Hari Pertama Buku Harian
Oleh Abdul Haris Booegies
Pesantren IMMIM di era 80-an, dihuni sejumlah santri berkarakter. Saya ingat Heriyanto, rekan seangkatan pada Juni 1980. Ia termasuk santri berkelas. Ayahnya pejabat militer. Sementara Heriyato juara bulu tangkis tingkat SD. Beberapa kali Heriyanto dijenguk ayahnya mengendarai sedan dengan sopir pribadi. Sebuah pemandangan langka di Pesantren IMMIM di kurun 1980.
Di awal masuk, saya sekamar dengan Heriyanto di bilik II asrama Datuk Ribandang. Saya di ranjang bawah, ia di atasku. Saya akrab dengan Heriyanto. Saya juga dekat dengan Muhammad Nasir. Ini bukan bocah sembarang. Ia termasuk santri sultan.
Pompa bensin yang terletak di segitiga emas (RRI, Hoya dan Pelabuhan Soekarno Hatta), merupakan milik orangtua Nasir. Bahkan, kakaknya tercatat sebagai pemain inti klub Makassar Utama.
Saya, Heriyanto serta Nasir merupakan tiga serangkai saat masih kelas I. Kami senantiasa bersama. Apalagi, kami anak kota. Rumah kami pun tergolong berdekatan. Saya di Jalan Veteran Selatan. Heriyanto di kompleks militer di Jalan Mappaoddang. Sedangkan Nasir di Jalan Baji Pa'Mai.
Tatkala naik kelas II, Heriyanto keluar dari pesantren. Saya bersama Nasir juga jarang bertemu. Ini karena saya digiring ke kamar I rayon Datuk Ribandang. Ini bangsal khusus santri bandel. Selain badung, penghuninya berbadan besar. Di sini dihimpun kelas II, III serta IV yang memang sangar.
Ketika naik kelas III, Nasir kerap menemuiku di asrama Pangeran Diponegoro. Rupanya, saya dengan Nasir mulai jenuh di pesantren. Semua serba terbatas. Apalagi, tak ada cewek.
Awal Agustus 1982, saya nekat menemui ibuku. Saya tidak mau lagi ke pesantren. Berniat keras keluar. Ingin berhenti sekarang juga.
Ayah tentu saja marah. Akhirnya saya ditumbuk berkali-kali. Saya diancam akan dikirim ke pesantren terjauh di kampung terpencil.
Setelah digebuk sampai lebam, saya pun dibujuk untuk kembali ke Pesantren IMMIM. Saya akhirnya luluh berkat insentif perbaikan yang dibisikkan. Saya mutlak kembali ke habitat semula yang penuh cobaan maupun derita.
Kembali ke Pesantren IMMIM ternyata menjadi awal sejarah besar. Pasalnya, saya bertekad menulis buku harian. Hasrat mencatat kejadian sehari-hari muncul sejak kelas II.
Selama kelas III sampai VI, saya tiap hari mengisi diari. Selama sekitar empat tahun, tak ada satu pun hari yang tidak tercatat di buku harianku. Ada momen ketika mengkhayalkan anak gadis orang. Ada masa saat ketakutan gara-gara melakukan pelanggaran berat. Ada kenangan tatkala mau berkelahi. Ada tempo kala ketar-ketir setelah bertengkar dengan koki bernama Hata. Siapa tidak ngeri, mengusik koki sama artinya minta dipecat dari pesantren. Ini pelanggaran paling berbahaya berskala maut.
Berikut catatan di hari pertama buku harianku.
Selasa, 3 Agustus 1982
Perasaanku agak lega setelah tiba di pesantren. Walau saya bersikeras tidak mau lagi sekolah di pesantren. Ada sedikit perasaan bahagia karena saya bawa lemari baru, arloji baru dan kasur busa. Saya menaruh kasur kapuk di bawah untuk mengalas kasur busa.
Saya tiba di Pesantren IMMIM sekitar jam 12 siang. Diantar oleh ayah, ibu, sepupu serta keponakan.
Di kamar II rayon Pangeran Diponegoro, teman-teman riuh. Mereka bertanya, mengapa saya masih ke pesantren?
"Saya kira kau sudah berhenti di sini".
"Barangkali nanti di lain hari saya keluar", jawabku.
Muhammad Akhyar Ahmad (V) sempat menemuiku. Ia menasehatiku untuk sadar, tidak lagi nakal.
"Haris, jangan lagi kau coba-coba seperti dulu, suka pulang. Kabur dari kampus atau berbuat kenakalan lain".
Saya sempat ke Mahmuddin Achmad Akil (I). Saya memberinya konsep inspiratif agar memegang teguh kebaikan di pesantren. Sebab, sekarang saya sudah tobat. Tidak mau lagi mengulang kenakalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar