Rabu, 05 November 2025

Salah Bahasa


Salah Bahasa
Oleh Abdul Haris Booegies


     Dalam berinteraksi, bukan seberapa banyak informasi yang dimiliki.  Bukan seberapa besar data yang dipegang.  Interaksi butuh keselarasan dalam perkara bahasa, kode atau komunikasi.  Tanpa aplikasi interaksi yang tepat, niscaya ikhtiar berujung keruwetan.  Timbul kegagalan demi kegagalan.  Pasalnya, semua tidak jitu pada tempatnya.

Sabtu, 19 November 1983
     Hari ini, kegembiraan berbinar ceria di hati santri Pesantren IMMIM.  Sumber keriangan bukan wahyu dari langit, melainkan televisi baru di masjid, warna lagi.  Selama ini, kami cuma dihibur TV hitam putih yang menghamparkan mimpi-mimpi monokrom.  Ini serupa aktivitas santri yang hitam putih.  Kehidupan pesantren didominasi ustaz, kitab kuning, azan dan malam yang tak punya bayangan.
     Kemarin televisi hitam putih itu diangkut ustaz Abdul Kadir Massoweang ke kamarku di Wisma Guru, tempat kami tinggal bersama.  Ia mau memperbaikinya.  Saya heran campur geli, bagaimana bisa ustaz Kadir memperbaiki bangkai kristal.  Pengetahuannya cuma bahasa Arab, sementara ini alat elektronik dengan rumus matematika.  Buku panduannya saja berbahasa Inggris yang profan, bukan Arab.  Barangkali wakil pimpinan kampus ini berpikir dapat menambal semesta elektronik dengan jampi-jampi nahwu sharaf.
     Dugaanku jitu laksana firasat burung gagak yang tepat.  Ustaz Kadir bukan hanya gagal, malahan televisi hitam putih tersebut tambah rusak.  Suaranya redup, lebih bisu dari batu nisan.  Gambarnya tak ada lagi kecuali bintik-bintik hitam bak hantu mencari bentuk.

Senin, 11 Januari 1984
     Siang ini, takut mencengkeram jiwaku.  Semua gara-gara pelanggaranku selama kelas I SMA ini, makin banyak, kian beragam.  Ini mirip sungai hitam yang mengalir tak terkendali.  Kepala serasa dipentung memikirkannya.  Saya dihantui oleh pelanggaranku yang bercabang bagai dosa yang punya akar.
     Saya juga lupa Tuhan.  Jarang ke masjid berdoa atau mengaji.  Kini, doa yang kupanjatkan terasa seperti sinetron yang dialognya terlupa di kepala.
     Saya ingin memutus rantai kenakalan, tetapi, dimulai dari mana?  Repot mengurainya karena kusut sekali.  Saya terjebak dalam labirin pelanggaran sendiri.  Tak bisa bergerak, maju kena mundur kena.  Tiap simpul adalah keputusan yang salah.  Tiap ujung adalah jalan buntu.
     Pusing dengan pelanggaranku, pusing pula bagaimana mengakhirinya. Apakah niat insaf ini dimulai dengan tidak bolos dari kelas, atau tak kabur dari kampus, atau tidak malas ke masjid.
     Di hari-hari mendatang, pelanggaranku tentu makin membeludak.  Apalagi, tadi Mantang yang kepala koki aula mengenalkanku dengan cewek.  Entahlah, Mantang ini makelar cinta atau makelar dosa.
     Mantang membiarkanku mengobrol dengan gadis itu di aula yang sepi.  Berdua di antara kursi-kursi kosong yang berjajar bagai saksi bisu.  Kami berbual perihal hal-hal tak penting.  Berceloteh dalam ruang yang terlalu besar untuk dua orang yang terlalu kecil.  Di akhir perjumpaan, menyeruak simfoni merdu di kalbu.  Bukan kumandang azan, melainkan getar asmara.
     Paras dara ini memang bernilai rata-rata, namun, tidak masalah!  Ini cukup untuk menghidupkan aritmatika dosa.  Apalagi, kucing garong lapar yang terkurung di penjara suci tak pernah pilih-pilih.  Memangsa apa pun yang disodorkan.  Menjilat kesempatan seperti susu tumpah.  Jangan sisakan apa pun.  Tak boleh mubazir.  Sebab, orang mubazir mitra setan.
     Ustaz Kadir tak dapat memperbaiki televisi, begitu pula saya.  Tak bisa memperbaiki diri.  Pada esensinya, kami berdua menggunakan bahasa yang salah untuk masalah yang berbicara dalam bahasa lain.  Ketidaktepatan bahasa, kode maupun komunikasi yang sesungguhnya menimbulkan seluruh kemalangan ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People