Santri di Bioskop
Oleh Abdul Haris Booegies
Santri IMMIM cukup terbuka dengan istilah dari luar. Kalau ada terma yang populer, biasanya santri Pesantren IMMIM langsung mempraktekkannya dalam pergaulan di kampus.
Pada 1983, ada istilah "karas juga". Entah siapa yang membawa celoteh ini masuk ke Pesantren IMMIM. Istilah ini biasanya didegungkan jika ada sesuatu yang menakjubkan atau di luar nalar.
Bila ada santri yang bergerombol saling berebut kue, maka, teman pun berujar "karas juga". Makan di pondok tidak mengenal waktu. Ini karena perut santri bisa diisi kapan saja. Prinsip santri ialah makan sepuasnya selama ada yang bisa dikunyah. Sebab, "tena battang ke'ke" (tidak ada perut robek karena diisi makanan). "Karas juga, ya".
Kalau ada cewek bahenol lewat di depan kampus, niscaya santri memelototinya. Sesudah mempertimbangkan secara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya gaya mutakhir maupun keelokan paras cewek bersangkutan, maka, santri pun berceloteh; "karas juga".
Secara pribadi, saya kurang paham apa sesungguhnya arti "karas juga". Apakah "karas" dari kata "keras" yang diaksentuasi menjadi "karas". Di awal 1983, senarai ini sering diucapkan oleh santri kelas V (1978-1984). Di antara rekan kelas III (1980-1986), Hesdy Wahyuddin alias Oge acap melantunkannya.
Vokabuler "karas juga", muncul di buku harianku pada Selasa, 26 April 1983 (13 Rajab 1403). Berikut lampirannya.
Hari ini, kami kelas III ujian bahasa Inggris. Saya bersepakat dengan Andi Syamsir untuk nonton di bioskop. Setelah ujian, Syamsir terlihat ragu mengikutiku.
Pukul 14.00, saya nekat kabur seorang diri ke kota. Tujuanku ke bioskop Artis II. Saya nonton film pembunuhan. Entah apa judulnya. Kisahnya menarik karena inspektur Tang kesulitan melacak sang pembunuh. Rupanya pembunuh tersebut orang sakit jiwa.
Setelah nonton misteri pembunuhan, saya bergegas ke bioskop Jumpandang. Di sini pada pukul 17.00, nonton Gundala Putra Petir. Dibintangi Teddy Purba, WD Mochtar, Farida Pasha, Agus Melaz serta Anna Tairas.
Film Gundala Putra Petir yang kaku dalam akting dengan cerita ala kadarnya, mengisahkan Gundala memberantas gembong penjahat 84.
Sekitar pukul 19.00, saya makan malam. Kakiku kemudian melangkah ke bioskop Makassar.
Pukul 20.00, nonton Bila Hati Perempuan Menjerit. Dibintangi oleh Roy Marten, Dana Christina, Astri Ivo, Zainal Abidin, Teddy Purba dan Nani Wijaya. Film ini diadaptasi dari Insaf Ka Tarazu. Film India ini sudah pernah saya saksikan di bioskop Dewi. Bagus filmnya. Dibintangi Zeenat Aman. Satu cewek di Insaf Ka Tarazu yang membuatku susah memejamkan mata menjelang tidur ialah Padmini Kolhapure. Cantik, muda sekaligus ranum menggairahkan.
Tatkala keluar dari bioskop Makassar, ternyata ada tujuh santri IMMIM yang juga nonton Bila Hati Perempuan Menjerit. Sementara dua santri lagi nonton Massacre at High School di bioskop DKM.
10 santri IMMIM ini yakni Arva Chaidar (V), Adnan Alwi (V), Munawwar (IV), Darwis (IV), Hesdy Wahyuddin (III), Haris Bugis (III), Arham (II) serta Muhammad Syibli (II). Ada dua lagi anak kelas II yang saya tidak tahu namanya. Hingga, tidak tercatat di buku harian.
Kami sepakat pulang bersama. Di atas mikrolet (petepete), kami riuh saling bertukar cerita. Tidak ada penumpang lain kecuali 10 santri IMMIM. "Karas juga, ya".