Minggu, 09 November 2025

Gelang Hitam


Gelang Hitam
Oleh Abdul Haris Booegies


Rabu. 21 Desember 1983
     Selama libur, saya bersama segelintir kelas IV (kelas I SMA), tetap tinggal di Pesantren IMMIM.  Beruntungnya karena Umar Syah punya motor.
     Pukul 21.00, saya membonceng Umar ke bioskop.  Sementara Ahmad Natser menyelinap di atas pete-pete (mikrolet).  Di perjalanan tatkala membelah malam, hujan deras mengguyur.  Kami nyaris tabrakan.
     Saya bersama Natser nonton Budak Nafsu di Paramount yang lampu-lampu neonnya memantulkan rindu terlarang.  Sedangkan Umar menyaksikan The California Dolls di New Artis Theater.
     Selepas pukul 00.00, kami pulang berboncengan tiga.  Maklum, tidak ada lagi polisi.  Kami menertawakan hukum yang lelap dalam tidurnya.  Kami bebas di jalan raya sambil belajar mencintai kebebasan seperti mencintai maksiat sebatas film.
     Pukul 01.00, tiba di pesantren dengan hati berdesing.  Begitu sampai, kami kepergok pimpinan kampus (pimkam).  Tatapannya dingin serupa ayat tanpa tafsir.  Matanya setajam belati.  Menguliti kami dalam diam.  Seolah kami tiga serangkai kriminal amatir.
     Saya sempat heran, membatin penuh misteri.  Bertanya pada takdir yang membisu.  Mengapa tiap kabur dari kampus secara berombongan, saya selalu ketahuan.  Jejakku selalu ditemukan.  Hingga, berujung hukuman.  Jika sendiri, ber-solo run, saya senantiasa sukses gemilang.
     Nasibku berpihak hanya pada kesunyian?  Saat sendiri, saya adalah bayangan, hantu tanpa nama.  Barangkali takdirku memang selaras lone wolf, beraksi seorang diri.  Saya andal menavigasi pelarianku secara mandiri.  Gelang hitam di tangan kananku yang merupakan jimat, seolah lumpuh bila ada rekan menjadi partner in crime.  Gelang hitam ini kehilangan tuah saat berbagi dosa dengan yang lain.  Mungkin kesialan datang dari kebersamaan yang terlalu manusiawi.
     Barangkali Dewi Malam menyukai pelanggar yang melangkah sendirian.  Ini mirip serigala malam yang cuma menyalak pada bintang-gemintang.
     Kesendirian mencerminkan keyakinan bahwa eksistensi sejati hanya dapat ditemukan lewat kesadaran diri yang terisolasi.  Bukan melalui identitas kolektif.
     Kala fajar merekah dalam rona kuning-kemuning, Mantang yang merupakan kepala konsumsi di aula, menghampiriku.  Ia menegaskan bahwa namaku dicatat oleh pimkam karena melakukan pelanggaran.  Tadi malam keluar kampus ke bioskop.
     "Astaga, ini libur!  Mestinya bebas tanpa aturan!  Mengapa pimkam menganggap itu pelanggaran!"  Saya mengumpat sambil mencak-mencak.

Rabu, 9 Januari 1984
     Pemilihan ketua Ikatan Santri Pesantren Modern (ISPM) alias ketua OSIS hari ini dimenangkan oleh Akmal Hasan.  Usai pesta demokrasi kecil tersebut, saya kabur ke rumah.
     Dengan mengendarai motor, saya ke New Artis nonton Blue Thunder.
     Saat senja, balik ke pesantren.  Saya memarkir motor di depan aula.  Beberapa sahabat heran menatapku seperti melihat nabi palsu.  Siapa yang mengizinkan membawa motor.  Mengapa nekat menyelundupkan motor.
     Malam ini, saya kabur dari pesantren dengan menunggang motor.  Berkeliling mencari film yang menarik untuk ditonton.  Tidak ada film bagus.  Besok Lone Wolf McQuade akan tayang di New Artis.
     Saya kembali ke pesantren.  Berkonsentrasi penuh merapal mantra supaya tidak ketahuan pimkam.  Bisa berabe kalau kepergok.  Soalnya, saya bawa motor.  Ini pelanggaran paling berbahaya.  Bisa menghapus namaku dari daftar santri.

Jumat, 17 Februari 1984
     Siang ini, saya minta izin ke ustaz Abdul Kadir Massoweang untuk pulang.  Apes, wakil pimpinan kampus ini menolak.  Saya akhirnya kabur.  Dikiranya saya takut.  Saya justru senang lompat pagar meninggalkan pesantren secara ilegal.  Lompat pagar merupakan ritual filosofis.  Ini zikir dalam bentuk gerakan memberontak terhadap moralitas yang ditentukan oleh otoritas eksternal alias pembina pesantren.
     Setelah membeli majalah, saya nonton Sahara di Mitra Theater pada pertunjukan pukul 15.00.  Sahara dibintangi oleh idolaku; Brooke Shields.
     Bakda Isya, namaku menggema lagi dari pengeras suara masjid.  Ada lagi pelanggaranku, tetapi, pelanggaran apa gerangan?  Rupanya tidak shalat Shubuh secara berjamaah.
     Alhamdulillah, pelanggaran beratku berupa kabur ke bioskop tidak terendus.  Azimat gelang hitamku betul-betul mujarab.  Qismul amni (seksi keamanan) tampak konyol kalau menghadapi pelanggaranku.  Mereka cuma bisa tahu pelanggaran kecilku.  Ini namanya dinosaurus di pelupuk mata diabaikan.  Sementara kuman di pulau seberang diributkan.
     Tunggu dulu, Haris!  Jangan dulu gembira.  Kali ini saya tidak diadili oleh kawanan qismul amni yang gampang kuperdaya, melainkan diserahkan ke ustaz Saifullah Mangun Suwito.  Ini pimpinan kampus!  Gawat!
     Dewi Fortuna kiranya tak membiarkanku sendiri dalam kemelut pengadilan santri badung.  Pasalnya, bukan cuma saya yang dihadapkan ke ruang penghakiman, namun, berjamaah.  Ada Natser, Saifullah Nurdin, Saiful Latief serta Rusdi Karim.
     Kami diadili dari pukul 21.00 sampai 23.00.  Saya sampai linglung, apa saja tadi nasehat atau ancaman pimkam?  Semua menguap gara-gara capek diceramahi di antara kantuk dengan rasa bersalah yang setengah matang.
     Wahai malam, wahai bioskop, tunggu episode berikutnya karena besok saya kabur lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People