Jumat, 28 November 2025

Rabu, 19 November 2025

Siapa Namanya?


Siapa Namanya?
Oleh Abdul Haris Booegies


     "Pernahkah pemuda tampan berbaju biru ini singgah di penglihatanmu?"  Hudhud menyodorkan sebuah potret ke gagak yang bertengger di ranting keropos saninten.
     "Mengapa kau menanyakannya?"  Gagak balik bertanya seolah hendak menghentikan angin yang menerpa bulu hitamnya.
     "Kau spesies unggas dengan banyak pengetahuan.  Kau paham hal-hal yang dibiarkan gelap", tukas hudhud yang membuat gagak berbinar, bangga.  Bulu hitam dan kegelapan memang suka dipuji.
     "Kau mau kisah ini disingkap dari mana?"
     "Dari awal.  Bukankah awal senantiasa murah hati?  Apalagi, waktu kita banyak", usul hudhud sembari menepuk angin dengan kepak ekor yang lirih.
     "Waktuku tipis, Sobat.  Saya mau ke rimba seberang.  Di sana ada rapat para unggas", keluh gagak yang hendak terbang.
     "Ceritakan saja kisah nan syahdu", pinta hudhud.
     "Itu episode tersembunyi", gumam gagak yang bulunya laksana arang.
     "Di situ pula letak pesona yang tiada terperi.  Bukankah yang tersembunyi selalu menggoda?"  Ucap hudhud sambil tersenyum seolah melihat mangga ranum yang disembunyikan semut rangrang.
     "Ia punya kisah cinta", celetuk gagak.  Suaranya mirip gergaji yang memotong kayu tebal.
     "Pasti indah", hudhud tersenyum seraya mengepakkan sayap satu kali.  Garis-garis hitam serta putih di sayap coklatnya terlihat bergetar.
     "Tidak, cintanya karam.  Retak berkeping-keping.  Terhempas badai realita", ujar gagak.
     "Apa penyebabnya?"  Senyum hudhud kontan lenyap diterpa kecewa.  Wajahnya layu seketika.
     "Gadis itu putri bangsawan.  Ia kembang paling indah di taman permai.  Cantiknya bagai pagi yang tak pernah bisa dimiliki malam".
     "Pemuda ini berparas rupawan", ujar hudhud.
     "Betul, tetapi, ia berasal dari kasta minus harta.  Ia tak punya harta sebentuk pun, kecuali paras yang bagai peta menuju Surga".
     "Cintanya tersisih karena miskin?"  Tutur hudhud menunduk, seperti merasakan denting kecewa di tulangnya sendiri.
     "Faktanya begitu.  Ditolak oleh dunia yang lebih percaya harta daripada semangat juang membara.  Pemuda itu pun melarikan diri dari takdir ke takdir.  Mencoba aneka peruntungan.  Dalam imajinasinya, dunia ini luas.  Dunia tidak selebar wajah manusia.  Pemuda itu akhirnya menjelma sebagai legenda.  Namanya semerbak, lebih harum dari bunga paling indah di taman permai".
     "Siapa nama pemuda ganteng itu?"  Hudhud tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.  Hudhud mendekat, penasaran.
     Gagak memiringkan kepala.  Paruhnya yang hitam nyaris menyentuh liang telinga hudhud.  Ia seolah hendak menanamkan kutukan atau doa yang terlalu rahasia untuk dibunyikan.
     "Ia penuh berkah ilahi", bisik gagak membenamkan kata-katanya dalam kabut.
     "Jadi siapa nama pemuda sarat berkah berbaju biru itu?"  Hudhud setengah menjerit meminta kejelasan.
     "Namanya mudah diingat, mudah dilantunkan", desis gagak sembari menjulurkan sayap hitamnya yang berkilau diterpa Mentari.
     "Siapa namanya?"  Suara hudhud bergetar ingin mengetahuinya.  Sementara gagak memandang sekilas sang Surya.  Suaranya tertahan tatkala mau menyebut nama agung tersebut.  Ia mengerti, di balik nama itu, ada masa silam, masa kini dan masa depan.
     "Siapa namanya?"  Ulang hudhud.
     "Fadeli Luran".


Minggu, 09 November 2025

Gelang Hitam


Gelang Hitam
Oleh Abdul Haris Booegies


Rabu. 21 Desember 1983
     Selama libur, saya bersama segelintir kelas IV (kelas I SMA), tetap tinggal di Pesantren IMMIM.  Beruntungnya karena Umar Syah punya motor.
     Pukul 21.00, saya membonceng Umar ke bioskop.  Sementara Ahmad Natser menyelinap di atas pete-pete (mikrolet).  Di perjalanan tatkala membelah malam, hujan deras mengguyur.  Kami nyaris tabrakan.
     Saya bersama Natser nonton Budak Nafsu di Paramount yang lampu-lampu neonnya memantulkan rindu terlarang.  Sedangkan Umar menyaksikan The California Dolls di New Artis Theater.
     Selepas pukul 00.00, kami pulang berboncengan tiga.  Maklum, tidak ada lagi polisi.  Kami menertawakan hukum yang lelap dalam tidurnya.  Kami bebas di jalan raya sambil belajar mencintai kebebasan seperti mencintai maksiat sebatas film.
     Pukul 01.00, tiba di pesantren dengan hati berdesing.  Begitu sampai, kami kepergok pimpinan kampus (pimkam).  Tatapannya dingin serupa ayat tanpa tafsir.  Matanya setajam belati.  Menguliti kami dalam diam.  Seolah kami tiga serangkai kriminal amatir.
     Saya sempat heran, membatin penuh misteri.  Bertanya pada takdir yang membisu.  Mengapa tiap kabur dari kampus secara berombongan, saya selalu ketahuan.  Jejakku selalu ditemukan.  Hingga, berujung hukuman.  Jika sendiri, ber-solo run, saya senantiasa sukses gemilang.
     Nasibku berpihak hanya pada kesunyian?  Saat sendiri, saya adalah bayangan, hantu tanpa nama.  Barangkali takdirku memang selaras lone wolf, beraksi seorang diri.  Saya andal menavigasi pelarianku secara mandiri.  Gelang hitam di tangan kananku yang merupakan jimat, seolah lumpuh bila ada rekan menjadi partner in crime.  Gelang hitam ini kehilangan tuah saat berbagi dosa dengan yang lain.  Mungkin kesialan datang dari kebersamaan yang terlalu manusiawi.
     Barangkali Dewi Malam menyukai pelanggar yang melangkah sendirian.  Ini mirip serigala malam yang cuma menyalak pada bintang-gemintang.
     Kesendirian mencerminkan keyakinan bahwa eksistensi sejati hanya dapat ditemukan lewat kesadaran diri yang terisolasi.  Bukan melalui identitas kolektif.
     Kala fajar merekah dalam rona kuning-kemuning, Mantang yang merupakan kepala konsumsi di aula, menghampiriku.  Ia menegaskan bahwa namaku dicatat oleh pimkam karena melakukan pelanggaran.  Tadi malam keluar kampus ke bioskop.
     "Astaga, ini libur!  Mestinya bebas tanpa aturan!  Mengapa pimkam menganggap itu pelanggaran!"  Saya mengumpat sambil mencak-mencak.

Rabu, 9 Januari 1984
     Pemilihan ketua Ikatan Santri Pesantren Modern (ISPM) alias ketua OSIS hari ini dimenangkan oleh Akmal Hasan.  Usai pesta demokrasi kecil tersebut, saya kabur ke rumah.
     Dengan mengendarai motor, saya ke New Artis nonton Blue Thunder.
     Saat senja, balik ke pesantren.  Saya memarkir motor di depan aula.  Beberapa sahabat heran menatapku seperti melihat nabi palsu.  Siapa yang mengizinkan membawa motor.  Mengapa nekat menyelundupkan motor.
     Malam ini, saya kabur dari pesantren dengan menunggang motor.  Berkeliling mencari film yang menarik untuk ditonton.  Tidak ada film bagus.  Besok Lone Wolf McQuade akan tayang di New Artis.
     Saya kembali ke pesantren.  Berkonsentrasi penuh merapal mantra supaya tidak ketahuan pimkam.  Bisa berabe kalau kepergok.  Soalnya, saya bawa motor.  Ini pelanggaran paling berbahaya.  Bisa menghapus namaku dari daftar santri.

Jumat, 17 Februari 1984
     Siang ini, saya minta izin ke ustaz Abdul Kadir Massoweang untuk pulang.  Apes, wakil pimpinan kampus ini menolak.  Saya akhirnya kabur.  Dikiranya saya takut.  Saya justru senang lompat pagar meninggalkan pesantren secara ilegal.  Lompat pagar merupakan ritual filosofis.  Ini zikir dalam bentuk gerakan memberontak terhadap moralitas yang ditentukan oleh otoritas eksternal alias pembina pesantren.
     Setelah membeli majalah, saya nonton Sahara di Mitra Theater pada pertunjukan pukul 15.00.  Sahara dibintangi oleh idolaku; Brooke Shields.
     Bakda Isya, namaku menggema lagi dari pengeras suara masjid.  Ada lagi pelanggaranku, tetapi, pelanggaran apa gerangan?  Rupanya tidak shalat Shubuh secara berjamaah.
     Alhamdulillah, pelanggaran beratku berupa kabur ke bioskop tidak terendus.  Azimat gelang hitamku betul-betul mujarab.  Qismul amni (seksi keamanan) tampak konyol kalau menghadapi pelanggaranku.  Mereka cuma bisa tahu pelanggaran kecilku.  Ini namanya dinosaurus di pelupuk mata diabaikan.  Sementara kuman di pulau seberang diributkan.
     Tunggu dulu, Haris!  Jangan dulu gembira.  Kali ini saya tidak diadili oleh kawanan qismul amni yang gampang kuperdaya, melainkan diserahkan ke ustaz Saifullah Mangun Suwito.  Ini pimpinan kampus!  Gawat!
     Dewi Fortuna kiranya tak membiarkanku sendiri dalam kemelut pengadilan santri badung.  Pasalnya, bukan cuma saya yang dihadapkan ke ruang penghakiman, namun, berjamaah.  Ada Natser, Saifullah Nurdin, Saiful Latief serta Rusdi Karim.
     Kami diadili dari pukul 21.00 sampai 23.00.  Saya sampai linglung, apa saja tadi nasehat atau ancaman pimkam?  Semua menguap gara-gara capek diceramahi di antara kantuk dengan rasa bersalah yang setengah matang.
     Wahai malam, wahai bioskop, tunggu episode berikutnya karena besok saya kabur lagi.


Rabu, 05 November 2025

Salah Bahasa


Salah Bahasa
Oleh Abdul Haris Booegies


     Dalam berinteraksi, bukan seberapa banyak informasi yang dimiliki.  Bukan seberapa besar data yang dipegang.  Interaksi butuh keselarasan dalam perkara bahasa, kode atau komunikasi.  Tanpa aplikasi interaksi yang tepat, niscaya ikhtiar berujung keruwetan.  Timbul kegagalan demi kegagalan.  Pasalnya, semua tidak jitu pada tempatnya.

Sabtu, 19 November 1983
     Hari ini, kegembiraan berbinar ceria di hati santri Pesantren IMMIM.  Sumber keriangan bukan wahyu dari langit, melainkan televisi baru di masjid, warna lagi.  Selama ini, kami cuma dihibur TV hitam putih yang menghamparkan mimpi-mimpi monokrom.  Ini serupa aktivitas santri yang hitam putih.  Kehidupan pesantren didominasi ustaz, kitab kuning, azan dan malam yang tak punya bayangan.
     Kemarin televisi hitam putih itu diangkut ustaz Abdul Kadir Massoweang ke kamarku di Wisma Guru, tempat kami tinggal bersama.  Ia mau memperbaikinya.  Saya heran campur geli, bagaimana bisa ustaz Kadir memperbaiki bangkai kristal.  Pengetahuannya cuma bahasa Arab, sementara ini alat elektronik dengan rumus matematika.  Buku panduannya saja berbahasa Inggris yang profan, bukan Arab.  Barangkali wakil pimpinan kampus ini berpikir dapat menambal semesta elektronik dengan jampi-jampi nahwu sharaf.
     Dugaanku jitu laksana firasat burung gagak yang tepat.  Ustaz Kadir bukan hanya gagal, malahan televisi hitam putih tersebut tambah rusak.  Suaranya redup, lebih bisu dari batu nisan.  Gambarnya tak ada lagi kecuali bintik-bintik hitam bak hantu mencari bentuk.

Senin, 11 Januari 1984
     Siang ini, takut mencengkeram jiwaku.  Semua gara-gara pelanggaranku selama kelas I SMA ini, makin banyak, kian beragam.  Ini mirip sungai hitam yang mengalir tak terkendali.  Kepala serasa dipentung memikirkannya.  Saya dihantui oleh pelanggaranku yang bercabang bagai dosa yang punya akar.
     Saya juga lupa Tuhan.  Jarang ke masjid berdoa atau mengaji.  Kini, doa yang kupanjatkan terasa seperti sinetron yang dialognya terlupa di kepala.
     Saya ingin memutus rantai kenakalan, tetapi, dimulai dari mana?  Repot mengurainya karena kusut sekali.  Saya terjebak dalam labirin pelanggaran sendiri.  Tak bisa bergerak, maju kena mundur kena.  Tiap simpul adalah keputusan yang salah.  Tiap ujung adalah jalan buntu.
     Pusing dengan pelanggaranku, pusing pula bagaimana mengakhirinya. Apakah niat insaf ini dimulai dengan tidak bolos dari kelas, atau tak kabur dari kampus, atau tidak malas ke masjid.
     Di hari-hari mendatang, pelanggaranku tentu makin membeludak.  Apalagi, tadi Mantang yang kepala koki aula mengenalkanku dengan cewek.  Entahlah, Mantang ini makelar cinta atau makelar dosa.
     Mantang membiarkanku mengobrol dengan gadis itu di aula yang sepi.  Berdua di antara kursi-kursi kosong yang berjajar bagai saksi bisu.  Kami berbual perihal hal-hal tak penting.  Berceloteh dalam ruang yang terlalu besar untuk dua orang yang terlalu kecil.  Di akhir perjumpaan, menyeruak simfoni merdu di kalbu.  Bukan kumandang azan, melainkan getar asmara.
     Paras dara ini memang bernilai rata-rata, namun, tidak masalah!  Ini cukup untuk menghidupkan aritmatika dosa.  Apalagi, kucing garong lapar yang terkurung di penjara suci tak pernah pilih-pilih.  Memangsa apa pun yang disodorkan.  Menjilat kesempatan seperti susu tumpah.  Jangan sisakan apa pun.  Tak boleh mubazir.  Sebab, orang mubazir mitra setan.
     Ustaz Kadir tak dapat memperbaiki televisi, begitu pula saya.  Tak bisa memperbaiki diri.  Pada esensinya, kami berdua menggunakan bahasa yang salah untuk masalah yang berbicara dalam bahasa lain.  Ketidaktepatan bahasa, kode maupun komunikasi yang sesungguhnya menimbulkan seluruh kemalangan ini.


Minggu, 02 November 2025

Mencari Masa Lalu


50 Tahun Pesantren IMMIM
Mencari Masa Lalu
Oleh Abdul Haris Booegies


     Tatkala terdengar kata "reuni", ada sesuatu yang berdegup keras.  Menggedor-gedor batin yang lusuh.  Menggoyang-goyangkan kalbu yang terkulai.  Mengguncang-guncang pikiran yang sudah lama berdebu.  Asa menggeliat bak cacing kepanasan membayangkan realitas reuni.  Harapan meronta-ronta mengimpikan bayang yang terus memudar, bayang yang tak pernah pulang.
     Gejolak perihal reuni seperti pintu besi yang memukul dinding ingatan.  Menggema di lorong jiwa yang tiada pernah benar-benar sunyi.  Selaksa rindu pun menggigit tulang.  Ada bisik pelan, mungkin kau ingin pulang, tetapi, ke mana?
     Reuni sesungguhnya bukan sekedar kumpul-kumpul norak atau ajang pamer, melainkan menyibak kabut kenangan.  Ada sesuatu yang ingin ditemui, ingin didatangi, ingin disapa.
     Kala berkumpul mengenang kisah- kisah, maka, yang ingin ditemui, yang ingin didatangi, yang ingin disapa, tetap gaib.  Kehadirannya absurd.  Abstrak laksana asap hitam yang menari di ujung jari, lantas lenyap saat disentuh.  Penantian cuma mendatangkan bayangan.  Sementara yang menjawab hanya gema.  Sebuah puncak hasrat yang sia-sia.
     Di sini pula letak ereksi reuni.  Bayang-bayang dulu yang membentuk rangkaian kejadian hanya bisa dirindukan.  Tiada satu pun yang bisa menjejakkan kaki di hari-hari lampau.  Reuni seolah menegaskan bahwa yang berlalu sudah lama mati, namun, belum dikuburkan oleh waktu.  Padahal, ada kerinduan untuk mengenal kembali diri sendiri yang dulu.  Sebab, di sana ternukil awal seluruh narasi.  Inilah misi utama reuni, mencari masa lalu.
     Reuni tidak tunggal kenangannya.  Seribu jiwa datang membawa seribu kenangan berisik yang saling berbisik.  Bahkan, membawa seribu semesta yang berdendang dengan nada sumbang.  Tiap kenangan adalah tubuh yang mencari tuannya kembali.  Ini yang memicu reuni penuh gairah.  Hingga, gairah-gairah ini menghubungkan denyut sekarang dengan masa lampau.
     Ada bisik pelan tentang yang ingin ditemui, ingin didatangi, ingin disapa.  Suara lirih tersebut tak bergema, hilang terbawa bayu.  "Mungkin kau ingin pulang, tetapi, ke mana?"

#50tahunpesantrenimmim
#immim
#iapim
#pesantrenimmim


Amazing People