Kamis, 13 April 2023

Menolak Artikel


Menolak Artikel
Oleh Abdul Haris Booegies


     Seorang penulis nasional pernah mengeluh.  Ia menemukan buku panduan bagaimana menulis yang baik di media.  Keajaibannya, pengarang kitab itu tidak pernah tersua karyanya di media cetak.  Bagaimana bisa menerbitkan buku teknik menulis, namun, tak pernah berkarya di surat kabar dan majalah.
     Di Facebook, saya menjumpai profil seorang teman yang mencatumkan data diri sebagai penulis buku.  Saya takjub, begitu hebat orang ini.  Padahal, saya tidak pernah menemukan tulisannya di koran serta majalah.  Setelah ditelusuri, ternyata kitab yang diterbitkannya sendiri adalah skripsinya.  Ia pun mengklaim diri sebagai penulis buku.
     Di periode digital ini, ada segelintir orang mengaku penulis.  Anehnya, kita tak pernah melihat artikelnya di surat kabar dan majalah.
     Penulis gadungan ini rupanya mempublikasikan karyanya di blog serta media sosial miliknya.  Ia pun bangga karena tulisannya beredar ke seluruh dunia.  Maklum, blog dan media sosial leluasa diakses di mana saja selama ada jaringan Internet.
     Dua contoh "penulis dahsyat" yang saya paparkan di atas, menunjukkan penggelapan identitas.  Merasa diri penulis lantaran artikelnya terbit di blog serta media sosial.  Padahal, blog dan media sosial tersebut merupakan akunnya sendiri yang ia kelola.  Tentu saja semua tulisannya terpublikasi.  Ia sendiri yang memposting di akunnya.  Ia sendiri yang membacanya.  Ia sendiri yang mengomentarinya.  Hasilnya, ia sendiri membaiat diri sebagai penulis.  Luar biasa!

Ditolak Terus
     Pada 1987, saya ikut pelatihan jurnalistik tingkat dasar.  Saya kemudian mengirim naskah ke Pedoman Rakyat.  Di masa itu, Pedoman Rakyat merupakan satu-satunya harian di Makassar.  Segenap goresan olah pikir yang saya kirim, hasilnya nihil.  Tidak tembus.  Pada Ahad, 24 Januari 1988, tulisanku akhirnya dimuat.
     Pemuatan pertama ini memacu semangat.  Saya terus memproduksi artikel, tetapi, tak diwartakan.  Tulisan pertama bukan jaminan bahwa esai berikut bakal dimuat lagi.  Ini membuat kewalahan.  Ini membuat saya berdarah-darah karena ada pengorbanan waktu, tenaga, pikiran serta anggaran.
     Sesudah berkali-kali ditolak, akhirnya risalahku pun sering terpublikasi di Pedoman Rakyat.  Saya lantas menggeser visi dengan mengirim komentar ke majalah Tempo.  Saya juga mengirim kreasi intelektual ke majalah Panji Masyarakat untuk diterbitkan di rubrik Forum Pendapat.  Di Tempo, Surat Pembaca dan Komentar boleh dimasuki orang di luar awak Tempo.  Dua rubrik ini mempunyai banyak penggemar.  Ihwal serupa terjadi di Panji Masyarakat.  Pembaca diperkenankan mengirim naskah ke Forum Pendapat.
     Komentar yang saya kirim ke Tempo mengalami nasib apes.  Tidak dimuat.  Kalau pun dipublikasikan, pasti dicincang-cincang.  Soalnya, Tempo teramat ketat mengedit tulisan.
     Setelah berkali-kali ditepis, akhirnya beberapa komentarku terpampang di Tempo.  Bagi saya, lebih baik menulis komentar di Tempo kendati honornya tak ada.  Sebab, nama langsung melambung tinggi.  Sejumlah pembaca Tempo di luar negeri merespons positif komentar saya via surat.  Tentu, ada pula yang marah.
     Di Panji Masyarakat, nasib saya cenderung cemerlang.  Artikelku berkali-kali tembus sesudah berkali-kali ditolak.  Bahkan, sempat menjadi kolumnis Panji Masyarakat.
     Pernahkah penulis gadungan di era digital ini teruji naskah-naskahnya?  Merasakan tulisannya dilecehkan, tidak dimuat?  Esai ditolak terus sampai mematikan spirit jurnalisme yang pernah dipelajari.  Coretan intelektualisme yang bersusah-payah dibikin semalam suntuk, cuma dibuang ke tong sampah.  Kita mengirim 10 tulisan, yang ditolak 11!  Kita merana menunggu artikel yang dikirim, kapan dimuat?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People