Redenominasi Rupiah atau Sanering Harga
Oleh Abdul Haris Booegies
Selama Juli 2010, tiba-tiba kita ditumbuk isu soal redenominasi. Khalayak tersedak! Ke arah mana sesungguhnya bahtera moneter Indonesia menuju? Kelompok yang berorientasi dengan pemerintah kemudian berupaya menenteramkan rakyat dengan sejumput rayuan.
Golongan yang menyuarakan kepentingan penguasa berfatwa jika redenominasi perlu karena nilai rupiah terus merosot bin melorot. Mereka juga berceloteh bahwa redenominasi berbeda dengan sanering. Kebijakan sanering yaitu memangkas nilai uang. Sanering aslinya berbunyi geld sanering politiek. Istilah dari bahasa Belanda tersebut bermakna politik penyehatan uang.
Sanering di Indonesia terjadi pada 19 Maret 1950. Paket itu dikenal sebagai “Gunting Sjafrudin”. Kebijakan Menteri Keuangan Sjafrudin Prawiranegara tersebut diberlakukan untuk menekan inflasi.
Sanering lalu dilakukan lagi pada 25 Agustus 1959. Hasilnya, inflasi 22 persen pada 1959 sontak membumbung 594 persen pada 1965. Sanering selanjutnya pada 13 Desember 1965. Program itu bonyok ditimpuk inflasi 635,5 persen.
Redenominasi diambil dari kata denomatio. Kata yang berasal dari bahasa Latin tersebut merujuk pada istilah pecahan mata uang. Redenominasi adalah perampingan angka nominal mata uang menjadi kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Duit Rp 1.000, misalnya, dipotong menjadi Rp 1. Alhasil, gula yang Rp 10.000 menjadi Rp 10.
Redenominasi rupiah digembar-gemborkan demi efisiensi. Bahkan, secara psikologis dipandang meningkatkan bargaining position. Hingga, nilai tukar rupiah memiliki derajat di antara mata uang lain.
Bank Indonesia haqqul yaqin bila redenominasi bakal mendongkrak rupiah tampil kredibel dan bernilai. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan kalau redenominasi membuat rupiah lebih gagah.
Redenominasi hendak dilakukan guna mengatasi inefisiensi lantaran makin tingginya biaya transaksi. Indikasi menunjukkan jika angka dalam laporan keuangan perbankan kian gigantik. Bilangannya telah mencapai ratusan miliar. Ihwal itu terjadi berkat nilai transaksi terus membumbung. Di sisi lain, redenominasi dianggap mujarab mengatasi inefisiensi pembangunan infrastruktur. Fase tersebut terkait sistem pembayaran non-tunai yang acap menelan banyak biaya.
Redenominasi dipercaya tak meruwetkan pencatatan sembari menyingkat durasi waktu pembukuan. Akuntansi pun lebih gampang klir. Sebagaimana dipahami, nilai pecahan rupiah tergolong terbesar di dunia. Rupiah bersaing dengan dong Vietnam yang punya pecahan 500.000. Selain itu, rupiah kurang andal melakukan apresiasi. Rupiah tidak kompetitif! Rupiah malahan termasuk 10 uang sampah (garbage money). Rupiah dituding tak bernilai. Sebab, nilai tukarnya mencapai Rp 9.000 per 1 dolar AS. Elemen tersebut serupa dengan mata uang negara-negara miskin di Afrika.
Selama ini, nilai tukar rupiah terus mengalami penurunan. Rupiah melemah akibat kebijakan (devaluasi) serta natural (depresiasi).
Hiper Inflasi
Redenominasi rupiah yang digodok Bank Indonesioa direncanakan berlaku pada 2013. Pendukung redenominasi bersuara bahwa kita harus belajar dari Turki. Negara itu menghapus enam angka nol untuk membuang sial hyper inflations yang melaknatnya.
Turki yang sempat sempoyongan akhirnya bangkit. Negara tersebut sukses melakukan redenominasi pada 1 Januari 2005. Ekonomi negeri bekas Kesultanan Ottoman itu mendadak menggeliat. Yetele alias new Turkish lira membawa berkah bagi masyarakat. Inflasi turun dari 12 persen menjadi 5 persen.
Pada esensinya, Turki tidak sepatutnya menjadi contoh bagi Indonesia. Letak geografis dan kondisi sosial politik kedua negara sangat berbeda. Di Indonesia, budaya korupsi subur nian. Sementara mental pejabat banyak yang memprihatinkan. Ada kecenderungn pula bila muncul patronasi politik serta penguatan oligarki ekonomi.
Dewasa ini, rakyat ditimpa kengerian gara-gara kebijakan gas elpiji. Awalnya, semua bersorak-ria dengan program konversi minyak tanah ke elpiji. Tak dinyana, masyarakat akhirnya menjadi korban gas elpiji. Hampir tiap hari ada korban ledakan gas kemasan 3 kilogram.
Tatkala korban susul-menyusul diekspos, maka, seluruh pihak saling menyalahkan. Tiada yang sudi pasang badan untuk bertanggung jawab secara ksatria. Mereka justru bingung sendiri ketika horor bom elpiji meneror rakyat. Padahal, langkah yang mesti segera dilakukan pemerintah ialah menarik 45,28 juta paket perdana konversi yang sudah didistribusikan kepada masyarakat.
Redenominasi tentu baik kalau didukung oleh segenap aspek. Jika kebijakan tersebut gagal, niscaya rakyat makin sengsara. Jangan lagi rakyat dijadikan kelinci percobaan sebagaimana kasus tabung gas 3 kilogram. Apalagi, bila ada masalah, mendadak pejabat mencari kambing hitam buat cuci tangan.
Zimbabwe pernah merasakan pahitnya redenominasi. Pada 2006 dan 2008, redenominasi negeri di bagian selatan benua Afrika itu gagal total. Redenominasi jilid ketiga pada 2009, lantas menggunting 12 digit nol. Program tersebut ternyata membawa malapetaka. Zimbabwe terperangkap hiper inflasi. Tingkat inflasi mencapai ribuan persen.
Redenominasi sebetulnya juga rancu. Pasalnya, pada 2015 dicanangkan mata uang bersama ASEAN Plus Three (China, Jepang berikut Korea Selatan). Mata uang tunggal Asia Timur itu merefleksikan kokohnya relasi moneter ASEAN Plus Three.
Bertabur Fasilitas
Gagasan redenominasi sebenarnya belum pantas dilontarkan ke publik. Soalnya, proposal tersebut belum matang. Publikasi redenominasi bisa meresahkan masyarakat. Bahkan, stabilitas moneter dapat terganggu. Inflasi bisa melonjak. Pendapat ekstrem justru menengarai kalau redenominasi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi serta politik.
Suporter redenominasi mempropagandakan jika program itu tak berdampak terhadap inflasi. Pendapat tersebut jelas sahih di atas kertas memo pribadinya. Pada realitasnya, hal itu sulit menjadi kebenaran. Apalagi, belum ada survei.
Sejumlah ekonom merekomendasikan agar pemerintah jeli saat menerapkan redenominasi. Landasan yang mutlak diperhatikan yakni inflasi terkendali di bawah 10 persen. Kemudian kurs rupiah stabil sekaligus kuat. Syarat lain yaitu utang pemerintah turun dalam persentase terhadap Produk Domestik Bruto.
Pada hakikatnya, bukan redenominasi rupiah yang harus dilakukan, namun, sanering harga. Pejabat mungkin tidak peka dengan yang namanya harga mahal. Mereka tak bersentuhan langsung dengan harga sembako. Pejabat tidak pernah dipusingkan ongkos kesehatan, pendidikan dan perumahan. Maklum, usai dilantik, maka, pejabat langsung menikmati fasilitas yang berlimpah. Dalam hitungan hari, fulus mereka malahan telah berceceran di rekening gendutnya.
Masyarakat tak memiliki fasilitas. Hatta, mereka terantuk-antuk mengais sepotong rezeki. Negeri ini bertabur sumber daya alam, tetapi, cuma dinikmati segelintir manusia. Bahkan, Amerika Serikat lewat PT Freeport Indonesia dibiarkan seenaknya menambang emas, perak serta tembaga di Irian Jaya. Akibatnya, penduduk Papua melarat. Sedangkan Paman Sam hidup makmur.
Di masa kini, kita mendambakan figur dengan visi strong leadership yang berani berkata tidak kepada asing. Kita merindukan the great leader yang malu berutang ke IMF maupun Bank Dunia. Kita butuh pemimpin yang punya nurani untuk melihat negara ini berdaulat. Sementara penduduk negeri ini hidup mandiri.
Kita mengharapkan pemimpin yang mau memekikkan sanering harga. Biaya yang berhubungan dengan sembako, kesehatan, pendidikan dan perumahan dipotong tiga angka nolnya. Sanering harga sudah mendesak sekali dibandingkan redenominasi rupiah.