Rabu, 21 Mei 2025

Dalam Labirin Pesantren

 

 

Dalam Labirin Pesantren
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sejak kemerdekaan Indonesia pada Jumat, 17 Agustus 1945, label pesantren senantiasa menggetarkan di dunia pendidikan.  Pesantren alias ma'had (مَعْهَد) atau darul ulum (دار العلوم), serasa punya citra kosmik.  Mempesona bagai ledakan neuron sinkronisasi yang menggedor jiwa, memukau imajinasi.
     Di balik tembok-tembok pucat dengan cat yang melepuh.  Di balik pagar kawat berduri runcing yang bisa menindik kulit, ada gairah pembelajaran.  Bersemi denyut kehidupan spiritual.  Bergemuruh riak kehidupan intelektual.  Ada metode belajar yang khas.  Ada perjalanan batin yang melenakan.  Dipandu oleh ustaz-ustazah terbaik yang merupakan mercusuar keteladanan.  Dipantau oleh kiai karismatik yang berperan sebagai arsitek jiwa.
     Santri yang belajar di pondok-pondok spiritual identik dengan ilmu agama.  Ritual transendental tiada henti berdengung supaya santri bergelimang informasi langit.
     Santri senantiasa menjadi pusat perhatian jika ada pertemuan antarsiswa.  Ini berkat santri terkesan unik.  Keunikan ini mencakup aktivitas santri yang selaras jadwal shalat.  Apalagi, santri fasih merapal doa, menghafal hikmah, melantunkan zikir.
     Dalam bayangan siswa-siswi serta masyarakat, komunitas bersarung ini merupakan peziarah batin yang menggumamkan secara lirih teks-teks suci Ilahi.  Mereka menilai bahwa santri lebih banyak membaca kitab gundul yang minus harakat ketimbang menelisik teori fisika maupun rumus kimia.
     Bagi sebagian orang, santri ibarat gadis pingitan.  Sebab, diharamkan keluar kampus.  Santri menjalani kehidupan monastik yang jauh dari godaan dunia.  Akibatnya, meninggalkan kampus tanpa izin tergolong pelanggaran berat.  Ini dosa besar bagi santri.
     Menjadi santri bermakna mengemban keyakinan tak tergoyahkan.  Demi menggapai cita-cita, santri siap belajar siang-malam.  Mereka merupakan Academic Warrior.  Apalagi, santri punya survivalis pragmatis, sikap hidup yang fokus untuk bertahan.  Tidak berlebihan bila santri berseru bahwa; "we're on a mission from God".  Frasa ikonik ini diucapkan oleh Jake Blues (John Belushi) di film The Blues Brothers (1980).  Kalimat ini mendeskripsikan kegigihan menggapai cita-cita, kendati harus melanggar aturan.
     Selama enam tahun, santri direduksi menjadi instrumen mekanis yang tunduk pada otoritas sistem.  Hingga, terjadi transformasi jiwa-jiwa muda menjadi pribadi berilmu dan berakhlak.  Kabar baiknya, aturan pesantren begitu efisien.  Bahkan, efektif sebagai ambisi futuristik demi menjadikan santri sebagai spesies superior di berbagai bidang.  Ini merupakan proyek agung pesantren sebagai lumbung generasi Islam.
     Santri bukan sekedar darah serta tulang, melainkan data dan logika.  Mereka ditumpuk dalam sejumlah petak-petak kamar.  Data serta logika yang menjadi fondasi ontologis ini kelak membimbing santri.  Sebagai entitas pencari hakikat hidup, santri berkelana di tengah dataisme dan algoritma.  Semua berkat kemampuan untuk merenung sembari berinteraksi secara intens.  Hingga, andal menciptakan makna berazas logika biner di kerumunan kuasa kapital.
     Kapitalisme data tidak menjadikan santri menjadi sekedar pelajar dengan nuansa kental spiritualitas logika.  Santri bukan produk.  Mereka punya otonomi dan ruang publik sebagai bagian otentik pelajar.  Tak ada overproteksi yang membatasi pengalaman santri.
     Hidup di pesantren sebenarnya petualangan ala garden salad, hidangan yang ramai rasanya.  Terkadang seperti petualang mitologis Simbad dari dunia fantasy-oriental klasik.  Ada kalanya serupa petualang modern rasional Indiana Jones dari dunia pop-pulp modern.  Sesekali nyaris sama ikon spy-thriller James Bond dari dunia "kiss kiss and bang bang".  Di momen tertentu, mirip petualang wasteland punk Mad Max dari puing-puing dunia pasca-apokaliptik.
     Aktivitas di pesantren sarat gairah, bukan kehidupan tanpa ilusi.  Selalu ada keisengan.  Selalu ada seberkas kegilaan di sela-sela ritual ibadah yang rutin.

Eksplorasi Spiritual
     Di era 80-an, Pesantren IMMIM termaktub sebagai lembaga pendidikan bergengsi.  Di institusi ini, pelajar dibekali informasi ganda.  Paham pengetahuan umum sekaligus andal ilmu agama.  Sejatinya, Pesantren IMMIM betul-betul modern dalam arti sesungguhnya.  Selain memadukan pelajaran umum serta khusus, juga fisik bangunan terkesan mentereng.
     Pada 1980, saya berstatus santri kala nama Pesantren IMMIM menjulang menapak kemasyhuran.  Menggumpal rasa bangga sebagai santri IMMIM.
     Hidup di pesantren terasa memacu impuls eksistensial.  Mengapa saya terdampar di sini.  Mengapa harus berpisah dengan orangtua.  Mengapa menjalani retret alias menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dunia.  Mengapa mesti terasing di hermitage, tempat terpencil.  Mengapa di pondok waktu berjalan dengan ritme yang lebih lambat?  Mengapa fragmen kami dibatasi sampai titik terendah?  Mengapa dorongan liar kami dikebiri dengan aturan.  Mengapa santri dieksploitasi untuk belajar.
     Bergaung represi eksistensial di tiap santri.  Akibatnya, santri bermental kerupuk dengan pertahanan setipis selaput dara, niscaya mengalami kelelahan emosional.  Ada kompleksitas persoalan yang tidak diketahui ujungnya.  Tidak dipahami bagaimana untuk mengurai.  Bagaimana terlepas dari kejenuhan yang tiap hari datang mementung semangat.  Ini memicu keterasingan, kekecewaan, ketegangan serta sedikit kemarahan.  Hingga, ada yang tersesat, ada yang menyerah.
     "Saya ingin keluar dari pesantren!  Saya mau keluar dari pesantren.  Saya hendak keluar dari pesantren".  Ini monolog internal bernada kelam yang diulang-ulang oleh santri frustrasi.  Ia kalah bukan oleh krisis, melainkan kurang jitu beradaptasi.  Hatta, ia bukan sekedar runtuh, namun, menghancurkan segenggam masa depannya.
     Ma'had Fugitive atau santri murtad tak sanggup bertahan dalam lorong berliku.  Tak seperti santri berlabel Intelectual Gladiator yang andal meracik pilihan agar terlepas dari jalan buntu.  Santri yang game over scholar gara-gara kehabisan extra lives, memandang sistem jalur rumit secara lateral.  Ia lupa memantik mata hatinya untuk menyelami labirin pesantren secara simbolis.  Jalur berkelok banyak tersebut bukan untuk menjebak.
     Labirin adalah perjalanan linier menuju kesadaran.  Ini semacam pencarian jati diri menuju pencerahan.  Film yang mendeskripsikan labirin sebagai pencarian identitas diri antara lain Pan's Labyrinth (2006), The Maze Runner (2014), The Secret Life of Walter Mitty (2013), Icarus and the Minotaur (2022) serta Into the Wild (2007).  Jadi, labirin terkait dengan tantangan intelektual, terhubung dengan eksplorasi spiritual.

Paradoks Etika
     Di Pesantren IMMIM, semua santri memiliki perspektif untuk berjaya.  Apalagi, santri Aliyah punya kontrol untuk memperkuat identitas, termasuk kontrol atas proses belajar.  Arkian, bisa menciptakan persona.
     Dalam keterbatasan, naluri kerap mendorong untuk bertindak di luar batas logika.  Norma minoritas ini jamak dilakukan oleh santri.  Sebagai umpama, mencuri lauk teman di dapur.  Biasanya maling ikan sudah punya niat sebelum waktu makan.  Alhasil, begitu masuk dapur untuk santap siang atau makan malam, ia tinggal menjambret milik korban.
     Perbuatan yang mengandung sedikit dosa ini, ibarat cultural leniency.  Dalam budaya populer Amerika, cultural leniency merupakan sikap untuk menilai perbedaan secara toleran.
     Masalah yang paling mendera di pesantren yakni hukuman.  Di Pesantren IMMIM era 80-an, santri kelas I-IV, bakal mengalami depresi.  Hari-hari suram nan mencekam pasti merasuk kalbu.  Semua bermula bakda Isya tatkala nama-nama pelanggar diumumkan.  Santri sontak merinding seolah hendak diterkam monster.
     Momen selama lima menit pengumuman, ibarat menanti hukuman mati.  Ini karena bergema dengan getaran mengerikan.  Siapa yang namanya disebut, niscaya terkulai.  Ia bagai kehilangan sepotong nyawa.  Terasa bak raga dicabik dari jiwa.  Akibatnya, napas tersengal-sengal laksana kekurangan oksigen.  Perut terasa perih.  Kaki bergetar kala beranjak dari masjid.  Sebab, mereka segera dihukum secara fisik oleh qismul amni (seksi keamanan) serta mahkamah lugah (pengadilan bahasa).  Ini dua departemen OSIS yang betul-betul biadab karena punya lisensi kekerasan.  Arkian, kebrutalan adalah hal lumrah bagi santri pelanggar.  Soalnya, qismul amni dan mahkamah lugah bertindak persis binatang.  Tidak beda dengan kawanan anjing yang menggigit mampus mangsanya.
     Geng qismul amni dan mahkamah lugah merupakan Dementor.  Di film Harry Potter, makhluk mengerikan ini menyedot rasa bahagia, kenangan indah serta harapan.  Ia lantas meninggalkan korbannya yang tertekan, sedih, putus asa dan kehilangan orientasi hidup.  Aksi Dementor lebih menyayat hati dibandingkan santri yang ditinggalkan tunangannya saat akad nikah.
     The Silent of the Lambs yang merupakan film klasik thriller psikologis akan kalah dengan suasana ketika santri pelanggar diadili.  Di sini, teror verbal dan umpatan pedas yang mengiris kalbu dijamin menciptakan trauma berkepanjangan.  Menjadi pengalaman stresful bertahun-tahun.  Ini fearmongering yang memacu over-paranoid.
     Kabar buruk di tengah jemaah santri menggelegar.  Bergemuruh ibarat guntur yang menggema dari kepekatan hutan jati di Sidrap.  Semua karena tindakan qismul amni serta mahkamah lugah yang teramat kurang ajar, direstui secara sahih oleh pimpinan kampus dan direktur pesantren.  Afirmasi ini seolah mengonfirmasi jika santri badung paling matang dalam rasa sakit.
     Saya ingin mengingatkan ke gerombolan qismul amni serta mahkamah lugah bahwa; "perbuatanmu tak akan lolos dari akibat!"
     Tidak mengherankan bila sekarang ada rekan yang ingin membalas dendam.  Ini sebagai katarsis untuk menutup lingkaran derita batin.  Balas dendam adalah jalan ninja, purgatoria!
     Bagi saya, balas dendam adalah perilaku terhormat.  Balas dendam mutlak ditegakkan karena jiwa tidak bisa lagi menanggung kompromi.  Korban-korban 40 tahun silam bereaksi gara-gara aksi keji qismul amni dan mahkamah lugah yang tiada lain Fir'aun Tamalanrea.
     Kenanglah bahwa Maharasul Muhammad tidak pernah menegur Bilal bin Rabah serta Abdullah bin Mas'ud.  Dendamnya tidak menguap seiring hawa kering yang melintas di dataran pasir Badar.  Bilal menusuk-nusuk Umayah bin Khalaf dengan pedang seolah menumbuk gandum.  Ibnu Mas'ud menetak sampai putus leher Abu Jahal.  Dosa Umayah ialah menyiksa Bilal dengan bongkahan batu kolosus di gurun gersang.  Dosa Abu Jahal yakni meninju wajah Mas'ud sampai bonyok di sisi Kabah ketika melantunkan sebait surah ar-Rahman.
     Santri nakal sebagai golongan anti-ordo yang menentang keteraturan, harus diakui mengusik sistem yang mapan.  Walau demikian, bukan berarti diperlakukan secara semena-mena ketika dihukum.  Apalagi, yang menghukum mencerminkan paradoks etika.  Seenaknya mengadili pelanggar, sementara ia sendiri melakukan pelanggaran serupa.
     Nama-nama algojo qismul amni dan mahkamah lugah menjadi inskripsi trauma.  Nama-nama tersebut menyimpan luka yang masih berdarah.  Masih merah darahnya sampai kini.
      Sisi pahit kehidupan santri barangkali bakal menjadi kisah-kisah pilu, hikayat kacau-balau yang berantakan atau mungkin saga perihal tumbuhnya cita-cita besar.
     Spirit santri untuk berjaya adalah epos kolosal.  Di sisi lain, muncul stigma perihal pemukulan secara bengis oleh qismul amni serta mahkamah lugah.  Perbuatan bejat ini seolah pusat drama pilu dalam lakon kecil di pinggir panggung IMMIM.
     Apakah spirit dan stigma ini realistis untuk dipuja atau dihujat?  Pada esensinya, bukan bagaimana memandangnya secara realistis.  Kita harus memutar haluan untuk memandang diri sendiri secara realistis setelah semua terjadi dalam labirin pesantren.


Minggu, 27 April 2025

Sidak Pesantren IMMIM

 

 

Sidak Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Aturan merupakan landasan untuk mendisiplinkan diri.  Ini akan membuat orang merasa nyaman, tenteram sekaligus sejajar.  Tanpa aturan, maka, yang ada hanya kekacauan.
     Aturan bukan cuma satu, namun, banyak.  Bahkan, beragam sesuai konteks, komunitas maupun periode waktu.  Ada aturan harian, ada pula berkala.
     Aturan harian bagi siswa-siswi yakni saban hari ke sekolah untuk belajar.  Aturan berkala biasanya menyangkut non-akademik.  Misalnya, siswa baru membersihkan musalah atau kelas.
     Aturan harian serta aturan berkala acap dikejutkan dengan inspeksi mendadak (تَفْتِيش مُفَاجِئ).  Siapa siswa yang tidur di kelas sewaktu berlangsung pelajaran.  Siapa yang cuma mengobrol saat diperintahkan membersihkan musalah atau kelas.
     Inspeksi mendadak (sidak) merupakan pemeriksaan atau pengawasan tiba-tiba.  Hingga, mengagetkan karena tiada pemberitahuan sebelumnya.
     Cristiano Ronaldo beranggapan bahwa sidak merupakan peluang untuk membuktikan diri.  Bahkan, menunjukkan kemampuan kita.
     Sidak merupakan kontrol kualitas guna mengevaluasi kondisi nyata.  Ini untuk memperoleh gambaran real-time perihal suasana sesungguhnya tanpa persiapan khusus.
     Sidak yang termaktub dalam sejarah bermula dari Kaisar Qin Shi Huang (221-206 sebelum Masehi).  Ia mengaplikasikan sidak demi memastikan kepatuhan birokrasi sekaligus standar di seluruh kekaisaran.
     Dalam manajemen Islam. pemimpin diimbau melakukan sidak.  Ini demi mencegah penyimpangan.
     Menurut Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Zayed bin Sultan an-Nahyan, sidak merupakan modus guna memastikan orang tidak terlena dengan rutinitas harian.
     Di film-film Hollywood, kerap terdengar "I want a full sweep, now!"  Ini perintah tegas dalam menjalankan inspeksi menyeluruh secara langsung.
     Jangan bandel.  Soalnya, pelaku surprise inspection kebal hukum untuk sesekali melanggar aturan.  Hatta, suaranya menggelegar dengan nada serius dan otoritatif sebagai legitimasi tindakan sidak.  "Open it.  I don't care what the protocol says".
     Tujuan sidak ialah memastikan kepatuhan terhadap aturan atau perintah.  Pepatah Arab berbunyi; "memeriksa secara langsung meningkatkan keterikatan".  Sementara Socrates bersabda bahwa hidup yang tidak diperiksa tak layak dijalani.  The unexamined life is not worth living.
     Di Pesantren IMMIM, sidak alias pemeriksaan merupakan prosedur pembina serta guru yang paling menakutkanku.  Pada 1980 saat kelas satu, dua kali diadakan pemeriksaan di kamar 2 rayon Datuk Ribandang.  Saya tidak tahu, apakah di kamar lain juga ada pemeriksaan oleh pembina dan guru.  Maklum, kamarku dihuni santri bandel.  Sidak yang sekoyong-konyong dilakukan untuk mengetahui kondisi nyata, membuat santri tak kuasa memanipulasi situasi.  Tak ada persiapan untuk menyembunyikan barang haram versi pesantren.
     Sidak pertama pada 1980, terjadi di tengah malam.  Saya dibangunkan untuk merapikan kembali isi lemariku yang berantakan.
     "Ada apa?"
     "Ada pemeriksaan".
     Pembina pesantren mencari barang-barang yang tidak sesuai aturan.  Sebagai umpama, radio.  Radio adalah barang haram di pesantren.
     Ada sejumlah santri senior membawa badik.  Ini yang gawat.  Benda mematikan ini disembunyikan di buku tebal.  Kitab tersebut dilubangi bagian dalamnya sesuai ukuran badik.  Buku yang digunakan yaitu Biologi jilid 3 untuk siswa kelas III.
     Pemeriksaan kedua berlangsung pada pagi sebelum mata pelajaran dimulai.  Kami baru saja hendak ke kelas ketika disuruh tinggal sebentar.
     Jantung gedebak-gedebuk.  Situasi apalagi ini?  Terkenang film Mandarin.  Segerombol orang berwajah dingin mengepung sebuah rumah.  "这是临时命令" (zhè shì línshí mìnglìng), ini perintah dadakan.  Frasa menakutkan ini menunjukkan bila tindakan yang dilakukan adalah resmi serta sah tanpa syarat.
     Dua sidak selama kelas satu menjadi trauma bagiku selama di pesantren.  Ini lantaran sejak kelas II sampai VI, saya selalu membawa radio tape recorder dengan hampir 100 kaset.  Bukan hanya radio, tiap pekan saya membeli majalah.  Ada Vista, Ria Film, Team, Variasi, Varianada, Hai dan koran Pos Film.  Majalah serta surat kabar merupakan barang haram di pesantren.
     Ketakutanku kian menganga kala menulis diari saat kelas III.  Saya gelisah tingkat dewa jika membayangkan buku harianku disita gara-gara pemeriksaan.  Catatan pribadi itu niscaya diforensik oleh pimpinan kampus.  Isinya pasti membuat seluruh pembina dan guru geleng-geleng kepala.
     Sekali peristiwa saat kelas V, saya dibisik oleh Mantang, kepala koki untuk peserta pelatihan dari luar kota.  Menurutnya, akan ada pemeriksaan asrama oleh pembina serta guru.  Saya langsung sibuk karena dilanda kengerian.  Menyembunyikan radio dan majalah di kamar Mantang di aula.
     Aman?  Tidak!  Radio tape recorder milikku yang sebesar bantal bayi, rupanya disandera pimpinan kampus.  Ini akibat pembina curiga.  Dari mana Mantang bisa punya radio?  Mendengar radioku direbut, saya mengumpat-umpat, bersungut-sungut.  Menyesali hidup di pesantren.
     Informasi tentang pemeriksaan yang disampaikan oleh Mantang, tidak terbukti.  Boleh jadi pembina mengendus kalau rencana tersebut bocor.
     Saya mulai bernafas lega setelah tiba Februari 1986.  Sebelum ujian nasional, semua barangku sudah dibawa ke rumah.  Barang yang tersisa tinggal baju sekolah serta buku harian.
     Pemeriksaan alias sidak di Pesantren IMMIM, senantiasa memicu jantung berdetak kencang.  Pemeriksaan betul-betul merupakan ujian nyali yang benar-benar tidak siap saya hadapi.  Pasalnya, saya  santri yang paling banyak memiliki benda yang tidak punya legalitas.  Semua bayang kengerian, akhirnya sirna setelah tamat.


Senin, 07 April 2025

Ketakutan di Pesantren IMMIM

 

 

 

Ketakutan di Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Ketakutan (خَوْفٌ) adalah sesuatu yang manusiawi.  Semua orang punya rasa takut.  Semua orang pernah ketakutan.
     Rasa takut merupakan respons alami.  Ini memacu mekanisme pertahanan diri.  "Terkadang, takut merupakan respons yang tepat", begitu sebuah kalimat tergiang di The Batman (2022).
     Perasaan takut memaksa orang untuk menghindar.  Ini alasan biologis sebagai insting guna bertahan hidup.
     Di film Dune, ketakutan dideskripsikan sebagai pembunuh pikiran.  "Fear is the mind-killer".
     Ketakutan sirna seiring waktu.  Sementara orang tangguh andal memadamkan ketakutan dengan menata emosi.  Apalagi, ketakutan adalah landasan keberanian.
     "Kau tak bisa jadi pemberani jika belum pernah takut", The Mummy (1999).  Seberani apa pun, orang pasti punya perasaan gentar yang menggedor nyali.
     Di Pesantren IMMIM era 80-an, perasaan takut muncul dengan berbagai alasan.  Paling bejibun yakni santri takut dihukum.  Apalagi, hukuman fisik.
     Saya paling sering kena hukuman.  Ini gara-gara pelanggaran teramat banyak.  Sekali waktu, pimpinan di pesantren menguji coba santri badung tinggal seatap dengan pembina.  Saya yang kelas IV bersama Mukbil kelas III, menjadi kelinci percobaan.  Kami tinggal bersama ustaz Abdul Kadir Massoweang, wakil pimpinan kampus serta kyai Abdul Kadir Kasim.
     Uji coba ini gagal total.  Bukannya insaf, saya dengan Mukbil justru kian beringas.  Apalagi, banyak pelanggaran yang tak terdeteksi oleh pembina.  Saya sering mengelabui duo Kadir.  Algojo-algojo keji qismul amni (seksi keamanan) juga tidak berani memonitor ke Mes Guru.  Hingga, saya bersama Mukbil merasakan kebebasan tiada tara.  Mes Guru yang terletak di Jalan Bugis merupakan tempat kami dikarantina.
     Bukti bahwa uji coba mengalami kegagalan ekstrem ialah Mukbil.  Kala kelas V, ia dipecat akibat aneka pelanggaran berat.  Saya selamat.  Padahal, pelanggaranku lebih banyak.  Entah jimat apa yang saya pakai.
     Sesungguhnya, ketakutan saya di Pesantren IMMIM bukan hukuman fisik.  "Ketakutan hanyalah perasaan.  Tidak nyata", ini kata-kata di film After Earth (2013).
     Tatkala kelas satu, saya memang gentar dengan qismul amni serta mahkamah lugah (pengadilan bahasa).  Siapa tidak menceret-menceret, pelanggar bonyok didera bogem mentah.  Saat eksekutor beraksi, lampu di ruang penyiksaan dipadamkan.  Santri pun jadi samsak hidup.  Menjadi sasaran empuk pukulan maupun tendangan.  Jika bermental kerupuk, santri cuma bertahan satu semester di Pesantren IMMIM.
     Nama yang hampir saban malam diumumkan sebagai pelanggar, membuatku mati rasa.  Dari hari ke hari, hukuman fisik tidak mencederai ragaku, namun, mengendap menjadi dendam.
     Luka batin oleh dendam selaras kutipan di Star Wars: Episode I (1999).  "Ketakutan menuntun pada amarah, amarah menuntun pada kebencian, kebencian menuntun pada penderitaan".
     Pada hakikatnya, ada satu perkara yang membuatku senantiasa ketakutan di Pesantren IMMIM.  Ini saya alami sampai memasuki tarikh 1986.  Persoalan tersebut yaitu ilusi tentang pertukaran kampus.  Saya sering dilanda galau bila membayangkan santriwan bertukar kampus dengan santriwati.
     Kalau santri dipindahkan ke Minasatene, otomatis saya menganggur melakukan pelanggaran.  Mustahil leluasa kabur ke bioskop.  Jarak bioskop dengan Minasatene mencapai 55 km.  Naik mikrolet (petepete) bisa sampai dua jam.  Olala.
     Bila putra ditempatkan di Minasatene, maka, saya tak bisa nonton midnite show.  Pertunjukan selepas pukul 00.00, biasanya memutar film baru yang berbeda sepekan dengan pemutaran di bioskop Amerika.
     Pertukaran kampus bukan hanya masalah bioskop.  Saya juga kesulitan ke Sentral untuk membeli majalah serta surat kabar.  Selama di pesantren, saya selalu membeli Vista, Variasi, Ria Film, Team serta Varianada.  Ini majalah yang mengulas film, rock dan selebritas.  Saya juga beli Pos Film, koran perihal artis-artis.  Nonton di bioskop serta menyimak majalah film betul-betul gue banget.  Momen-momen indah inilah yang membuatku ketakutan setengah mati bila terkenang pertukaran kampus.  Ketakutan tersebut bagai memenjarakanku.  "Fear can hold you prisoner", sebuah ungkapan menggema dari The Shawshank Redemption (1994).
     Saya pernah curhat ke seorang rekan.  Ia tertawa.  Menurutnya, itu muskil, mengada-ada.  Wejangannya bagai diksi dari film Chhapaak (2020).  "Dar se jeene ka kya faida?  Zindagi jeene ke liye hoti hai, darr ke liye nahi" (Apa guna hidup dalam ketakutan?  Hidup untuk dijalani, bukan ditakuti).
     Kendati sahabat tersebut berusaha meyakinkanku, tetapi, tetap pertukaran kampus membuat waswas.  Jantung berdegup kencang memikirkannya.
     Band eksperimental El Morabba3 dari Saudi bersenandung: "الخوف يسكنني مثل الوحوش في الظلام" (ketakutan berdiam dalam diriku laksana monster di kegelapan).
     Pertukaran kampus antara putra dengan putri, niscaya melahirkan budaya baru.  Muncul tradisi di luar perkiraan di area asing.  Tidak berlebihan pula bila santri merasa disingkirkan oleh santriwati.  Sebab, mereka menyerobot rumah kenangan santri, rumah yang sarat suka-duka.
     Ilusi yang melahirkan ketakutan itu tidak pernah terealisasi.  Ketakutan tersebut pada esensinya dapat menjadi landasan untuk berbenah.
     "Hal yang paling ditakuti mungkin yang paling dibutuhkan", sebuah nasehat terdengar di How to Train Your Dragon (2010).


Sabtu, 15 Maret 2025

Nama Misterius

 

 

Nama Misterius
Oleh Abdul Haris Booegies


     Nama merupakan identitas diri yang wajib ada bagi orang.  Tanpa memiliki nama, seseorang bakal repot berinteraksi.  Terjadi kekakuan dalam komunikasi akibat tiada identifikasi.
     Nama punya banyak fungsi, termasuk agama dan geolokasi.  Dari nama, kita bisa tahu orang ini Muslim atau bukan.  Sebagai umpama, orang bernama Muhammad atau Ahmad tentu bisa dipastikan ia Muslim.
     Orang bernama Mustari, Ambo Upe, Ambo Tuwo atau Isakka menunjukkan mereka beretnis Bugis.  Sementara orang yang bernama John atau Kelly biasanya berambut pirang bermata biru.  Dari nama, mereka bisa dilacak lewat geolokasi.  Semutakhir apa pun budaya Bugis, kita muskil menemukan mereka menggunakan nama Apache, Cherokee, Mohawk, Mohican atau Sioux.  Ini nama Indian yang berlokasi di benua Amerika.
     Banyak yang tidak menyangka bahwa dalam sejarah Islam, ada nama jadi-jadian.  Sialnya, nama ini menyasar ke tafsir al-Qur'an.  Penceramah doyan mengumandangkan nama-nama misterius ini untuk memperkaya narasinya.
     Nama pertama yang sering muncul yakni "Hawa" atau nyonya Nabi Adam.  Tiada satu pun Hadis berstatus shahih yang pernah menukil nama ini.  Ini nama palsu!  Siapa yang memasukkannya ke sejarah Islam?  Siapa yang mengintegrasikan nama ini ke tafsir?
     Nama kedua yang mengotori tafsir yaitu "Zulaikha", ibu angkat Nabi Yusuf al-Karim.  Bila mendengar surah Yusuf, tentu terbayang wanita molek yang hendak mencicipi daun muda.
     Persepsi kita terbentuk bahwa perempuan yang merindukan Nabi Yusuf adalah wanita seksi nan anggun.  Ia istri pembesar.  Tinggal di istana dengan ratusan dayang.
     Siapa sangka, Zulaikha adalah nama gadungan.  Sampai sekarang, nama ibu angkat Nabi Yusuf tersebut belum terdeteksi.  Belum ada prasasti dari Piramida yang menyodorkan nama asli cewek glamor ini.
     Nama ketiga yang merupakan polusi dalam tafsir ialah "Ratu Balqis" alias "Bilqis".  Tiada satu pun Hadis berderajat shahih yang menunjukkan jika Ratu Saba bernama Balqis.
     Dari mana nama siluman ini?  Patut diduga ini bersumber dari cerita Israiliyat yang sarat dusta.  Ulama-ulama klasik yang belum dilengkapi smartphone akhirnya memasukkannya ke kitab-kitab karyanya, termasuk tafsir.
     Dua nama yang juga sering terdengar yakni "Qabil" dan "Habil".  Dalam buku-buku tafsir serta sejarah para nabi, nama Qabil maupun Habil senantiasa muncul.  Padahal, tidak ada satu pun referensi dari Maharasul Muhammad bahwa dua putra Nabi Adam bernama Qabil dan Habil.
     Dari mana semua nama sesat ini?  Boleh jadi ini bersumber dari teks keagamaan Yahudi serta lembaran Biblikal.


Urus Keluargamu



 

Urus Keluargamu
Oleh Abdul Haris Booegies


"Why don't you take care of your own family?"
     Apa hikmah Abu Thalib tetap kafir sampai akhir hayat?  Kalau saja Abu Thalib masuk Islam, niscaya tiada lagi pelindung Maharasul Muhammad.  Sebab, bukan cuma Rasululllah yang diserang preman-preman Mekah.  Abu Thalib pasti ikut diteror siang-malam oleh mafia Quraisy.
     Majusi modern yang membajak idiom-idiom Islam berpendirian bahwa Abu Thalib itu Muslim.  Ia bersyahadat tatkala sakratulmaut.  Mulutnya komat-kamit.  Siapa yang mendengarnya?  Di momen itu, Maharasul Muhammad yang paling dekat dengan pamannya.
     Ketika Abu Thalib mangkat, Ali bin Abi Thalib tidak memperoleh warisan.  Pasalnya, Muslim dilarang menerima warisan dari orangtua kafir.
     Di suatu kesempatan di Medinah, Maharasul Muhammad duduk bersama Hamzah.
     "Apa pertolonganmu untuk Abu Thalib yang mati-matian mendukungmu?"
     "Ia ada di pinggir Neraka.  Api hanya membakar telapak kaki sampai tumitnya".

"Why don't you take care of your own family?"
     Kelak, di satu masa, orang juga bakal mempersoalkan putra Nabi Nuh yang mati tenggelam.  Di tengah gelombang sebesar gunung, Nabi Nuh menyaksikan buah hatinya ditelan laut.
     Orang-orang keblinger yang tidak paham hikmah kisah samawi ini, akan menggugatnya.  Mengapa ada kematian yang begitu kejam di depan mata Nabi Nuh.
     Warga pelangi makin hari kian menampakkan taring kekuasaan.  Ini tentu akan membuat mereka memperdebatkan istri Nabi Luth.  Mengapa ia mati secara tidak terhormat?  Padahal, ia cuma membantu kawanan LGBT untuk bersenang-senang.

"Why don't you take care of your own family?"
     Di Unfaithful (2002), terjadi cekcok antara Edward Sumner (Richard Gere) dengan Charlie (Erik Per Sullivan).  Tidak sudi ditegur, Charlie pun dengan lantang memekik; "why don't you take care of your own family?"
     Ini membuat Edward terpana.  Ia tercenung.  Ada apa dengan istrinya?  Rupanya, Charlie sempat memergoki Connie Sumner (Diane Lane) bercumbu mesra dengan Paul Martel (Olivier Martinez).
     Apakah jika Abu Thalib mualaf, maka, seluruh keturunanmu Muslim sampai Kiamat?  Tidak ada yang murtad.  Apakah bila mempersoalkan anak Nabi Nuh, maka, putra-putrimu tidak ada yang durhaka?  Apakah kalau kau meratapi  istri Nabi Luth, maka, binimu bisa menjaga kehormatan?  Bagaimana jika ia serupa Connie?  Rela ditumbuk-tumbuk pria idaman lain.
     Urus saja keluargamu supaya tidak terpelanting ke jurang Neraka.  Tak usah mengurus beban sejarah.  Tak perlu mencampuri yang sesungguhnya bukan masalahmu.  Memangnya kau siapa!  Urus dirimu!  "Why don't you take care of your own family?"


Sabtu, 22 Februari 2025

Syafaat

 

Syafaat
Oleh Abdul Haris Booegies


     Hampir tiap hari kata "syafaat" terdengar.  Istilah ini bisa diterjemahkan sebagai pengampunan dari Allah lewat wakil khusus.  Syafaat merupakan rekomendasi dari makhluk suci yang bisa mengintervensi takdir di Akhirat.  Mereka punya kedudukan tinggi di sisi Allah.  Hingga, pedosa yang sudah disiksa, bisa ditarik kembali ke pinggir Neraka.  Kasus ditutup, hukuman dibatalkan.
     Ada seuntai salah pemahaman perihal syafaat.  Seolah seluruh insan di Padang Mahsyar membutuhkan syafaat.  Padahal, syafaat cuma dikejar-kejar oleh sekumpulan tersangka.  Mereka galau level gigantik gara-gara mafhum nasibnya berakhir di api yang berkobar meluap-luap.  Sementara dua kafilah yang tidak butuh syafaat yaitu orang mati syahid dan manusia dengan iman tebal.  Dua grup ini kokoh di Mahsyar tanpa perlu bantuan secuil pun.  Sesungguhnya, ada lagi himpunan yang tidak meminta syafaat.  Mereka adalah begundal kafir serta kaum munafik.  Mereka berputar-putar di Mahsyar karena bingung akibat dosa-dosa.
     Gerombolan keblinger berlomba-lomba menemui sejumlah makhluk kudus pemberi syafaat.  Di antara pemberi syafaat yang paling dicari ialah Maharasul Muhammad dan Jibril, kepala suku segenap malaikat.  Selain Rasulullah dengan Jibril, juga bertindak selaku pemberi syafaat dari kalangan malaikat yakni Mikail, Ridwan, Malik, Munkar serta Nakir.  Beberapa rasul ikut pula berlakon sebagai pemberi syafaat, termasuk Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa.  Bahkan, syuhada yang wafat demi membela Allah bersama golongan orang saleh dapat menjadi pemberi syafaat.
     "Tiada yang dapat memberi syafaat kecuali atas izin Allah" (al-Baqarah: 255).
     Tugas pemberi syafaat antara lain memohonkan ampun untuk para pedosa.  Membela begundal-begundal yang berkhianat kepada Allah.  Bahkan, pemberi syafaat enteng mengintervensi keputusan yang diteken oleh Malik, bos Neraka.  Alhasil, bisa mengurangi durasi hukuman atau pembebasan tanpa syarat.
     Untuk menghadap ke Maharasul Muhammad demi meminta syafaat, jelas tidak mudah.  Jutaan orang antre.  Tatkala tiba giliran, belum tentu Rasulullah mengabulkan permohonan.
     "Ya, Rasulullah.  Dulu di dunia saya memakai emas", rintih seorang pemuda.
     "Saya sudah melarangmu!"
     Maharasul Muhammad telah berwasiat bahwa laki-laki tak diperkenankan mengenakan emas.  Sekarang ada anak muda yang ketakutan lantaran mendengar namanya tertera di lis calon penghuni Neraka akibat memakai emas.
     Pria model begini jelas tidak memperoleh syafaat.  Sudah disampaikan supaya jangan memakai emas, ternyata masih nekat.  Sok-sokan bergaya bak putra mahkota.  Kini, rasakan Neraka!
     Hari ini, paksakan diri untuk shalat, mengaji seraya berbuat baik.  Jangan mau mencari syafaat di Mahsyar.  Jadilah insan saleh agar berpeluang sebagai pemberi syafaat yang berada di belakang Maharasul Muhammad serta Jibril.


Kamis, 13 Februari 2025

Tempat Terlama

 

Tempat Terlama
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sekitar tahun 5872 sebelum Masehi, Nabi Adam menjejakkan kaki di Bumi.  Jika ia berusia 930 tahun, berarti sudah hampir 6.967 tahun dalam kubur.  Maharasul Muhamnad mangkat pada tahun 632.  Ini berarti di tarikh 2025, Rasulullah telah meninggalkan dunia selama 1.393 tahun.
     Dari sini diketahui kalau kubur tergolong area terlama yang dihuni manusia.  Sesudah kubur, distrik berdurasi panjang yakni Padang Mahsyar.  Di sini manusia berkumpul dalam keadaan bugil belum disunat, sekalipun pernah dikhitan di dunia.  Mereka berdiri menunggu selama 50 ribu tahun untuk diadili.  Kepanasan oleh Matahari yang berjarak 5 km dari kepala.  Hatta, sulit bernapas.  Bahkan, ada manusia tenggelam oleh keringat sendiri yang setinggi 70 hasta (36,75 meter).
     Nabi Sulaiman termasuk teramat lama diinterogasi.  Butuh waktu 2000 tahun untuk mendata seluruh kekuasaan sembari mengecek sumber kekayaannya.
     Dari sini kita memetik pelajaran perihal Maharasul Muhamnad.  Menjelang wafat, ia tak mau ada uang yang dimilikinya.  "Apa kata Tuhanku bila ada uang di tanganku", rintihnya.
     Hidup fakir sesungguhnya cara cepat untuk dihisab.  Sebab, apa mau diperiksa oleh hakim-hakim langit jika berstatus miskin.  Hingga, Pengadilan Akhirat membebaskan kaum papa untuk segera masuk ke Surga.


Amazing People