Rabu, 06 November 2013

Hijrah dalam Konteks Indonesia

Hijrah dalam Konteks Indonesia

Oleh Abdul Haris Booegies

     Hijrah Nabi Muhammad ialah mencari tanah subur untuk tanaman bernama Islam.  Struktur Islam bukan sekedar aturan antara Tuhan dengan manusia.  Islam mencakup aspek sosial, politik, ekonomi, militer dan pengetahuan.

     Dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah tidak membuahkan hasil maksimal di Mekah.  Apalagi, Kakbah sudah begitu parah oleh bermacam sesembahan nista.  Sekitar 360 patung bersemayam di Kakbah, termasuk lukisan tentang malaikat.  Elemen itu pula yang membuat puak Yahudi ogah menetap di Mekah.  Bani Israil yang percaya the One True God repot menerima kultur Arab yang meyakini banyak tuhan.  Yahudi yang doyan menyiksa seraya membunuh nabi tetap mengakui Tuhan yang disembah Nabi Ibrahim, Nabi Yakub atau Nabi Musa.
     Nabi Muhammad akhirnya hijrah menuju ke Medinah.  Eksodus tersebut menjadi tonggak kegemilangan Islam.  Kaum Muslim yang semula lemah sontak bermetamorfosis kuat.
     Kode etik tata sosial diberlakukan.  Masyarakat baru itu saling mengisi.  Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
     Ada dua faktor yang menentukan keberhasilan Islam dalam membangun peradaban baru di Medinah.  Pertama, sosok Rasulullah sebagai pemimpin.  Kedua, masyarakat yang mampu mengaplikasikan kehendak pemimpin.  Mereka melandasi diri dengan asas “sami’na wa atha’na” (kami mendengar sambil menaati).
     Saling mengerti posisi masing-masing membuat Islam punya ruang untuk berkarya.  Figur Nabi Muhammad sebagai pemimpin sanggup mewarnai segenap sendi kehidupan.  Dengan watak kepemimpinan yang tegas, maka, peradaban Islam pun menggema ke seluruh kolong langit.
     Medinah menjadi cahaya benderang bagi aneka budaya.  Bangsa yang ditaklukkan tak dihancurkan.  Mereka justru diberi peluang hidup sejajar dengan warga lain.  Ekspedisi serta eksplorasi Islam tidak menghukum, namun, membangun.

Atensi Intensi
     Spirit hijrah merupakan saripati yang layak digulirkan di Indonesia.  Petaka yang merajam negeri ini seyogianya menyadarkan kita untuk segera hijrah.  Rakyat Indonesia harus bersatu untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.
     Modal untuk menata diri yakni mematuhi pemimpin.  Seorang pemimpin diikuti jika ia memiliki semangat pendorong.
     Pada 4 Desember 2010, di acara Asia 21 Young Leaders Summit, Veronica Colondam membahas karakter pemimpin.  CEO Yayasan Cinta Anak Bangsa tersebut memaparkan bila pemimpin butuh dua kategori yaitu atensi dan intensi.
     Pemimpin mesti peduli pekerjaan yang dilakukannya serta lingkungan sekitarnya atau punya atensi.  Kemudian pemimpin harus berkomitmen dan konsisten menangani problem alias memiliki intensi.
     Pemimpin yang baik mesti mampu menciptakan serta mengimplementasikan program dan regulasi.  Dengan demikian, negara ini memerlukan pemimpin cerdas untuk merekonstruksi nilai, norma sekaligus perilaku budaya.  Pasalnya, selama ini masyarakat terpukau tradisi, budaya dan sistem sosial dari luar.
     Pemimpin tidak sepatutnya berupaya mempertahankan dominasi kekuasaannya dengan mengabaikan rakyat.  Tak pantas penguasa sibuk terus dengan persoalan politik, koalisi, pemilu serta pilkada.  Akibatnya, kemiskinan dan kesehatan masyarakat terabaikan.  Di sisi lain, pemberantasan korupsi makin susut energinya.  Pemerintah dianggap tidak serius menghajar koruptor yang kian terkonsolidasi.
     Pejabat  publik ogah kapok mencoleng uang negara.  Mentalitas aparatur negara sungguh memprihatinkan.  Komisi Pemberantasan Korupsi berulang kali menangkap tangan pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif.  Mereka rupanya tiada sudi jera.  Begitulah kondisi pejabat yang berjiwa tikus minus malu.
     Dewasa ini, masalah paling gawat tiada lain lumpur panas Lapindo.  Ribuan orang menderita di Sidoarjo, tetapi, elite politik sepertinya menutup mata, menutup telinga.  Di mana tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya yang dizalimi sekelompok pengusaha?
     Pemimpin yang tak punya komitmen kemanusiaan seolah mempertegas tabiat bangsa ini.  Kepekaan terhadap sesama manusia terasa makin luntur.  Aksi massa beringas nyaris terjadi saban waktu.  Bentrok antar-kelompok kerap menimbulkan korban jiwa.  Masyarakat kecanduan melakukan tindak brutal demi menuntaskan persoalan.  Kebangsaan Indonesia kian mencemaskan karena berkembang ke arah masyarakat yang rentan retak.  DPR, umpamanya, merancang pelbagai program.  Di sisi lain, masyarakat justru menanggapinya secara negatif.  Di tengah bangsa yang resah ini, berkembang rasa tidak percaya terhadap pemerintah, antar-instansi atau antar-warga.
     Semua seolah lupa kalau negeri ini dilandasi empat pilar kebangsaan.  Asas ideal guna menjaga kemajemukan bangsa adalah Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Nakhoda Teladan
     Pemimpin yang tak memiliki komitmen terhadap nilai kebangsaan pasti terus dirundung nestapa.  Apalagi, perubahan cepat nian berlangsung.  Tuntutan situasi yang tidak segera ditangani akan menenggelamkan popularitas pemimpin.  Bahkan, dianggap mati dalam arti sesungguhnya.
     Pemimpin kharismatik di masa sekarang harus punya visi kuat.  Ia mesti memiliki komitmen terhadap keadilan transisi, peran masyarakat sipil, pemberantasan korupsi, ekonomi hijau, ekologi, kebebasan berkomunikasi, pemberdayaan wanita, kesenian dan kebudayaan.  Oligarki politik Orba yang menggurita di segala bidang kekuasaan harus selekasnya didegradasi
     Negara ini butuh nakhoda yang bisa memberi teladan.  Pemimpin yang tak segan turun ke tengah rakyatnya untuk bahu-membahu membangun negeri.  Pemegang tampuk kekuasaan yang rela berdampingan dengan rakyatnya di lintasan kehidupan sarat pergolakan.  Fenomena yang terpampang justru solidaritas antar-elite politik yudikatif, legislatif serta eksekutif makin terkikis
     Pemimpin yang baik sebenarnya merupakan guru keluhuran.  Ia bukan sekedar peretas jalan yang penuh pahit-getir kehidupan.  Ia juga pendorong dan penolong dalam merintis lorong gelap menuju kejayaan.
     Rasulullah tidak langsung hijrah meninggalkan Mekah.  Ia tetap menetap sembari mendorong umat Islam ke Medinah.  Tatkala pengikutnya telah menghuni Medinah, maka, Nabi Muhammad segera hijrah.
     Di Medinah, Rasulullah menjadi pusat program serta regulasi.  Ia membangun masjid tak berlaku mandor, namun, turut sebagai kuli.  Hamzah, paman beliau, sampai geleng-geleng kepala.  Batu yang diangkat oleh Nabi Muhammad diraihnya.  Ia meminta sang Maha Rasul itu istirahat.
     Konfigurasi watak yang ditunjukkan Nabi Muhammad ialah pemimpin dan pengikut mesti saling mengisi.  Pemimpin tidak selayaknya ongkang-ongkang kaki sesudah merilis aturan.  Pemimpin merupakan refleksi dari program serta regulasi yang ditekennya.  Dengan demikian, figur tokoh bersangkutan enteng memotivasi menggapai kejayaan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People