Inilah Dosa Yasdic
(Bagian keempat dari 13 tulisan)
Oleh Abdul Haris Booegies
Siang pada Senin, 14 September 2020, saya dikejutkan pesan seorang sahabat. Yasdic sudah melakukan pembicaraan dengan IAPIM, pada Sabtu, 12 September 2020. Hasilnya, tidak benar berita perihal penjualan lokasi Pesantren IMMIM di Tamalanrea.
IAPIM kemudian bergerak cepat. Mengedarkan pemberitahuan itu. Saya menangkap sinyal, ini sengaja disebar sebagai euforia karena menganggap diri menang.
Alumni pasti merasa ini kemenangan besar. Sebab, lahan tidak dijual. Padahal, ini kemenangan semu. Kemenangan yang menggelincirkan pada kesengsaraan berkepanjangan. Kemenangan ini bakal menjadi cikal derita santri di masa depan. Kemenangan yang niscaya mendestabilisasi kampus Moncongloe. Ini kemungkinan logis masa depan Pesantren IMMIM. Ini kepastian tak terbantahkan.
Saya kecewa dengan sikap Yasdic. Sebab, memberi peluang kepada alumni untuk menginvasi teritorial Yasdic. Otoritas Yasdic disepelekan. Ini seperti pilot yang kewenangannya diserobot oleh penumpang. Tidak terbayang di kepala, ada penumpang masuk kokpit untuk mengambil alih kendali pesawat. Betul-betul sinting. Tak punya hak sekaligus tidak malu mencampuri urusan yang bukan wewenangnya.
Penjualan lahan sesungguhnya menjadi momen untuk menciptakan langkah-langkah strategis bagi pengembangan kampus Moncongloe. Yasdic wajib mengambil sikap. Tidak boleh gentar oleh ancaman makhluk-makhluk tukang ikut campur.
Saya santri tulen yang made on earth by Pesantren IMMIM. Saya alumnus independen. Tidak terikat atau dibayar untuk menahan laju nafsu alumni yang ngotot tak sudi menjual lahan. Saya murni ingin melihat almamater berkiprah cemerlang di dekade berikut. Alumni mungkin merasa menang karena lokasi gagal dijual. Pertanyaannya, pernahkah alumni berpikir mengenai kehidupan santri di masa depan.
Pendidikan selalu diukur dari segi finansial. Makin bertumpuk fulus, niscaya pendidikan kian mulus. Perkembangan kampus Moncongloe jelas macet akibat dana minim. Pesantren pasti repot bersaing karena fondasi anggaran nihil. Alhasil, pendidikan bermutu mustahil diraih.
Dewasa ini, kampus Moncongloe butuh dana gigantik. Di sana ada santri yang butuh kenyamanan untuk belajar. Saya bersama rekan-rekan bervisi futuristis senantiasa penuh harap bergemuruh bak guntur. Di Moncongloe kelak lahir santri super yang berhati Ibnu Taimiyah seraya berotak Einstein. Muncul santri rasa bintang lima yang berpijak di Hollywood dengan jiwa berkiblat ke Mekah.
Santri-santri super produk pesantren IMMIM, insya Allah membawa berkah sekaligus aktif dalam struktur global. Mereka akan bertebar dari Sidrap sampai Sidney, dari Solo sampai Oslo, dari Jeneponto sampai Jenne-jeno di Delta Niger, Afrika Barat.
Urgensi terkini ialah menghapus kontradiksi radikal sesama alumni. Ini akibat sekawanan alumni dibuat gila oleh nostalgia. Mereka berkeras tidak mau menjual lokasi Tamalanrea. Apes bin sial, gerombolan ini ternyata tak memiliki solusi. Kan geli.
Saya tantang alumni untuk mengumpulkan uang Rp 90 miliar demi pengembangan kampus Moncongloe. Alumni yang pernah jadi pejabat saja tidak pernah menyumbang. Apalagi, alumni yang pas-pasan pendapatannya. Miskiin anta (kecian dech loh).
Ada alumni selalu berkotek-kotek. Berkoar-koar tentang tanah wakaf. Seharusnya alumni diam saja. Biarkan Yasdic mengurus dirinya. Tidak usah mengajarkan bahwa wakaf tidak boleh dijual. Semua orang tahu tanah wakaf tidak bisa dijual. Lebih elok diam menunggu hasil. Sebab, ikhtiar Yasdic tergantung pada undian nasib.
Saya mengimbau sebaiknya nanti pesantren mengajarkan mata pelajaran "tips serta trik ikut campur". Ini akibat pelajaran Aqidah dan Akhlak gagal menggembleng alumni supaya fokus. Banyak yang sempoyongan bergentayangan tanpa malu untuk mencampuri urusan Yasdic.
Nasehat terbaik untuk alumni. Siapa belum menikah, sebaiknya bergegas sebelum kau mati digerogoti Covid-19. Ihwal ini lebih bermutu ketimbang mencampuri urusan Yasdic. Tunggu apa lagi! Kerjakan sekarang!
Sementara alumni yang sudah berkeluarga, seyogianya "bersih-bersih hati". Renungkan bila umur sudah di ambang kubur. Ini lebih mulia dibandingkan kalian dibutakan oleh fanatisme membabi-buta gara-gara tergoda nostalgia di kampus Tamalanrea. Tak usah cari sensasi serampangan di usia lapuk. Paham...!
(Bersambung)