Merumuskan Kembali Ulama Intelek
Oleh Abdul Haris Booegies
Saya pertama kali mendengar istilah "ulama intelek dan intelek ulama" pada pertengahan 1980. Kala itu, saya berstatus santri baru Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM. Bakda Magrib, seluruh santri baru serta lama yang berjumlah sekitar 400, penuh takzim mendengar petuah Haji Fadeli Luran, pendiri pesantren.
"Anakda akan menjadi ulama intelek atau intelek ulama yang bertebar di mana-mana?" Ulama intelek lantas menjadi slogan ikonis santriwan-santriwati Pesantren IMMIM.
Moto ini sesungguhnya sudah membahana di Pondok Modern Darussalam Gontor. KH Imam Zarkasyi sering memotivasi santrinya dengan ungkapan: "Jadilah ulama intelek, bukan intelek yang tahu agama". Pesantren Gontor didirikan pada 1926. Sedangkan Pesantren IMMIM dibangun pada 1975.
Dalam imajinasi saya pada 1980, ulama intelek adalah kiai saintis. Tidak sekedar fasih tentang kitab-kitab klasik, tetapi, paham sains dan teknologi.
Bertahun-tahun kemudian, ada kegelisahan membuncah mengenai istilah ulama intelek. Jargon yang dipopulerkan Fadeli Luran tersebut terasa repot digapai. Terlalu sempurna sebagai cita-cita.
Di tarikh 2022 ini setelah Pesantren IMMIM menamatkan 41 angkatan, belum tampak ulama intelek. Dewasa ini, alumni Pesantren IMMIM berjumlah sekitar 5.000. Dari jumlah itu, hampir 10 berstatus profesor. Sementara doktor mulai mendekati angka 50. Sebagian alumni berkarier di militer, kepolisian serta bisnis.
Apa sebenarnya kendala untuk mencapai predikat ulama intelek? Proses apa yang belum berjalan maksimal? Apakah alumni tak tertarik menjadi kiai atau semboyan ulama intelek terlalu bombastis. Bahkan, terkesan hiperbolis. Hatta, ide abnormal ini mengambang di awang-awang. Entah dapat terwujud atau tidak. Ini gara-gara metodenya tak tertebak.
Otak Super
Dalam al-Qur'an, tersua istilah ulil albab di 16 ayat. Uluu atau ulii berarti pemilik. Sedangkan al-albab ialah daya pikir. Morfem al-albab merupakan bentuk jamak dari lubb dengan makna "sebuah bagian esensial". Hingga, ulil albab identik sebagai individu genius. Sebab, otaknya bersusun-susun. Dalam rutinitas keseharian, ulil albab sebagai pemilik otak super hidup dalam aktivitas pikir dan zikir.
Dalam bahasa Perancis, ulil albab dinamakan doués d’intelligence yang berarti "diberkahi dengan kecerdasan". Sementara dalam bahasa Denmark, konsep ini disebut for de forstandige yang bermakna "orang bijak".
Dalam al-Qur'an, tertera ayat ulil albab yang begitu indah.
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
"Pada penciptaan langit serta bumi. Pertukaran malam dengan siang. Terhampar aneka tanda kekuasaan Allah bagi insan cerdas nan bijak" (Al Imran: 190).
Komunikasi Transendental
"Ulama intelek" yang menjadi frasa legendaris di Pesantren IMMIM, senyawa dengan ulil albab. Ulama intelek dan ulil albab paralel dengan manusia yang berpikir serta berzikir.
Pada penerapannya dalam karier, status ulama intelek ruwet diraih. Musababnya, slogan ini menggunakan kata "ulama" dan "intelek". Ulama merupakan figur alim pewaris para nabi. Sedangkan intelek tiada lain cendekiawan penyebar temuan-temuan mutakhir. Memadukan dua morfem ini dalam satu sosok manusia seolah sebuah keganjilan. Sebagai umpama, bagaimana jadinya jika Cristiano Ronaldo diwartakan sebagai pesepak bola pelukis. Di samping jago menggocek bola di lapangan hijau, ia juga mahir memainkan kuas di atas kanvas. Ini muskil, namun, tidak mustahil. Hal serupa terjadi pada ulama intelek.
Idealnya moto diubah agar elok. Bukan ulama intelek, tetapi, profesional religius. Pemakaian kata "profesional" lebih bebas, tanpa beban sekaligus mencakup segala profesi lulusan Pesantren IMMIM. Ini tendensi ungkapan yang bernuansa lembut, jitu pula. Pasalnya, tak semua alumni mengabdi di dunia ilmiah. Ada yang menjadi tentara, polisi, aparatur sipil negara, pegawai swasta, jurnalis, pedagang, peternak maupun pelakon seni.
Segenap tamatan Pesantren IMMIM pasti menggeluti profesi secara profesional sebagai wujud tanggung jawab. Dalam menjalankan amanah, alumni punya pilar ilmu serta iman. Alhasil, dalam meniti profesi, mereka mampu menyeimbangkan antara karier dengan ibadah. Alumni andal berkomitmen saat berkarya sembari berkomunikasi transendental ke Arasy Rahman berkat dilandasi identitas sebagai profesional religius.