Kebijakan Keliru Pesantren
Oleh Abdul Haris Booegies
Sebelum memasuki dasawarsa pertama, ada kebijakan Pesantren IMMIM yang menimbulkan riak. Efeknya mengubah tata hidup santri.
Ada dua yang saya kenang sebagai kebijakan keliru. Pertama, pimpinan kampus tinggal di jalan yang dilewati santri ke 20 toilet. Kedua, menempatkan santri nakal dengan guru.
Pada 1981, 20 toilet resmi digunakan. Letaknya di belakang bagian Barat. Santri yang hendak buang air besar (BAB), pasti melewati pondok yang ditinggali ustaz Saifullah Mangun Sumito selaku pimpinan kampus. Tidak ada jalan lain.
Bisa dibayangkan, santri pasti segan mondar-mandir ke water closet (WC). Apalagi, santri badung. Mana mau ke 20 toilet. Sulit menemukan santri Aliyah di kakus yang berjejer 20.
Di mana santri SMA plus kelas III SMP, buang hajat? Ada dua tempat populer. Sawah di depan Rayon Raja Khalik dan kolong kelas di depan laboratorium. Di dua tempat ini berserakan kotoran produksi natural santri.
Kalau ada yang ingin BAB di pagi, siang atau sore, mesti bersabar. Tunggu sampai tiba malam. Selepas Magrib, sawah serta kolong kelas hiruk-pikuk dengan santri.
Sawah sangat strategis. Remang-remang, tetapi, embusan bayu cukup menyejukkan. Bila ada rekan yang kentut, biasanya kita pura-pura tak mendengarnya. Sama-sama memaklumi. Baunya tidak terasa pula karena di udara terbuka. Apalagi ada sarung sebagai masker tradisional untuk menutup hidung dan sekujur tubuh.
Ada satu aturan tak tertulis di sawah. Jangan mengeluarkan suara. Wajah memang tidak dikenal karena gelap, namun, suara gampang diidentifikasi siapa pemiliknya. Kan malu jika ditanya di sumur atau di kamar. "Kau tadi yang di sampingku?" Untung kalau pertanyaan tersebut bukan untuk menyindir kita karena kentut bak bunyi terompet di sawah. Nyaring sekaligus panjang. Biasalah bila menceret.
Jika ada santri yang pakai handuk atau sarung berjalan seperti bebek, berarti ia baru saja BAB. Mereka ke sumur untuk membasuh dubur. Gaya ceboknya juga berdiri.
Selama hampir dua tahun, santri lebih senang melakukan aksi BAB di sawah serta kolong kelas. Di kolong kelas teramat parah. Sebab, di situ berhamburan sampah maupun tinja santri. Hingga, muncul istilah "taker" alias tahi kering.
Di sawah, taker jarang ditemukan. Mungkin mengendap lantaran tanah basah. Boleh jadi pula di makan burung dan ayam. Ini rezeki nomplok bagi unggas. Pasalnya, turut menikmati ikan teri (mairo paku) serta lahmun mumhaat (daging karet) yang sudah dikemas secara alami dalam bentuk taker.
20 toilet mulai digunakan seluruh santri tatkala ustaz Saifullah pindah ke bilik di sisi kantor pimpinan kampus. Pondok yang ditempati ustaz Saifullah pun berubah menjadi mes guru. Ustaz Abdul Kadir Massoweang dan ustaz Abdul Kadir Kasim lantas tinggal di mes guru.
Roti Hangus
Perkara lain yang saya nilai kebijakan keliru yakni menempatkan santri bandel dengan guru. Pada Senin, 7 November 1983, saat kelas IV, saya dipindahkan ke mes guru tinggal bersama dua ustaz bernama Kadir. Selain saya, juga Mukbil (Angkatan 87).
Mes guru punya tiga bilik tidur, ruang tamu, dapur serta kamar mandi. Mes yang berbentuk rumah panggung ini begitu sejuk. Saya kemudian memasang papan nama bertulis Jalan Bugis di depan mes. Santri yang menuju 20 toilet niscaya melewati Jalan Bugis. Ini satu-satunya akses.
Tinggal di mes terbukti menyenangkan. Saya tak pernah lagi ke sumur untuk mandi. Ada air leding. Pada periode ini, saya tidak pernah masuk qismul amni (seksi keamanan) dan mahkamah lugah (pengadilan bahasa). Bukan karena saya tobat, tetapi, pengurus keamanan tak berani mendatangiku di mes untuk mencatat pelanggaranku.
Saya leluasa bolos ke kota kapan saja berhasrat. Qismul amni pasti mengira saya memperoleh izin dari ustaz Kadir Massoweang, wakil pimpinan kampus. Lambat-laun, dua ustaz Kadir, kapok. Pada Senin, 23 Januari 1984, saya terusir dari mes guru. Disuruh pindah ke Asrama Imam Bonjol. Bulan maduku berleha-leha di pesantren, mendadak karam.
Menempatkan santri sepondok dengan guru merupakan kebijakan keliru. Ini bukan solusi jitu meminimalkan kenakalan. Serumah dengan guru justru menyuburkan kemalasan. Soalnya, santri merasa kebal hukum berkat tinggal bersama guru. Di samping itu, ada privasi guru bisa bocor.
Di suatu pagi, Mukbil berbisik mengenai seorang guru yang menginap di mes. Ia menyangka tidak ada yang mandi karena dua ustaz Kadir sejak tadi meninggalkan pondok. Kiranya ada guru lain. Mukbil pun mengisahkan tekstur pantat guru bersangkutan.
Di lain waktu, saya lagi yang memergokinya mandi. Ternyata apa yang diceritakan Mukbil tak salah. Bokongnya bagai roti gosong. Isu sedap ini lalu menyebar secara semena-mena di kampus. Privasi bocor gara-gara ulah santri badung yang seatap dengan guru. Coba.