempurnakan agamamu. Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku. Aku
meridai Islam sebagai agamamu” (al-Maidah: 3).