Sosok Penuntun
Oleh Abdul Haris Booegies
Kehidupan di Pesantren IMMIM era 80-an, penuh lika-liku. Sarat tikungan tajam di antara tebing terjal kehidupan. Keseharian seolah menjemukan. Membosankan karena rutinitas yang tiada dinaungi warna-warni. Santri berkehendak ada pelangi di tiap gerak-gerik. Apa daya, tiada rintik hujan membasuh tingkah-polah.
Fajar berganti senja, gelap berganti terang. Kesunyian laksana terus berputar. Bayangan pun bagai lesu menghadapi jadwal monoton di pesantren. Walau demikian, jangan terpancing untuk menyerah. Sebab, dari balik dinding-dinding pucat asrama, ada figur-figur penenang. Ada jiwa-jiwa tangguh yang membimbing. Menuntun untuk bertahan menempuh hari-hari panjang selama enam tahun.
Pancangkan tekad. Tirulah Fuad Azuz. Ia negosiator ulung. Andal mengurai problem demi menggapai solusi. Ia tempat berlabuh beragam keluhan. Tempat bertanya persoalan-persoalan. Tempat mengadu siapa yang tertindas.
Jangan takabur. Ingat bahwa kau cuma berdiri di sepetak tanah merah Tamalanrea. Tirulah Mahmuddin Achmad Akil. Ia paham deretan sawah di Sidrap. Ia mengerti ilmu padi; makin berisi kian merunduk. Jadi, singkirkan kesombongan!
Jangan banyak lagak. Ingat karma, ingat dosa. Kelak, perbuatanmu dibalas. Tirulah Awaluddin Mustafa. Memilih diam karena itu emas. Emas adalah logam berharga. Ini bermakna jika diam merupakan cara menghargai orang yang berbicara. Menghargai suasana, menghargai diri sendiri berkat tidak mengobral celoteh tanpa arah.
Jangan berpangku tangan. Melihat rekan sibuk dalam pusaran problem. Tirulah Andi Asri. Ia ada di mana-mana, di mana-mana ia ada. Ia memiliki segudang empati. Sikap solidaritasnya lebih tinggi ketimbang gunung.
Jangan terburu nafsu. Hendak membangun surau dalam semalam. Tirulah Musytari Randa. Ia tahu semua butuh waktu, butuh proses. Jangan mendesakkan hasrat. Semua ada waktunya untuk mekar, untuk mewarnai dunia.
Jangan apatis. Tirulah Rusman. Senyumnya selalu mekar. Apa pun masalah, hadapi dengan tenang. Selesaikan dengan kepala dingin. Senyum menandakan kau kuat di tengah arus masalah.
Jagan suka berulah. Tirulah Abdul Hafid Berru. Ia memandang alam ini secara santai. Tak perlu serius untuk urusan remeh. Jangan pula remeh untuk urusan serius. Nikmati prosesnya supaya indah pada waktunya.
Jangan kasar. Tirulah Haris Bugis. Tidak pernah marah, tak pernah berkelahi. Tiada pula secuil dendam teronggok di hatinya. Betul-betul santri teladan enam periode.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar