Dalam Labirin Pesantren
Oleh Abdul Haris Booegies
Sejak kemerdekaan Indonesia pada Jumat, 17 Agustus 1945, label pesantren senantiasa menggetarkan di dunia pendidikan. Pesantren alias ma'had (مَعْهَد) atau darul ulum (دار العلوم), serasa punya citra kosmik. Mempesona bagai ledakan neuron sinkronisasi yang menggedor jiwa, memukau imajinasi.
Di balik tembok-tembok pucat dengan cat yang melepuh. Di balik pagar kawat berduri runcing yang bisa menindik kulit, ada gairah pembelajaran. Bersemi denyut kehidupan spiritual. Bergemuruh riak kehidupan intelektual. Ada metode belajar yang khas. Ada perjalanan batin yang melenakan. Dipandu oleh ustaz-ustazah terbaik yang merupakan mercusuar keteladanan. Dipantau oleh kiai karismatik yang berperan sebagai arsitek jiwa.
Santri yang belajar di pondok-pondok spiritual identik dengan ilmu agama. Ritual transendental tiada henti berdengung supaya santri bergelimang informasi langit.
Santri senantiasa menjadi pusat perhatian jika ada pertemuan antarsiswa. Ini berkat santri terkesan unik. Keunikan ini mencakup aktivitas santri yang selaras jadwal shalat. Apalagi, santri fasih merapal doa, menghafal hikmah, melantunkan zikir.
Dalam bayangan siswa-siswi serta masyarakat, komunitas bersarung ini merupakan peziarah batin yang menggumamkan secara lirih teks-teks suci Ilahi. Mereka menilai bahwa santri lebih banyak membaca kitab gundul yang minus harakat ketimbang menelisik teori fisika maupun rumus kimia.
Bagi sebagian orang, santri ibarat gadis pingitan. Sebab, diharamkan keluar kampus. Santri menjalani kehidupan monastik yang jauh dari godaan dunia. Akibatnya, meninggalkan kampus tanpa izin tergolong pelanggaran berat. Ini dosa besar bagi santri.
Menjadi santri bermakna mengemban keyakinan tak tergoyahkan. Demi menggapai cita-cita, santri siap belajar siang-malam. Mereka merupakan Academic Warrior. Apalagi, santri punya survivalis pragmatis, sikap hidup yang fokus untuk bertahan. Tidak berlebihan bila santri berseru bahwa; "we're on a mission from God". Frasa ikonik ini diucapkan oleh Jake Blues (John Belushi) di film The Blues Brothers (1980). Kalimat ini mendeskripsikan kegigihan menggapai cita-cita, kendati harus melanggar aturan.
Selama enam tahun, santri direduksi menjadi instrumen mekanis yang tunduk pada otoritas sistem. Hingga, terjadi transformasi jiwa-jiwa muda menjadi pribadi berilmu dan berakhlak. Kabar baiknya, aturan pesantren begitu efisien. Bahkan, efektif sebagai ambisi futuristik demi menjadikan santri sebagai spesies superior di berbagai bidang. Ini merupakan proyek agung pesantren sebagai lumbung generasi Islam.
Santri bukan sekedar darah serta tulang, melainkan data dan logika. Mereka ditumpuk dalam sejumlah petak-petak kamar. Data serta logika yang menjadi fondasi ontologis ini kelak membimbing santri. Sebagai entitas pencari hakikat hidup, santri berkelana di tengah dataisme dan algoritma. Semua berkat kemampuan untuk merenung sembari berinteraksi secara intens. Hingga, andal menciptakan makna berazas logika biner di kerumunan kuasa kapital.
Kapitalisme data tidak menjadikan santri menjadi sekedar pelajar dengan nuansa kental spiritualitas logika. Santri bukan produk. Mereka punya otonomi dan ruang publik sebagai bagian otentik pelajar. Tak ada overproteksi yang membatasi pengalaman santri.
Hidup di pesantren sebenarnya petualangan ala garden salad, hidangan yang ramai rasanya. Terkadang seperti petualang mitologis Simbad dari dunia fantasy-oriental klasik. Ada kalanya serupa petualang modern rasional Indiana Jones dari dunia pop-pulp modern. Sesekali nyaris sama ikon spy-thriller James Bond dari dunia "kiss kiss and bang bang". Di momen tertentu, mirip petualang wasteland punk Mad Max dari puing-puing dunia pasca-apokaliptik.
Aktivitas di pesantren sarat gairah, bukan kehidupan tanpa ilusi. Selalu ada keisengan. Selalu ada seberkas kegilaan di sela-sela ritual ibadah yang rutin.
Eksplorasi Spiritual
Di era 80-an, Pesantren IMMIM termaktub sebagai lembaga pendidikan bergengsi. Di institusi ini, pelajar dibekali informasi ganda. Paham pengetahuan umum sekaligus andal ilmu agama. Sejatinya, Pesantren IMMIM betul-betul modern dalam arti sesungguhnya. Selain memadukan pelajaran umum serta khusus, juga fisik bangunan terkesan mentereng.
Pada 1980, saya berstatus santri kala nama Pesantren IMMIM menjulang menapak kemasyhuran. Menggumpal rasa bangga sebagai santri IMMIM.
Hidup di pesantren terasa memacu impuls eksistensial. Mengapa saya terdampar di sini. Mengapa harus berpisah dengan orangtua. Mengapa menjalani retret alias menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dunia. Mengapa mesti terasing di hermitage, tempat terpencil. Mengapa di pondok waktu berjalan dengan ritme yang lebih lambat? Mengapa fragmen kami dibatasi sampai titik terendah? Mengapa dorongan liar kami dikebiri dengan aturan. Mengapa santri dieksploitasi untuk belajar.
Bergaung represi eksistensial di tiap santri. Akibatnya, santri bermental kerupuk dengan pertahanan setipis selaput dara, niscaya mengalami kelelahan emosional. Ada kompleksitas persoalan yang tidak diketahui ujungnya. Tidak dipahami bagaimana untuk mengurai. Bagaimana terlepas dari kejenuhan yang tiap hari datang mementung semangat. Ini memicu keterasingan, kekecewaan, ketegangan serta sedikit kemarahan. Hingga, ada yang tersesat, ada yang menyerah.
"Saya ingin keluar dari pesantren! Saya mau keluar dari pesantren. Saya hendak keluar dari pesantren". Ini monolog internal bernada kelam yang diulang-ulang oleh santri frustrasi. Ia kalah bukan oleh krisis, melainkan kurang jitu beradaptasi. Hatta, ia bukan sekedar runtuh, namun, menghancurkan segenggam masa depannya.
Ma'had Fugitive atau santri murtad tak sanggup bertahan dalam lorong berliku. Tak seperti santri berlabel Intelectual Gladiator yang andal meracik pilihan agar terlepas dari jalan buntu. Santri yang game over scholar gara-gara kehabisan extra lives, memandang sistem jalur rumit secara lateral. Ia lupa memantik mata hatinya untuk menyelami labirin pesantren secara simbolis. Jalur berkelok banyak tersebut bukan untuk menjebak.
Labirin adalah perjalanan linier menuju kesadaran. Ini semacam pencarian jati diri menuju pencerahan. Film yang mendeskripsikan labirin sebagai pencarian identitas diri antara lain Pan's Labyrinth (2006), The Maze Runner (2014), The Secret Life of Walter Mitty (2013), Icarus and the Minotaur (2022) serta Into the Wild (2007). Jadi, labirin terkait dengan tantangan intelektual, terhubung dengan eksplorasi spiritual.
Paradoks Etika
Di Pesantren IMMIM, semua santri memiliki perspektif untuk berjaya. Apalagi, santri Aliyah punya kontrol untuk memperkuat identitas, termasuk kontrol atas proses belajar. Arkian, bisa menciptakan persona.
Dalam keterbatasan, naluri kerap mendorong untuk bertindak di luar batas logika. Norma minoritas ini jamak dilakukan oleh santri. Sebagai umpama, mencuri lauk teman di dapur. Biasanya maling ikan sudah punya niat sebelum waktu makan. Alhasil, begitu masuk dapur untuk santap siang atau makan malam, ia tinggal menjambret milik korban.
Perbuatan yang mengandung sedikit dosa ini, ibarat cultural leniency. Dalam budaya populer Amerika, cultural leniency merupakan sikap untuk menilai perbedaan secara toleran.
Masalah yang paling mendera di pesantren yakni hukuman. Di Pesantren IMMIM era 80-an, santri kelas I-IV, bakal mengalami depresi. Hari-hari suram nan mencekam pasti merasuk kalbu. Semua bermula bakda Isya tatkala nama-nama pelanggar diumumkan. Santri sontak merinding seolah hendak diterkam monster.
Momen selama lima menit pengumuman, ibarat menanti hukuman mati. Ini karena bergema dengan getaran mengerikan. Siapa yang namanya disebut, niscaya terkulai. Ia bagai kehilangan sepotong nyawa. Terasa bak raga dicabik dari jiwa. Akibatnya, napas tersengal-sengal laksana kekurangan oksigen. Perut terasa perih. Kaki bergetar kala beranjak dari masjid. Sebab, mereka segera dihukum secara fisik oleh qismul amni (seksi keamanan) serta mahkamah lugah (pengadilan bahasa). Ini dua departemen OSIS yang betul-betul biadab karena punya lisensi kekerasan. Arkian, kebrutalan adalah hal lumrah bagi santri pelanggar. Soalnya, qismul amni dan mahkamah lugah bertindak persis binatang. Tidak beda dengan kawanan anjing yang menggigit mampus mangsanya.
Geng qismul amni dan mahkamah lugah merupakan Dementor. Di film Harry Potter, makhluk mengerikan ini menyedot rasa bahagia, kenangan indah serta harapan. Ia lantas meninggalkan korbannya yang tertekan, sedih, putus asa dan kehilangan orientasi hidup. Aksi Dementor lebih menyayat hati dibandingkan santri yang ditinggalkan tunangannya saat akad nikah.
The Silent of the Lambs yang merupakan film klasik thriller psikologis akan kalah dengan suasana ketika santri pelanggar diadili. Di sini, teror verbal dan umpatan pedas yang mengiris kalbu dijamin menciptakan trauma berkepanjangan. Menjadi pengalaman stresful bertahun-tahun. Ini fearmongering yang memacu over-paranoid.
Kabar buruk di tengah jemaah santri menggelegar. Bergemuruh ibarat guntur yang menggema dari kepekatan hutan jati di Sidrap. Semua karena tindakan qismul amni serta mahkamah lugah yang teramat kurang ajar, direstui secara sahih oleh pimpinan kampus dan direktur pesantren. Afirmasi ini seolah mengonfirmasi jika santri badung paling matang dalam rasa sakit.
Saya ingin mengingatkan ke gerombolan qismul amni serta mahkamah lugah bahwa; "perbuatanmu tak akan lolos dari akibat!"
Tidak mengherankan bila sekarang ada rekan yang ingin membalas dendam. Ini sebagai katarsis untuk menutup lingkaran derita batin. Balas dendam adalah jalan ninja, purgatoria!
Bagi saya, balas dendam adalah perilaku terhormat. Balas dendam mutlak ditegakkan karena jiwa tidak bisa lagi menanggung kompromi. Korban-korban 40 tahun silam bereaksi gara-gara aksi keji qismul amni dan mahkamah lugah yang tiada lain Fir'aun Tamalanrea.
Kenanglah bahwa Maharasul Muhammad tidak pernah menegur Bilal bin Rabah serta Abdullah bin Mas'ud. Dendamnya tidak menguap seiring hawa kering yang melintas di dataran pasir Badar. Bilal menusuk-nusuk Umayah bin Khalaf dengan pedang seolah menumbuk gandum. Ibnu Mas'ud menetak sampai putus leher Abu Jahal. Dosa Umayah ialah menyiksa Bilal dengan bongkahan batu kolosus di gurun gersang. Dosa Abu Jahal yakni meninju wajah Mas'ud sampai bonyok di sisi Kabah ketika melantunkan sebait surah ar-Rahman.
Santri nakal sebagai golongan anti-ordo yang menentang keteraturan, harus diakui mengusik sistem yang mapan. Walau demikian, bukan berarti diperlakukan secara semena-mena ketika dihukum. Apalagi, yang menghukum mencerminkan paradoks etika. Seenaknya mengadili pelanggar, sementara ia sendiri melakukan pelanggaran serupa.
Nama-nama algojo qismul amni dan mahkamah lugah menjadi inskripsi trauma. Nama-nama tersebut menyimpan luka yang masih berdarah. Masih merah darahnya sampai kini.
Sisi pahit kehidupan santri barangkali bakal menjadi kisah-kisah pilu, hikayat kacau-balau yang berantakan atau mungkin saga perihal tumbuhnya cita-cita besar.
Spirit santri untuk berjaya adalah epos kolosal. Di sisi lain, muncul stigma perihal pemukulan secara bengis oleh qismul amni serta mahkamah lugah. Perbuatan bejat ini seolah pusat drama pilu dalam lakon kecil di pinggir panggung IMMIM.
Apakah spirit dan stigma ini realistis untuk dipuja atau dihujat? Pada esensinya, bukan bagaimana memandangnya secara realistis. Kita harus memutar haluan untuk memandang diri sendiri secara realistis setelah semua terjadi dalam labirin pesantren.