Jumat, 04 September 2020

Pesantren IMMIM Tidak Dijual

 Pesantren IMMIM Tidak Dijual
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada Senin malam, 31 Agustus 2020, seorang sahabat mengirim pesan.  Lahan pesantren IMMIM di Tamalanrea mau dijual.  Saya terkejut.  Saya tak mau lahan pesantren dijual.  Maklum, di situ saya menghabiskan waktu selama enam tahun dalam suka dan duka.  Di sana saya puber.  Saya bertengkar, berkelahi serta berdamai.  Saya mungkin satu-satunya santri yang sangat bebas bolos.  Berkali-kali saya bolos dua kali sehari untuk pergi ke kota bersantai.
     Saya punya ikatan emosional yang teramat tinggi di Tamalanrea.  Saya tak sudi artefak-artefak pesantren digilas roda pembangunan.
     Pada Rabu, 2 September 2020, saya mengontak the lady untuk meminta penjelasan.  Malam kala hujan deras mengguyur kota, saya tercenung.  Mana lebih penting, ikatan emosional berbentuk nostalgia atau pengembangan pesantren.
     Selama ini, saya selalu membanggakan diri punya segudang nostalgia di pesantren.  Nostalgia ini mengakrabkan kami sesama alumni.  Di sisi lain, nostalgia justru membelenggu kemajuan.  Mempertahankan ikatan emosional dengan suatu artefak sama artinya menutup diri dari dinamika kehidupan.  Kemajuan merupakan pengembangan diri untuk menggapai kejayaan.  Ada hal-hal dalam hidup ini yang mesti disingkirkan agar tercipta perkembangan.  Kenangan di masa silam mustahil mengubah masa depan.  Dalam mengarungi kehidupan, tentu ada yang harus dikorbankan.
     Situasi terkini lahan Tamalanrea ibarat seorang kakek.  Rapuh.  Ini tentu berbahaya bagi orang yang menetap di situ.  Sebagai misal, aula yang sudah berusia 45 tahun tiba-tiba retak.  Puingnya menerpa kepala.  Siapa yang bertanggung jawab terhadap korban?  Yasdic atau alumni.
     Saya mencatat beberapa nama yang berkomentar tendensius dan insinuatif secara sistemik, masif serta terstruktur di grup WA.  Komentar ceroboh yang memiliki potensi konflik, juga saya screenshot.
     Saya berharap, para "komentator ulung" ini kelak yang bertanggung jawab jika ada korban jiwa di Tamalanrea.  Pasalnya, menghalangi dinamika pesantren.  Mereka seolah lebih paham persoalan-persoalan di pesantren dibandingkan Yasdic.
     Harus ada daya dobrak besar untuk meningkatkan kehidupan di pesantren. Cara terbaik ialah menjual atau menyewakan lahan di Tamalanrea.  Bila ada perlawanan dari alumni, maka, ada yang krusial dijawab.  Siapa lebih paham kondisi pesantren maupun kompleksitas di sekitarnya; Yasdic atau alumni?
     Penjualan lahan bertujuan untuk kemajuan pesantren.  Kalau ada koar-koar "jangan jual", alibinya apa?  Keterikatan emosional bukan tujuan hidup.  Manusia bergerak dinamis untuk berubah demi kehidupan yang elok dan apik.  Nostalgia cuma serpihan kenangan.  Nostalgia muskil memberi kehidupan layak.
     Amunisi yang sekarang digunakan untuk merintangi penjualan lahan Tamalanrea yakni tanah wakaf.  Saya melihat, ini sekedar tameng.  Padahal, gerakan menolak penjualan lahan Tamalanrea karena ingin mempertahankan ikatan emosional.  Mereka tak mau artefak-artefak yang merangkum masa lalunya dibongkar demi kemajuan pesantren.  Mereka lebih mengedepankan nostalgia ketimbang memberi jalan bagi kemajuan pesantren.
     Satu pertanyaan usil.  Pernahkah ada alumni yang menyumbang ke pesantren?  Adakah alumni yang punya jabatan pernah menafkahkan hasil keringatnya di pesantren?  Adakah?
     Jika Yasdic dituding tidak profesional.  Kemudian pengeritik mempertanyakan kinerja Yasdic.  Ini namanya gaduh gara-gara tidak dapat jatah.  Selama bertahun-tahun, Yasdic melakukan yang terbaik untuk pesantren.  Apakah kalau ada penyegaran susunan pengurus, mendadak aula pesantren bertingkat seperti Trump Plaza atau masjid ath-Thalabah semegah Hagia Sophia?  Bagaimana bila sebaliknya, kinerja justru merosot pasca peremajaan pengurus.
     Serahkan pada ahlinya.  Yasdic mengurus pesantren.  Sementara alumni mengurus program kerjanya.  Begitu mudah, begitu sederhana kalau diserahkan pada ahlinya.  Ini juga untuk menghapus kontradiksi internal yang radikal.
     Saya berharap jika alumni tetap menghalangi penjualan lahan Tamalanrea, sudi kiranya menyiapkan anggaran 80-90 miliar untuk perbaikan pesantren di Moncongloe.  Sebab, wajib dipikirkan kesejahteraan guru, perumahan layak bagi pembina serta jaminan bagi koki (bibi).  Ini baru namanya win win solution.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People