Mana Mataku
Cerpen Abdul Haris Booegies
Pukul 17.43, saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta dan Andi Rian, tiba di kampus Pesantren IMMIM. Tadi kami nonton Gremlins di bioskop Cinema Paradiso. Di bioskop baru ini, kami bertemu dengan Siti Susan, Sukmawati, Siskawati Rahma serta Andi Dian. Empat santriwati Miss Teen ini bakal meramaikan perayaan 1 Muharram 1406 di Karebosi. Selepas nonton, kami berpisah arah.
Suasana pondok menjelang Magrib, tampak sepi. Santri-santri pasti tengah mandi. Apalagi, banyak santri pulang. Maklum, hari ini Kamis.
Saat mendekati asrama Panglima Polem, sekonyong-konyong muncul Fuady.
"Tadi Burnam kesurupan".
"Kenapa bisa?" Hapip bersoal dengan nada cemas.
"Tadi kami ke belakang kampus mencari lobi-lobi".
"Apa hubungannya lobi-lobi dengan kesurupan", gumam Tirta sambil termangu.
"Pohon lobi-lobi yang dipanjat Burnam ternyata berpenghuni. Angker. Tadi sewaktu kesurupan, Burnam berteriak-teriak. Mana mataku! Mana mataku!"
"Di mana sekarang Burnam", Rian bertanya.
"Dibawa ke rumah sakit Faisal", jawab Fuady dengan mimik sendu.
Fuady dengan Burnam merupakan kawan akrab. Sekalipun berpostur kecil, namun, mereka terkenal badung. Selama sebulan ini seusai santap siang, keduanya rajin ke belakang pondok untuk memetik lobi-lobi. Kalau sudah mengunyah buah yang rasanya masam tersebut, mereka suka memamerkan giginya yang coklat.
*****
Bakda Isya, saya, Hapip, Tirta dan Rian ke rumah Uak Biring Kanaya. Berjarak lebih 300 meter dari Pesantren IMMIM. Ia tinggal bersama tiga cucunya di belakang kompleks Kavaleri. Usia Uak tergolong sepuh, mungkin di atas 90 tahun.
Hikayat seputar Uak cukup menggetarkan. Ia pendekar dari Sungai Tello yang berjuluk Macan Kumbang. Pukulannya terlihat lembut laksana sepoi bayu, tetapi, mematikan bak puting beliung. Uak tersohor sebagai petarung tangguh di kawasan Panaikang, Daya sampai Mandai. Menurut bisik-bisik, kakeknya dulu pengawal pribadi Arung Palakka.
"Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh", ucapku sembari mengetuk pintu.
"Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh".
"Saya Ogi, Uak".
"Santri IMMIM?"
"Ya, Uak".
Pintu kemudian terbuka. Aroma dupa tercium sebagaimana di pedalaman yang membakar luban di malam Jumat.
"Ayo masuk", terdengar suara Uak begitu lembut.
Tirta bersama Rian tampak ragu masuk. Cahaya remang-remang di ruang tamu sempit turut menambah segan kakinya menjejak lantai rumah. Apalagi, ini malam Jumat Kliwon yang penuh energi magis.
"Tidak pantas santri sultan gentar. Ayo masuk", bisikku pada Tirta serta Rian.
Tatkala kami duduk di tikar yang dihamparkan Uak, saya langsung memulai pembicaraan.
"Uak, tadi ada santri yang kesurupan di hutan lobi-lobi dekat danau Unhas. Ia berteriak-teriak; mana mataku, mana mataku".
"Itu ulah arwah Lotong, jawara Tamalanrea yang mati mengenaskan 134 tahun silam".
"Bagaimana kisah Lotong, Uak?" Hapip mencoba mengorek informasi.
"Simaklah babad yang kututurkan ini, anak muda", timpal Uak seraya duduk bersila. Ia menerawang sebelum bibirnya bertitah dengan rangkaian kalimat.
*****
Apa sesungguhnya yang terjadi dengan Lotong? Bagaimana riwayat hakiki di malam jahanam tersebut? Cerita ini bermula dari sebatang flora lobi-lobi setinggi 70 kaki, 200 meter dari kediaman Uak. Terjadi di malam Jumat Kliwon pada 1851.
Syahdan, Lotong mengasah kerisnya supaya kekuatan supranatural memancar di Kamis senja ini. Ketika cahaya Mentari sirna oleh selubung malam, ia menuju ke belantara lobi-lobi. Tangan kanannya menenteng keris. Sementara tangan kiri mengepit Strigiformes, burung hantu.
Di bawah sebatang pohon lobi-lobi nan rimbun, Lotong duduk berlutut sambil merapal jampi. Ia berkonsentrasi. Fokus untuk merebut kesaktian di malam Jumat keramat ini.
Makin lama, kian kencang Lotong mendengungkan mantra. Butir-butir keringat bercucuran dari raganya. Ia tak peduli dengan suara jangkrik dari balik dedaunan atau embus angin yang kadang menggoyang ranting-ranting.
Kala terdengar lolongan anjing, Lotong menengadah. Bulan terlihat anggun dengan sinar benderang. Senyum sekilas menghias bibir Lotong. "Inilah momennya".
Lotong mengusap-usap kepala burung hantu. Burung ini dicurinya tadi siang di Fort Rotterdam. Telah lama ia mendengar burung hantu bernama Strigiformes ini. Hewan ini milik Sylvia Noordeinde, putri Laksamana Pieter van Leeuw, penguasa kolonial Belanda di Sulawesi.
La Bekku, guru spiritual Lotong di dusun Lawawoi distrik Sidenreng pernah bersabda. "Kelak, di sebuah benteng ada burung hantu kepunyaan anak dara bule. Bila kau menukar matamu dengan mata burung itu, niscaya kau dapat mengamati musuhmu dari jarak seribu meter. Dari puncak gunung tinggi, kau bisa memandang gadis-gadis dengan buah dada sebesar telur angsa yang sedang mandi di sungai. Ini ilmu Pakkita Dongi, visi burung. Belum pernah ada yang memiliki Pakkita Dongi selain leluhurku dari generasi ketiga".
Lotong terobsesi dengan Pakkita Dongi. Hatta, suatu hari, ia mendengar ada burung hantu di Fort Rotterdam.
Kini, burung tersebut ada di tangannya. Sejurus berikutnya, Lotong meraih keris yang berkilau memantulkan pijar bintang-gemintang. Ia segera menebas leher burung hantu itu sampai putus. Lotong lantas mencungkil kedua mata burung tersebut. Lotong lalu meletakkannya di atas daun kering agar tidak bercampur dengan kerikil atau lobi-lobi masak yang berguguran.
Lotong kemudian berdiri, menatap langit yang berhias kerlap-kerlip bintang. Sebelum tengah malam, ia akan menjelma sebagai manusia digdaya dengan pandangan burung. Ia bakal melihat semut berkeliaran sejauh jarak ringkik kuda terdengar.
Lotong lantas menusukkan keris ke ujung pelipis untuk mengeluarkan biji matanya. Perih seolah mencambuk pusat otaknya saat Lotong menarik keluar matanya. "Tak pantas lelaki sejati mengeluh oleh rasa sakit", bisik Lotong menguatkan tekad. Darah menyembur dari rongga mata, membasahi muka sampai leher.
Perlahan, Lotong menunduk menaruh biji matanya di dekat mata burung hantu. Ia lalu mencungkil lagi matanya yang sebelah. Kali ini rasa sakit tidak sanggup ditahan. Lotong mengerang seiring darah yang terus mengucur dari lubang matanya.
Rintihan kesakitan Lotong rupanya terdengar oleh satu peleton prajurit Belanda. Mereka ditugaskan untuk menangkap Lotong yang mencoleng Strigiformes.
Tentara pilihan ini pun bergerak ke arah sumber suara. Obor dinyalakan sembari bedil dikokang. Maling itu harus ditangkap malam ini.
Ketika Lotong meraba-raba mencari mata burung hantu yang tadi diletakkannya di atas daun kering, terdengar derap langkah terburu-buru. Sedetik berselang, keheningan disentak oleh letusan bedil yang terdengar mirip kentut kerbau.
"Jangan bergerak!" Seru seorang serdadu yang memantau pergerakan Lotong.
Lotong panik. Musababnya, ritual sakral ini belum rampung saat mereka memergokinya.
Lotong spontan mengendap-endap untuk mencari mata burung hantu. Ia kemudian menemukan yang dicari. Lotong pun bergegas memasang di rongga matanya. Dengan tubuh berlumur darah, ia membusungkan dada seraya menghadap ke arah satuan elite Belanda. Lotong menyunggingkan senyum sinis tanda mengejek.
Satu peleton laskar VOC tersebut lantas membombardir Lotong dari balik pepohonan. Jagoan Tamalanrea itu tak ciut. Soalnya, punya ilmu kucing dengan tujuh nyawa cadangan.
Tiba-tiba Lotong merasa aneh. Pasalnya, ia tetap tidak dapat melihat kendati mata tersebut sudah terpasang. Lotong akhirnya tersadar. Kiranya bulatan yang dimasukkan ke lubang matanya bukan mata burung hantu, namun, lobi-lobi!
"Bangsat, lobi-lobi sialan!", umpat Lotong geram.
Di tengah desing peluru yang murka, Lotong merangkak sambil mengais tanah mencari mata burung hantu sekaligus matanya. Napasnya tersengal-sengal. Jerit histeris Lotong terdengar bagai raung binatang jalang yang terluka di ujung maut. "Mana mataku! Mana mataku!"