Kamis, 17 Agustus 2017

Black Panther Alauddin




Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther
Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther

Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther Black Panther

Black Panther Alauddin


                                                        Inti karate adalah komite

                                                                   (Indra Jaya Massa)



     Rasa bangga membuncah di hati kala diterima sebagai santri baru di Pesantren IMMIM pada 1981.  Beberapa hari kemudian diumumkan bahwa yang ingin ikut latihan Black Panther agar segera mendaftar.  Santri yang ikut lebih 30.  Kami hanya dua kali latihan.  Black Panther sirna menyisakan saya tetap sabuk (obi) putih.

     Dari cerita santri lain, ternyata Black Panther sudah lama di Pesantren IMMIM.  Kabar yang terdengar bahwa Black Panther diwajibkan untuk seluruh santri.  Sosok yang memasukkan Black Panther ialah Senpai (先輩) Baharuddin.

     Pada 1985 ketika kelas 5 (Kelas 2 SMA), saya diberitahu teman bahwa akan ada lagi Black Panther di pesantren.  Sensei (先生) Indra Jaya Massa yang merupakan alumnus pertama Pesantren IMMIM memasukkan Black Panther.  Sewaktu saya kelas satu, Indra Jaya kelas enam. Saat itu, saya sempat melihatnya dua kali.

     Latihan diadakan tiap Kamis serta Jumat sore.  Anggota alias kohai (後輩) lebih 100 dari 500 santri.  Seluruh karateka aktif.  Rahasia mengapa kami aktif karena Indra Jaya juga pembina pesantren.  Ia guru matematika.  Tak ada alasan untuk tidak hadir kecuali mau digebuk Indra Jaya.

     Sekali peristiwa, ada pertandingan sepakbola antara Pesantren IMMIM dengan sebuah sekolah di Lapangan Kavaleri.  Pesona bola memaksa karateka ke Lapangan Kavaleri.  Latihan cuma diikuti sekitar sepuluh karateka.  Indra Jaya yang baru tiba dari suatu acara, kaget.  Ia lantas menunggu di gerbang kampus.  Segenap santri karateka yang mangkir diberi hadiah chudan ura tsuki (upper cut) dan yodan mawashi geri (tendangan melengkung).

     Saya berlatih tiap pagi di kamar.  Sebab, merasa tertinggal dari segi usia.  Saya kelas 2 SMA, tetapi, sabuk yang melingkar di pinggang berwarna putih.  Kalau Indra Jaya ke Gedung IMMIM melatih Black Panther IAPIM, saya berusaha ikut.  Saya pun ditahbiskan sebagai karateka teladan.  Hadiahnya karategi (busana karate).  Saya senang sekaligus bangga.

     Selama satu setengah tahun berlatih di Pesantren IMMIM, saya memperoleh banyak keleluasaan berkreasi dari Indra Jaya.  Ketika sabuk jingga, saya diberi kesempatan melatih karateka yang baru bergabung.

     Indra Jaya menugaskan pula memungut iuran anggota, Rp 500 per bulan.  Separuh uang tersebut lalu digunakan merenovasi sebuah ruangan untuk dijadikan sekretariat.  Saya merancang Sekretariat Black Panther.  Pintunya saya cat merah.  Saya mengurus dana, konsumsi serta transportasi saat hendak penaikan sabuk di Malino pada Oktober 1985.

     Indra Jaya kemudian mengusulkan supaya ada ketua Black Panther IMMIM.  Saya dengan Iqbal sebagai kandidat.  Di hari pemilihan, saya menolak dicalonkan.  Maklum, saya tak suka birokrasi.  Apalagi, saya doyan melanggar aturan.  Selain itu, saya sering bolos meninggalkan pesantren untuk menonton di bioskop.  Tidak etis seorang ketua dibutuhkan kehadirannya sementara ia asyik menghibur diri di bioskop.

     Saya tamat di Pesantren IMMIM dengan sabuk jingga.  Sabuk jingga diperoleh setelah Long March pada Februari 1986.  Saya latihan memakai sabuk jingga sekitar tiga kali.  Indra Jaya lantas menyuruh saya mengenakan sabuk kuning.

     Saya bahagia ketika diterima sebagai mahasiswa Fakultas Adab di UIN Alauddin.  Saya juga lulus di Fakultas Sastra Perancis Universitas Hasanuddin.

     Saat mengikuti penataran 100 jam di Unhas, mata saya tertuju ke arah sekumpulan karateka yang sedang latihan.  Saya mendekat, ternyata Black Panther.  Saya menghampiri pelatihnya yang sabuk coklat sembari memperkenalkan diri.  Namanya Senpai Taufik, kuliah di UIN Alauddin.  Di luar dugaan, Taufik ternyata punya hubungan keluarga dengan Indra Jaya.  “Di sini Black Panther khusus, hanya fakultas ini saja yang latihan.  Karateka dari ranting lain tak diperkenankan”.

     Beberapa hari setelah menjadi mahasiswa di Adab, saya mulai mencari celah untuk memasukkan Black Panther ke UIN Alauddin.  Saya mengamati organisasi internal kampus BPKM (Badan Penyelenggara Kegiatan Mahasiswa) yang menaungi segenap fakultas.  Saya menemui Ketua BPKM (1984-1986) Ashabul Kahfi.  Jawabannya negatif.  BPKM tidak memiliki program bela diri.

     Saya lalu mengajak Taufik.  Ia menggeleng sambil menepis-nepis tangan.  “Tidak bisa.  Sudah pernah dicoba, namun, Black Panther tak bisa masuk di sini”.


 Sensei Indra Jaya Massa: Guru Besar Black Panther IMMIM
dan Black Panther Alauddin


Karate Boxing

     Jarak antara Pesantren IMMIM dengan rumah saya hampir 20 kilometer.  Ini memaksa saya berlatih di Black Panther UMI yang dilatih Senpai Herman Hero.  Dari rumah di Jalan Veteran Selatan ke Kampus UMI di Jalan Kakatua cuma butuh satu menit dengan motor.

     Black Panther UMI tidak seramai Black Panther IMMIM.  Di sini anggota yang latihan rata-rata 20.  Sedikit, tetapi, kami penuh keakraban.  Saya cukup dekat dengan Herman Hero.  Orangnya tegas, namun, lucu.  Walau telah latihan di UMI, tetapi, saya tetap terhubung dengan Indra Jaya.  Ia terkadang memberi saya tugas.  Ia misalnya suatu pagi ke rumah.  “Berkemas-kemas sekarang ke Black Panther Teknik Unhas.  Gantikan saya melatih karena ada urusan yang mesti dihadiri pagi ini”.  Saya segera bergegas ke Unhas sebagai bentuk pengabdian.

     Sesudah berlatih di UMI, terdengar informasi bahwa Black Panther Bone bakal mengadakan pertandingan Karate Boxing.  Porsi latihan saya tambah untuk ikut kompetisi.  Bahkan, sempat satu kali latihan Taekwondo di UIN Alauddin.  Ketika siap, saya pun ikut kontingen Black Panther UMI.  Saat itu saya sabuk hijau.

     Jumat, 17 Juli 1987, pertandingan dibuka di Persibo Bone.  Dalam sebuah pertandingan, semua akhirnya berakhir.  Saya kalah dari atlet Bone.

     Usai Karate Boxing, saya ditemui Saiful Alim untuk melatih sementara di Black Panther UNM.  Kala itu Saiful Alim yang sabuk biru, sibuk.  Saiful Alim merupakan orang yang memasukkan Black Panther di UNM .  Ia Angkatan 1982 Pesantren IMMIM.

     Di suatu siang, saya mampir ke tempat kost Muhammad Naim Thahir di Jalan Mannuruki.  Saya minta bahan kuliah yang tadi pagi diajarkan.  Waktu itu, saya terburu-buru karena harus ke Kampus UNM di Parangtambung untuk melatih.  Naim Thahir tertarik mencoba latihan Black Panther.  Saya setuju walau ia mengeluh lantaran tak punya karategi.

     Di Black Panther UNM, anggota yang latihan jumlahnya sekitar sepuluh.  Pekan berikutnya, saya ajak lagi Naim Thahir.  Ia rupanya banyak tugas karena Ketua Tingkat Mahasiswa di Jurusan Bahasa Fakultas Adab.

     Melatih di UNM menguras banyak waktu.  Setelah dua kali, saya meminta Taufik menggantikan saya karena urusan kuliah di Unhas.  Beberapa hari kemudian, Taufik menegur saya karena membuat aturan bahwa tidak perlu ada iuran di Black Panther UNM.  Menurut Taufik, itu preseden buruk.  “Bagaimana jika ada yang pura-pura ikut latihan karena gratis.  Padahal, ia berniat mencuri ilmu bela diri kita”.  Indra Jaya sempat mengkonfirmasi berita tersebut.  “Apakah betul di Black Panther UNM orang latihan gratis?”




Long March

     Naim Thahir mengimbau saya agar memasukkan Black Panther di UIN.  Menurutnya, hal tersebut lebih baik karena saya tak perlu bersusah-payah ke tempat lain melatih.

     Naim Thahir bebas ke ruang Pembantu Dekan karena Ketua Tingkat untuk mengambil bahan maupun alat perkuliahan.  Ia lantas menyampaikan kepada Sekretaris Fakultas Adab bila saya hendak memasukkan Black Panther.  Sekretaris Fakultas Adab saat itu yakni Ismail Adam, suami dari tante saya.  Tentu saja Ismail Adam setuju.  Ia langsung mengizinkan Aula Serba Guna sebagai dojo (道場), tempat latihan.  Tugas saya di Black Panther bertambah.  Sebab, dua keponakan saya putra Ismail Adam ikut latihan.  Ismail Adam memberi pula kami tempat untuk dijadikan sekretariat.  Tempat yang dulu kamar mandi tersebut terletak di sisi ruang kuliah Fakultas Adab.

     Black Panther akhirnya lahir di UIN Alauddin pada November 1987.  Latihan pertama disaksikan Pembantu Dekan III Fakultas Adab Ahmad Ghaffar.  Kami latihan dihadiri sekitar 20 karateka.  Latihan berikutnya saya mendatangkan Indra Jaya.  Seluruh sahabat dari Pesantren IMMIM yang kuliah UIN Alauddin, hadir.

     Saya sempat bertanya ke teman-teman usai latihan mengenai model lambang Black Panther Alauddin.  Muhammad Syukur segera menghampiri saya.  Ia menerangkan bahwa lambang kita yaitu singa menggigit pedang.  Saya gembira mendengar penjelasan Syukur.  Pasalnya, singa menggigit pedang terkesan elok sekali.

     Sesudah mantap, Black  Panther Alauddin pun diresmikan oleh Sensei Haji Ambo Jetta didampingi Pembantu Rektor III Saleh Putuhena.  Saya mengundang Herman Hero.  Kami semua bersuka-cita.  Acara ditutup dengan atraksi karate boxing.  Saya duel versus Irsyad Dahri dari Unhas.

     Tiga bulan setelah peresmian Black Panther Alauddin, diselenggarakan Long March pada Januari 1988.  Rute Long March yaitu Makassar-Parepare.  Jarak 155 kilometer ditempuh tiga hari dua malam berjalan kaki.  Start Jumat pagi dan finish Ahad siang.

     Seluruh karateka dari segenap unit bergabung di Pusat Latihan Black Panther di Jalan Landak, kediaman Haji Ambo Jetta.  Sebelum berangkat, saya dipanggil Haji Ambo Jetta.  Saya gugup mendapat kehormatan berhadapan langsung bicara empat mata di ruang keluarga.  Ia menanyakan keadaan saya.  Haji Ambo Jetta berharap kuliah serta latihan saya sejalan dan berhasil.

     Long March menguras banyak tenaga.  Para karateka akhirnya mampu menyelesaikan rute Makassar-Parepare.  Sejak itu, saya resmi mengenakan sabuk biru.  Berpetualang tiga tahun di Black Panther demi meraih sabuk biru.





     Sesudah beberapa kali latihan, muncul masalah.  Ketika bersua Ketua BPKM (1985-1988) Hairun Patty, ia menegaskan bahwa Black Panther itu milik BPKM.  Alasannya, saya pengurus BPKM.  Sebenarnya, saya bukan pengurus BPKM, namun, akrab dengan Hairun Patty.

     Pada kesempatan lain, Ketua Senat Fakultas Adab Lanai Thalib menjabarkan bahwa Black Panther sah milik Fakultas Adab.  Saifullah Nurdin yang seangkatan dengan saya di Pesantren IMMIM, juga menginginkan Black Panther milik Fakultas Adab.

     Taufik bersama sejumlah teman dari Fakultas Syariah menyampaikan kepada saya bahwa sebaiknya Black Panther tidak dinaungi Fakultas Adab.  Saya tak pernah menjawab sepatah kata pun siapa pemilik Black Panther, Adab atau BPKM.

     Dari hari ke hari, Black Panther makin ramai.  Secara perlahan, statusnya meningkat sendiri sebagai milik UIN.

     Problem lain yang dihadapi ialah ulah teman-teman.  Banyak sabuk putih yang doyan menggertak.  Bahkan, menggunakan kekerasan.  Namanya juga sabuk putih, pasti beringas.

     Black Panther mendadak menjadi kata yang ditakuti.  Akibatnya, ada mahasiswa yang minim visi hendak membuat perhitungan dengan Black Panther.  Minim visi karena tidak berpikir bagaimana mungkin bisa melumpuhkan Black Panther yang anggotanya bercokol di tiap fakultas.  Seorang kawan yang juga wartawan teramat geram.  “Untuk apa Black Panther masuk di UIN!”, semburnya penuh emosi.  Saya pura-pura tak mendengar.  Ia akhirnya lemas sendiri.

     Suatu siang saya ditemui seorang rekan.  Ia mengadu perihal pacar temannya yang dirayu anak Black Panther.  Saya ungkapkan bahwa yang merayu itu bukan mahasiswa UIN.  Saya tidak bisa mencampuri persoalan begini karena ini urusan cinta!

     Pada 1989, kala Black Panther Alauddin terlihat mandiri, saya tak pernah lagi latihan.  Tahun berikutnya saya menyibukkan diri di Unhas dengan menerbitkan Majalah LEKTURA.  Kini, Taufik seorang diri melatih.  Saya ingat kata-kata Taufik saat menegur:  “Bagaimana ini, kamu memasukkan Black Panther, tetapi, tidak pernah lagi datang”.

     Saya tak pernah tahu Black Panther Alauddin sejak 1989 sampai saya didatangi empat pengurus di suatu malam pada Mei 2017.  Saya kaget karena Black Panther Alauddin ternyata telah menjelma raksasa.  Saya heran, takjub, bahagia serta terharu.

     Saya berharap semua anggota Black Panther Alauddin sukses.  Berlatih keras guna menempa diri menjadi yang terbaik.  Sebab, inti karate adalah komite.  Latihan terus-menerus membuat karateka Black Panther memahami makna: “Daripada saya lebih baik kau!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People