Black Panther Black
Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black
Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black
Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black
Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black
Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black
Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black
Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black
Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black
Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Alauddin
Oleh Abdul Haris Booegies
Inti karate
adalah komite
(Indra Jaya Massa)
Rasa bangga membuncah di hati kala diterima sebagai santri baru di Pesantren
IMMIM pada 1981. Beberapa hari kemudian diumumkan bahwa
yang ingin ikut latihan Black Panther agar segera mendaftar. Santri yang ikut lebih 30. Kami hanya dua kali latihan. Black Panther sirna menyisakan saya tetap sabuk
(obi) putih.
Dari cerita santri lain, ternyata Black
Panther sudah lama di Pesantren IMMIM. Kabar
yang terdengar bahwa Black Panther diwajibkan untuk seluruh santri. Sosok yang memasukkan Black Panther ialah Senpai
(先輩)
Baharuddin.
Pada 1985 ketika kelas 5 (Kelas 2 SMA),
saya diberitahu teman bahwa akan ada lagi Black Panther di pesantren. Sensei (先生) Indra Jaya
Massa yang merupakan alumnus pertama Pesantren IMMIM memasukkan Black Panther. Sewaktu saya kelas satu, Indra Jaya kelas
enam. Saat itu, saya sempat melihatnya dua kali.
Latihan diadakan tiap Kamis serta Jumat
sore. Anggota alias kohai (後輩) lebih 100 dari
500 santri. Seluruh karateka aktif. Rahasia mengapa kami aktif karena Indra Jaya
juga pembina pesantren. Ia guru
matematika. Tak ada alasan untuk tidak
hadir kecuali mau digebuk Indra Jaya.
Sekali peristiwa, ada pertandingan
sepakbola antara Pesantren IMMIM dengan sebuah sekolah di Lapangan Kavaleri. Pesona bola memaksa karateka ke Lapangan Kavaleri. Latihan cuma diikuti sekitar sepuluh
karateka. Indra Jaya yang baru tiba dari
suatu acara, kaget. Ia lantas menunggu
di gerbang kampus. Segenap santri
karateka yang mangkir diberi hadiah chudan
ura tsuki (upper cut) dan yodan mawashi
geri (tendangan melengkung).
Saya berlatih tiap pagi di kamar. Sebab, merasa tertinggal dari segi usia. Saya kelas 2 SMA, tetapi, sabuk yang
melingkar di pinggang berwarna putih.
Kalau Indra Jaya ke Gedung IMMIM melatih Black Panther IAPIM, saya
berusaha ikut. Saya pun ditahbiskan
sebagai karateka teladan. Hadiahnya karategi (busana karate). Saya senang sekaligus bangga.
Selama satu setengah tahun berlatih di Pesantren
IMMIM, saya memperoleh banyak keleluasaan berkreasi dari Indra Jaya. Ketika sabuk jingga, saya diberi kesempatan
melatih karateka yang baru bergabung.
Indra Jaya menugaskan pula memungut iuran
anggota, Rp 500 per bulan. Separuh uang tersebut
lalu digunakan merenovasi sebuah ruangan untuk dijadikan sekretariat. Saya merancang Sekretariat Black
Panther. Pintunya saya cat merah. Saya mengurus dana, konsumsi serta
transportasi saat hendak penaikan sabuk di Malino pada Oktober 1985.
Indra Jaya kemudian mengusulkan supaya ada
ketua Black Panther IMMIM. Saya dengan
Iqbal sebagai kandidat. Di hari
pemilihan, saya menolak dicalonkan. Maklum,
saya tak suka birokrasi. Apalagi, saya doyan
melanggar aturan. Selain itu, saya
sering bolos meninggalkan pesantren untuk menonton di bioskop. Tidak etis seorang ketua dibutuhkan
kehadirannya sementara ia asyik menghibur diri di bioskop.
Saya tamat di Pesantren IMMIM dengan sabuk
jingga. Sabuk jingga diperoleh setelah Long March pada Februari 1986. Saya latihan memakai sabuk jingga sekitar
tiga kali. Indra Jaya lantas menyuruh
saya mengenakan sabuk kuning.
Saya bahagia ketika diterima sebagai
mahasiswa Fakultas Adab di UIN Alauddin.
Saya juga lulus di Fakultas Sastra Perancis Universitas Hasanuddin.
Saat mengikuti penataran 100 jam di Unhas,
mata saya tertuju ke arah sekumpulan karateka yang sedang latihan. Saya mendekat, ternyata Black Panther. Saya menghampiri pelatihnya yang sabuk coklat
sembari memperkenalkan diri. Namanya Senpai
Taufik, kuliah di UIN Alauddin. Di luar
dugaan, Taufik ternyata punya hubungan keluarga dengan Indra Jaya. “Di sini Black Panther khusus, hanya fakultas
ini saja yang latihan. Karateka dari
ranting lain tak diperkenankan”.
Beberapa hari setelah menjadi mahasiswa di
Adab, saya mulai mencari celah untuk memasukkan Black Panther ke UIN
Alauddin. Saya mengamati organisasi
internal kampus BPKM (Badan Penyelenggara Kegiatan Mahasiswa) yang menaungi segenap
fakultas. Saya menemui Ketua BPKM (1984-1986)
Ashabul Kahfi. Jawabannya negatif. BPKM tidak memiliki program bela diri.
Saya lalu mengajak Taufik. Ia menggeleng sambil menepis-nepis
tangan. “Tidak bisa. Sudah pernah dicoba, namun, Black Panther tak
bisa masuk di sini”.
Sensei Indra Jaya Massa: Guru Besar Black Panther IMMIM
dan Black Panther Alauddin
dan Black Panther Alauddin
Karate Boxing
Jarak antara Pesantren IMMIM dengan rumah
saya hampir 20 kilometer. Ini memaksa
saya berlatih di Black Panther UMI yang dilatih Senpai Herman Hero. Dari rumah di Jalan Veteran Selatan ke Kampus
UMI di Jalan Kakatua cuma butuh satu menit dengan motor.
Black Panther UMI tidak seramai Black Panther
IMMIM. Di sini anggota yang latihan
rata-rata 20. Sedikit, tetapi, kami
penuh keakraban. Saya cukup dekat dengan
Herman Hero. Orangnya tegas, namun,
lucu. Walau telah latihan di UMI,
tetapi, saya tetap terhubung dengan Indra Jaya.
Ia terkadang memberi saya tugas.
Ia misalnya suatu pagi ke rumah. “Berkemas-kemas
sekarang ke Black Panther Teknik Unhas.
Gantikan saya melatih karena ada urusan yang mesti dihadiri pagi
ini”. Saya segera bergegas ke Unhas
sebagai bentuk pengabdian.
Sesudah berlatih di UMI, terdengar
informasi bahwa Black Panther Bone bakal mengadakan pertandingan Karate Boxing. Porsi latihan saya tambah untuk ikut kompetisi. Bahkan, sempat satu kali latihan Taekwondo di
UIN Alauddin. Ketika siap, saya pun ikut
kontingen Black Panther UMI. Saat itu
saya sabuk hijau.
Jumat, 17 Juli 1987, pertandingan dibuka
di Persibo Bone. Dalam sebuah
pertandingan, semua akhirnya berakhir.
Saya kalah dari atlet Bone.
Usai Karate Boxing, saya ditemui Saiful
Alim untuk melatih sementara di Black Panther UNM. Kala itu Saiful Alim yang sabuk biru, sibuk. Saiful Alim merupakan orang yang memasukkan Black
Panther di UNM . Ia Angkatan 1982
Pesantren IMMIM.
Di suatu siang, saya mampir ke tempat kost
Muhammad Naim Thahir di Jalan Mannuruki.
Saya minta bahan kuliah yang tadi pagi diajarkan. Waktu itu, saya terburu-buru karena harus ke
Kampus UNM di Parangtambung untuk melatih.
Naim Thahir tertarik mencoba latihan Black Panther. Saya setuju walau ia mengeluh lantaran tak punya
karategi.
Di Black Panther UNM, anggota yang latihan
jumlahnya sekitar sepuluh. Pekan berikutnya,
saya ajak lagi Naim Thahir. Ia rupanya
banyak tugas karena Ketua Tingkat Mahasiswa di Jurusan Bahasa Fakultas Adab.
Melatih di UNM menguras banyak waktu. Setelah dua kali, saya meminta Taufik
menggantikan saya karena urusan kuliah di Unhas. Beberapa hari kemudian, Taufik menegur saya
karena membuat aturan bahwa tidak perlu ada iuran di Black Panther UNM. Menurut Taufik, itu preseden buruk. “Bagaimana jika ada yang pura-pura ikut
latihan karena gratis. Padahal, ia
berniat mencuri ilmu bela diri kita”.
Indra Jaya sempat mengkonfirmasi berita tersebut. “Apakah betul di Black Panther UNM orang
latihan gratis?”
Long March
Naim Thahir mengimbau saya agar memasukkan
Black Panther di UIN. Menurutnya, hal tersebut
lebih baik karena saya tak perlu bersusah-payah ke tempat lain melatih.
Naim Thahir bebas ke ruang Pembantu Dekan
karena Ketua Tingkat untuk mengambil bahan maupun alat perkuliahan. Ia lantas menyampaikan kepada Sekretaris Fakultas
Adab bila saya hendak memasukkan Black Panther.
Sekretaris Fakultas Adab saat itu yakni Ismail Adam, suami dari tante
saya. Tentu saja Ismail Adam
setuju. Ia langsung mengizinkan Aula
Serba Guna sebagai dojo (道場), tempat latihan. Tugas saya di Black Panther bertambah. Sebab, dua keponakan saya putra Ismail Adam
ikut latihan. Ismail Adam memberi pula kami
tempat untuk dijadikan sekretariat.
Tempat yang dulu kamar mandi tersebut terletak di sisi ruang kuliah
Fakultas Adab.
Black Panther akhirnya lahir di UIN
Alauddin pada November 1987. Latihan
pertama disaksikan Pembantu Dekan III Fakultas Adab Ahmad Ghaffar. Kami latihan dihadiri sekitar 20 karateka. Latihan berikutnya saya mendatangkan Indra
Jaya. Seluruh sahabat dari Pesantren
IMMIM yang kuliah UIN Alauddin, hadir.
Saya
sempat bertanya ke teman-teman usai latihan mengenai model lambang Black
Panther Alauddin. Muhammad Syukur segera
menghampiri saya. Ia menerangkan bahwa
lambang kita yaitu singa menggigit pedang.
Saya gembira mendengar penjelasan Syukur. Pasalnya, singa menggigit pedang terkesan
elok sekali.
Sesudah mantap, Black Panther Alauddin pun diresmikan oleh Sensei Haji
Ambo Jetta didampingi Pembantu Rektor III Saleh Putuhena. Saya mengundang Herman Hero. Kami semua bersuka-cita. Acara ditutup dengan atraksi karate
boxing. Saya duel versus Irsyad Dahri
dari Unhas.
Tiga bulan setelah peresmian Black Panther
Alauddin, diselenggarakan Long March
pada Januari 1988. Rute Long March yaitu Makassar-Parepare. Jarak 155 kilometer ditempuh tiga hari dua
malam berjalan kaki. Start Jumat pagi dan finish Ahad siang.
Seluruh karateka dari segenap unit
bergabung di Pusat Latihan Black Panther di Jalan Landak, kediaman Haji Ambo
Jetta. Sebelum berangkat, saya dipanggil
Haji Ambo Jetta. Saya gugup mendapat
kehormatan berhadapan langsung bicara empat mata di ruang keluarga. Ia menanyakan keadaan saya. Haji Ambo Jetta berharap kuliah serta latihan
saya sejalan dan berhasil.
Long
March menguras banyak tenaga. Para
karateka akhirnya mampu menyelesaikan rute Makassar-Parepare. Sejak itu, saya resmi mengenakan sabuk biru. Berpetualang tiga tahun di Black Panther demi
meraih sabuk biru.
Abdul Haris Booegies pada 1986
Sesudah beberapa kali latihan, muncul
masalah. Ketika bersua Ketua BPKM (1985-1988)
Hairun Patty, ia menegaskan bahwa Black Panther itu milik BPKM. Alasannya, saya pengurus BPKM. Sebenarnya, saya bukan pengurus BPKM, namun,
akrab dengan Hairun Patty.
Pada kesempatan lain, Ketua Senat Fakultas
Adab Lanai Thalib menjabarkan bahwa Black Panther sah milik Fakultas Adab. Saifullah Nurdin yang seangkatan dengan saya
di Pesantren IMMIM, juga menginginkan Black Panther milik Fakultas Adab.
Taufik bersama sejumlah teman dari
Fakultas Syariah menyampaikan kepada saya bahwa sebaiknya Black Panther tidak
dinaungi Fakultas Adab. Saya tak pernah
menjawab sepatah kata pun siapa pemilik Black Panther, Adab atau BPKM.
Dari hari ke hari, Black Panther makin
ramai. Secara perlahan, statusnya meningkat
sendiri sebagai milik UIN.
Problem lain yang dihadapi ialah ulah
teman-teman. Banyak sabuk putih yang
doyan menggertak. Bahkan, menggunakan
kekerasan. Namanya juga sabuk putih,
pasti beringas.
Black Panther mendadak menjadi kata yang
ditakuti. Akibatnya, ada mahasiswa yang
minim visi hendak membuat perhitungan dengan Black Panther. Minim visi karena tidak berpikir bagaimana
mungkin bisa melumpuhkan Black Panther yang anggotanya bercokol di tiap
fakultas. Seorang kawan yang juga
wartawan teramat geram. “Untuk apa Black
Panther masuk di UIN!”, semburnya penuh emosi.
Saya pura-pura tak mendengar. Ia
akhirnya lemas sendiri.
Suatu siang saya ditemui seorang
rekan. Ia mengadu perihal pacar temannya
yang dirayu anak Black Panther. Saya
ungkapkan bahwa yang merayu itu bukan mahasiswa UIN. Saya tidak bisa mencampuri persoalan begini
karena ini urusan cinta!
Pada 1989, kala Black Panther Alauddin terlihat
mandiri, saya tak pernah lagi latihan.
Tahun berikutnya saya menyibukkan diri di Unhas dengan menerbitkan
Majalah LEKTURA. Kini, Taufik seorang
diri melatih. Saya ingat kata-kata
Taufik saat menegur: “Bagaimana ini, kamu
memasukkan Black Panther, tetapi, tidak pernah lagi datang”.
Saya tak pernah tahu Black Panther
Alauddin sejak 1989 sampai saya didatangi empat pengurus di suatu malam pada
Mei 2017. Saya kaget karena Black
Panther Alauddin ternyata telah menjelma raksasa. Saya heran, takjub, bahagia serta terharu.
Saya berharap semua anggota Black Panther
Alauddin sukses. Berlatih keras guna
menempa diri menjadi yang terbaik.
Sebab, inti karate adalah komite.
Latihan terus-menerus membuat karateka Black Panther memahami makna:
“Daripada saya lebih baik kau!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar