Senin, 17 April 2023

Menulis di Media


Menulis di Media
Oleh Abdul Haris Booegies


     Menulis di surat kabar dan majalah menjadi impian banyak insan.  Ini karena nama riuh dibincangkan berkat ide-ide yang diproduksi.  Kalau artis jago akting, maka, penulis jago gagasan.
     Pada 1989 saat mahasiswa, teman-teman meledek saya.  Semua bermula ketika Ahmad Muflih Saefuddin menyampaikan kuliah umum di auditorium Unhas.  Ia merupakan cendekiawan Muslim sekaligus mantan rektor Universitas Ibnu Khaldun, Bogor.  AM Saefuddin juga kerap menulis di media nasional.
     Di tengah ceramahnya, AM Saefuddin menyebut namaku terkait Salman Rushdie.  Saya memang sempat menulis tentang Salman Rushdie di Panji Masyarakat.
     Banyak sahabat terpingkal-pingkal.  Mereka takjub campur geli karena AM Saefuddin tahu namaku. "Memangnya apa ilmumu sampai kau disebut tokoh dari Jakarta".
     Setahun selanjutnya, seorang pria berusia sekitar 60 tahun datang ke rumahku di Jalan Veteran Selatan.  Saat menyadari saya orang yang dicarinya, ia heran.  Matanya penuh selidik memandangku dari kepala sampai kaki.
     "Ini Haris Bugis yang sering menulis di Panji Masyarakat?"
     "Ya", jawabku malu-malu.
     "Saya kira Haris Bugis itu setua Kiai Sanusi Baco".  Ia kemudian mengelus-elus kepala, pundak serta lenganku.
     Kami lantas berbincang-bincang.  Di luar dugaan, ada putrinya di Fakultas Sastra Unhas.  Ternyata saya sama di jurusan Sastra Perancis.
     Saya berdandan di depan cermin.  Musababnya, malam ini dipanggil ke kantor redaksi Tribun Timur.  Data diri saya dibutuhkan untuk menghadiri gathering night Tribun Timur di Score, Mal Panakkukang pada Sabtu, 10 Februari 2007.  Undangan untuk hadir di rangkaian ulang tahun media ini berkat aktif mengirim makalah.  Sekitar 50 artikelku terpublikasi di Tribun Timur.
     Ketika bersolek, terdengar gurau anak.
     "Tak usah bergaya karena bukan artis".
     "Saya justru selebritas, pesohor koran", jawabku enteng.

Inovasi
     Anugerah berupa keandalan menulis tidak dimiliki banyak orang.  Populasi penulis hanya  organisme minim di Bumi.  Tak dapat pula dielakkan bahwa mayoritas penulis cuma jago kandang.  Mereka menulis di surat kabar lokal daerahnya.  Jarang yang berkiprah di media nasional terbitan Ibu Kota.  Maklum, persaingan teramat ketat.
     Tatkala artikel-artikelku terpublikasi di Pedoman Rakyat di awal karier jurnalistik, saya mencoba peruntungan di Panji Masyarakat.  Ini majalah besar yang berskala nasional.  Bahkan, beredar di luar negeri.  Di Panji Masyarakat, bercokol penulis-penulis level sultan.
     Saya lalu mencari varian jitu untuk menembus Panji Masyarakat.  Sebagai mahasiswa sastra, saya punya dasar perihal estetika kata.  Dari sini saya mengendus bahwa ada teknik mengarang yang betul-betul segar.  Metode tersebut yakni sinonim.
     Sebagai umpama di wacana berikut.  "Saya harus rajin agar pintar.  Kamu juga harus rajin agar pintar".  Di sini terlihat empat muradif yang elok diubah.  "Harus", "rajin", "agar" dan "pintar".
     Bila memaksimalkan penggunaan sinonim, maka, hasilnya terkesan atraktif.  "Saya harus rajin agar pintar.  Kamu juga mesti tekun supaya cerdas".
     "Harus" berubah "mesti".  "Rajin" menjadi "tekun".  "Agar" menjelma "supaya".  "Pintar" bermetamorfosis sebagai "cerdas".  Morfem dalam satuan bahasa berubah, namun, makna 100 persen secorak-sewarna.  Padanan kata menggerus sifat kalimat yang monoton.  Ini menjadi kekuatan tulisan.  Pasalnya, mencuat variasi yang begitu terasa di kalbu.  Ada sensasi yang membuat pembaca hanyut kala menyimaknya.
     Eksploitasi muradif dalam menulis belum pernah saya temukan di buku-buku atau pelatihan-pelatihan.  Inilah yang memantik untuk mendayagunakan sinonim sebagai inovasi dalam menulis.

Teliti
     Selepas menggubah naskah, saya langsung mengapikkan.  Mengubah kalimat agar puitis atau memenggalnya supaya selaras aturan pers.
     Ada dwitunggal morfem nan cantik dalam al-Qur'an di Surah Yusuf ayat 70 berbunyi اَذَّنَ مُؤَذِّنٌ (azzana muazzin).  Birama azzana muazzin (berseru penyeru) begitu indah laksana mendengar suara merdu Nabi Daud.  Larik berisi dua kata ini senantiasa tergiang di kepala jika saya merevisi karangan.
     Sesudah mengoreksi kanan-kiri, saya kemudian menandai segenap kata yang memiliki sinonim.  Ini memerlukan kesabaran serta ketelitian optimal.  Konsentrasi mutlak stabil.
     Dalam menulis, saya acap menuntaskan sebuah artikel selama empat jam.  Ini tergolong kilat khusus.  Terkadang butuh tempo 10 jam atau lebih.  Sementara mengedit memerlukan waktu di atas lima jam.  Tergantung tingkat kerumitan esai atau cerpen.
     Contoh muradif yang sering muncul di tulisanku.
Dan = serta
Itu = tersebut
Sudah = telah
Adalah = ialah
Semua = seluruh
Tiba = sampai
Akan = bakal
Sekarang = Kini
Sambil = seraya
Mau = ingin
Hampir = nyaris
Kalau = jika
Punya = milik
Sebab = pasalnya
Akibat = lantaran
Bisa = dapat
Ketika = saat
Contoh = misal
Juga = pula
Makna = arti
Acap = kerap
Kemudian = lantas
Sesungguhnya = sebenarnya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People