Kasino Pesantren
Oleh Abdul Haris Booegies
Dalam pandangan orang luar, pesantren identik aturan spartan. Mereka beranggapan bahwa kehidupan santri berdisiplin tinggi mirip militer. Songkok serta sarung mutlak dikenakan saban waktu. Hati wajib suci seraya kepala menunduk untuk berdoa.
Bagi santri, hidup di pesantren bukan kutukan, tetapi, keberuntungan. Ada secercah tekad untuk bebas menentukan nasib. Sebagai umpama, ada santri IMMIM memiliki kebebasan yang penuh gairah ketimbang siswa sekolah umum. Misalnya saja, serombongan santri Tsanawiyah kerap nonton midnight show di malam Ahad. Mereka kabur dari kampus bakda Magrib untuk bergentayangan di bioskop. Usai pertunjukan selepas pukul 01.00, jemaah ini pun balik ke pesantren. Kalau beruntung, ada mikrolet (petepete) yang bisa ditumpangi. Jika peruntungan muram, maka, berjalan kaki adalah pilihan.
Apa sesungguhnya yang dilakukan santri IMMIM, khususnya santri nakal kalau malam pada 1982? Di tahun ajaran 82/83, saya terdaftar sebagai santri kelas III. Ditempatkan di kamar II rayon Pangeran Diponegoro. Pembina kamar yakni Kurnia Makkawaru (kelas VI), dan Taufik Bahar (kelas V).
Pukul 22.00, para santri ke kamar setelah belajar, cerita atau bermain di kelas. Ada pula ke beranda masjid nonton Dunia Dalam Berita. Usai Dunia Dalam Berita, santri diimbau ke kamar masing-masing bila tak mau dapat resiko berupa hukuman. Santri kelas V serta VI menjadi pengecualian. Mereka bebas nonton sampai acara TVRI khatam sekitar jam satu tengah malam.
Sesudah belajar di kelas atau bergosip, ada pula rombongan santri ke warung di pasar tradisional. Pasar terletak di depan Pesantren IMMIM. Santri melewati jalan setapak sekitar 20 meter untuk masuk ke area pasar yang berada di belakang Bharata. Ada tiga warung yang masih buka, termasuk milik Tante Om, makhluk pelangi.
Santri yang ke pasar rata-rata anak Aliyah. Ada juga santri Tsanawiyah yang berstatus bandel. Di warung, santri menikmati minuman soda atau limun. Harga per botol Rp 150. Tersedia pula sarabba yang dibanderol Rp 100. Sedangkan aneka kue yang mulai basi berharga Rp 25. Minuman lain yang terhidang yaitu kopi susu. Saya tidak tahu berapa harga kopi susu. Ini luput saya catat di buku harian.
Setelah mengaso di warung sekitar 30 menit atau satu jam, santri pun pulang. Santri yang tiba di kamar, ada yang langsung tidur. Ada pula main kartu.
Permainan kartu yang sering dilakukan di kamar II asrama Diponegoro yakni "jenderal". Permainan ini mirip domino, kartu besar memakan kartu kecil. Jangan kaget, kamar II senantiasa riuh di tengah malam. Bahkan, santri badung dari kamar lain ikut nimbrung. Ada empat grup yang main secara bersamaan. Tiap grup terdiri empat orang.
Saya sempat berseloroh bahwa kamar II rayon Diponegoro adalah kasino terbesar di Pesantren IMMIM. Kami pernah main jenderal dari pukul 22.00 sampai pukul 04.00. Letih sekaligus lemas membuatku tidur di kolong ranjang Taufik, pembina kamar. Berharap tidak dibangunkan untuk ke masjid oleh piket malam maupun anggota qismul amni (seksi keamanan). Piket tidak berani membangunkan kelas V dan VI. Malang nian nasibku, Akmal Hasan yang ketua rayon mengendus tempat persembunyianku. Sudah enak tidur pakai kolor. Tak dinyana Jaka Sembung datang bawa golok.
Kami senang main jenderal karena taruhannya berupa hukuman. Terkadang yang kalah harus rela karena di kepalanya ditaruh bantal. Ada pula hukuman berupa menjentik jari. Hukuman paling ringan yakni kocok kartu.
Pada Selasa, 4 Januari 1983, saya kewalahan main jenderal. Pukul 00.00, saya tidur karena capek mengocok kartu. Saya kalah terus. Akibatnya, tanganku pegal. Begitulah kehidupan primitif santri yang belum mengenal gadget.