Kamis, 13 April 2023

Langgam Menulis


Langgam Menulis
Oleh Abdul Haris Booegies


     Sejak ada media online, saya merasa lebih mudah mengakses informasi.  Cukup dua kali klik di laptop, tablet atau smartphone, niscaya terpampang berita yang diinginkan.  Aneka jenis informasi tersedia di Internet.  Ini kemajuan besar bagi para pengelana ilmu.
     Suguhan kabar di media online, kiranya sering menggemaskan.  Ini gara-gara judulnya panjang.  Rata-rata judul memuat 15 kata.  Lebih payah lagi, judul tersebut menggurui.  Sebagai misal, menggunakan kalimat "Kamu Harus Tahu".  Sudah panjang, menggurui pula.
     Saya beberapa kali sebal tiada terkira kala menyelami sebuah berita di media online.  Judulnya bombastis.  Di luar dugaan, tidak ada substansi baru yang dipetik usai disimak.  Narasumbernya berasal dari kicau yang dicomot dari Twitter.
     Wartawan tak mau bersusah-payah menemui narasumber.  Ia enteng saja mengemas cuitan dari Twitter.
     Saya tidak habis pikir.  Di mana reporter bersangkutan belajar jurnalistik.  Saya terkenang saat mahasiswa.  Belajar seluk-beluk pers di sejumlah pelatihan yang diadakan perguruan tinggi.  Untuk menunjang keandalan menulis, saya pernah berlangganan 14 harian dalam sebulan, 20 tabloid mingguan dan tiap bulan minimal membeli 30 majalah baru.  Saban bulan, saya juga membeli puluhan majalah bekas di Jalan Sungai Cerekang.  Di samping itu, dalam sepekan berupaya membeli satu buku.
     Pengeluaran yang banyak, memacu saya produktif menulis.  Selama mahasiswa, saya menulis lebih 150 artikel di Panji Masyarakat, Pelita (Jakarta), Jayakarta (Jakarta), Surya (Surabaya) Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Banjarmasin Post (Banjarmasin), Pedoman Rakyat serta Fajar.
     Tiap menulis, saya berusaha membuat judul seirit mungkin.  Maksimal empat kata.  Pilihan judul mutlak mencerminkan sari pati makalah.
     Ada kecakapan yang luput dari perhatian wartawan dan penulis.  Bagaimana supaya tulisan enak dibaca sampai tuntas.
     Penentu tulisan yang baik ialah kalimat mesti pendek.  Kalimat harus di bawah 10 kata.  Selain itu, menyeimbangkan tulisan dengan sinonim.  Contohnya, bila dalam satu alinea yang memuat lima kalimat atau lebih.  Di paragraf tersebut tercantum dua kata "buku", dua "agar" serta dua "lampau".  Untuk memperindah artikel, elok mencari sinonim "buku".  Alhasil, tulisan tidak monoton.  Sinonim "buku" yaitu "kitab".  Kalau sudah mengaplikasikan "agar", maka, berikutnya gunakan "supaya".  Begitu pun "lampau".  Ada kata "silam" yang sepadan maknanya.  Sinonim membuat tulisan lebih variatif.  Bahkan, terkesan elegan.
     Implementasi sinonim merupakan metode yang selama ini saya pakai.  Ketika mahasiswa, saya senantiasa membatin.  Ide dalam artikelku sama dengan cendekiawan, seniman, doktor maupun profesor.  Persoalan muncul karena saya cuma mahasiswa.  Redaktur opini koran pasti lebih memprioritaskan doktor atau penulis-penulis tangguh.  Kiat terbaik bagi saya yakni mengamalkan sinonim untuk bersaing dengan pakar.  Ini juga jalan untuk memperkenalkan jurnalisme sastrawi yang masih minim diterapkan.
     Berkat mempraktikkan sinonim, saya yang berstatus mahasiswa pernah menulis artikel di harian Surya untuk menanggapi Prof Dr Mattulada serta Dr S Sinansari Ecip.  Filsuf Unhas Drs Ishak Ngeljaratan pun sempat saya kritik di sebuah harian lokal.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People