Hijrah dalam Konteks Indonesia
Oleh Abdul Haris Booegies
Dakwah yang
disampaikan oleh Rasulullah tidak membuahkan hasil maksimal di Mekah. Apalagi, Kakbah sudah begitu parah oleh bermacam
sesembahan nista. Sekitar 360 patung
bersemayam di Kakbah, termasuk lukisan tentang malaikat. Elemen itu pula yang membuat puak Yahudi ogah
menetap di Mekah. Bani Israil yang percaya
the One True God repot menerima kultur Arab yang meyakini banyak
tuhan. Yahudi yang doyan menyiksa seraya
membunuh nabi tetap mengakui Tuhan yang disembah Nabi Ibrahim, Nabi Yakub atau
Nabi Musa.
Nabi Muhammad
akhirnya hijrah menuju ke Medinah.
Eksodus tersebut menjadi tonggak kegemilangan Islam. Kaum Muslim yang semula lemah sontak bermetamorfosis
kuat.
Kode etik tata
sosial diberlakukan. Masyarakat baru itu
saling mengisi. Ringan sama dijinjing,
berat sama dipikul.
Ada dua faktor
yang menentukan keberhasilan Islam dalam membangun peradaban baru di
Medinah. Pertama, sosok Rasulullah
sebagai pemimpin. Kedua,
masyarakat yang mampu mengaplikasikan kehendak pemimpin. Mereka melandasi diri dengan asas “sami’na wa atha’na” (kami mendengar sambil
menaati).
Saling mengerti
posisi masing-masing membuat Islam punya ruang untuk berkarya. Figur Nabi Muhammad sebagai pemimpin sanggup
mewarnai segenap sendi kehidupan. Dengan
watak kepemimpinan yang tegas, maka, peradaban Islam pun menggema ke seluruh
kolong langit.
Medinah menjadi
cahaya benderang bagi aneka budaya.
Bangsa yang ditaklukkan tak dihancurkan.
Mereka justru diberi peluang hidup sejajar dengan warga lain. Ekspedisi serta eksplorasi Islam tidak
menghukum, namun, membangun.
Atensi Intensi
Spirit hijrah
merupakan saripati yang layak digulirkan di Indonesia. Petaka yang merajam negeri ini seyogianya
menyadarkan kita untuk segera hijrah.
Rakyat Indonesia harus bersatu untuk menyongsong kehidupan yang lebih
baik.
Modal untuk
menata diri yakni mematuhi pemimpin.
Seorang pemimpin diikuti jika ia memiliki semangat pendorong.
Pada 4 Desember
2010, di acara Asia 21 Young Leaders Summit, Veronica Colondam membahas karakter
pemimpin. CEO Yayasan Cinta Anak Bangsa tersebut
memaparkan bila pemimpin butuh dua kategori yaitu atensi dan intensi.
Pemimpin mesti
peduli pekerjaan yang dilakukannya serta lingkungan sekitarnya atau punya
atensi. Kemudian pemimpin harus
berkomitmen dan konsisten menangani problem alias memiliki intensi.
Pemimpin yang
baik mesti mampu menciptakan serta mengimplementasikan program dan regulasi. Dengan demikian, negara ini memerlukan
pemimpin cerdas untuk merekonstruksi nilai, norma sekaligus perilaku
budaya. Pasalnya, selama ini masyarakat
terpukau tradisi, budaya dan sistem sosial dari luar.
Pemimpin tidak sepatutnya
berupaya mempertahankan dominasi kekuasaannya dengan mengabaikan rakyat. Tak pantas penguasa sibuk terus dengan persoalan
politik, koalisi, pemilu serta pilkada. Akibatnya,
kemiskinan dan kesehatan masyarakat terabaikan.
Di sisi lain, pemberantasan korupsi makin susut energinya. Pemerintah dianggap tidak serius menghajar
koruptor yang kian terkonsolidasi.
Pejabat publik ogah kapok mencoleng uang negara. Mentalitas aparatur negara sungguh memprihatinkan. Komisi Pemberantasan Korupsi berulang kali
menangkap tangan pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Mereka rupanya tiada sudi jera. Begitulah kondisi pejabat yang berjiwa tikus
minus malu.
Dewasa ini, masalah paling gawat tiada
lain lumpur panas Lapindo. Ribuan orang menderita
di Sidoarjo, tetapi, elite politik sepertinya menutup mata, menutup
telinga. Di mana tanggung jawab pemimpin
terhadap rakyatnya yang dizalimi sekelompok pengusaha?
Pemimpin yang tak
punya komitmen kemanusiaan seolah mempertegas tabiat bangsa ini. Kepekaan terhadap sesama manusia terasa makin
luntur. Aksi massa beringas nyaris
terjadi saban waktu. Bentrok
antar-kelompok kerap menimbulkan korban jiwa.
Masyarakat kecanduan melakukan tindak brutal demi menuntaskan persoalan. Kebangsaan Indonesia kian mencemaskan karena
berkembang ke arah masyarakat yang rentan retak. DPR, umpamanya, merancang pelbagai
program. Di sisi lain, masyarakat justru
menanggapinya secara negatif. Di tengah
bangsa yang resah ini, berkembang rasa tidak percaya terhadap pemerintah,
antar-instansi atau antar-warga.
Semua seolah lupa
kalau negeri ini dilandasi empat pilar kebangsaan. Asas ideal guna menjaga kemajemukan bangsa adalah
Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika serta Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Nakhoda Teladan
Pemimpin yang tak
memiliki komitmen terhadap nilai kebangsaan pasti terus dirundung nestapa. Apalagi, perubahan cepat nian
berlangsung. Tuntutan situasi yang tidak
segera ditangani akan menenggelamkan popularitas pemimpin. Bahkan, dianggap mati dalam arti
sesungguhnya.
Pemimpin kharismatik
di masa sekarang harus punya visi kuat.
Ia mesti memiliki komitmen terhadap keadilan transisi, peran masyarakat
sipil, pemberantasan korupsi, ekonomi hijau, ekologi, kebebasan berkomunikasi,
pemberdayaan wanita, kesenian dan kebudayaan.
Oligarki politik Orba yang menggurita di segala bidang kekuasaan harus selekasnya
didegradasi
Negara ini butuh
nakhoda yang bisa memberi teladan.
Pemimpin yang tak segan turun ke tengah rakyatnya untuk bahu-membahu
membangun negeri. Pemegang tampuk
kekuasaan yang rela berdampingan dengan rakyatnya di lintasan kehidupan sarat
pergolakan. Fenomena yang terpampang justru
solidaritas antar-elite politik yudikatif, legislatif serta eksekutif makin
terkikis
Pemimpin yang
baik sebenarnya merupakan guru keluhuran. Ia bukan sekedar peretas jalan yang penuh
pahit-getir kehidupan. Ia juga pendorong
dan penolong dalam merintis lorong gelap menuju kejayaan.
Rasulullah tidak
langsung hijrah meninggalkan Mekah. Ia
tetap menetap sembari mendorong umat Islam ke Medinah. Tatkala pengikutnya telah menghuni Medinah,
maka, Nabi Muhammad segera hijrah.
Di Medinah, Rasulullah
menjadi pusat program serta regulasi. Ia
membangun masjid tak berlaku mandor, namun, turut sebagai kuli. Hamzah, paman beliau, sampai geleng-geleng
kepala. Batu yang diangkat oleh Nabi
Muhammad diraihnya. Ia meminta sang Maha
Rasul itu istirahat.
Konfigurasi
watak yang ditunjukkan Nabi Muhammad ialah pemimpin dan pengikut mesti saling
mengisi. Pemimpin tidak selayaknya ongkang-ongkang
kaki sesudah merilis aturan. Pemimpin
merupakan refleksi dari program serta regulasi yang ditekennya. Dengan demikian, figur tokoh bersangkutan enteng
memotivasi menggapai kejayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar