Menyimak
al-Qur’an
Lewat
Terjemah
Oleh
Abdul Haris Booegies
Astagfirullah. Semua
terperangah bin terperanjat. Ada pejabat Kementerian Agama bersama
anggota Badan Anggaran DPR berstatus tersangka korupsi al-Qur’an.
Ini baru berita. Bayangkan, al-Qur’an dikorupsi. Untung yang
dikorupsi adalah lembaran-lembaran fulus. Bukan korupsi untuk
memelencengkan arti al-Qur’an.
Proyek
pengadaan al-Qur’an di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Kementerian Agama pada 2011-2012, yang bernoda korupsi begitu
mengiris kalbu. Korupsi al-Qur’an tentu tak terkait dengan agama.
Ini murni mental manusia Indonesia yang doyan korupsi.
Anggaran
al-Qur’an boleh jadi rawan dicoleng, tetapi, tidak bagi ayat-ayat
Allah. Sekalipun al-Qur’an telah mengarungi kurun waktu 14 abad,
namun, sampai sekarang belum ada satu titik dan aksara al-Qur’an
yang terkorupsi. Ini tergolong ajaib.
Al-Qur’an
sulit dinodai karena berpuluh ribu orang menghafal al-Qur’an. Para
hafiz (penghafal al-Qur’an) inilah yang menjaga ayat-ayat
Allah dari distorsi. Sementara terjemahan al-Qur’an yang beragam
dalam sebuah bahasa, juga mustahil melenceng. Sebab, seluruh
terjemahan mutlak melampirkan teks asli. Kalau terjemahan tak
menautkan naskah otentik, bermakna kitab suci bersangkutan rentan
dari pemalsuan. Ini gara-gara ketiadaan sumber untuk mengecek
keabsahannya.
Terjemah
al-Qur’an bukan al-Qur’an sesungguhnya. Bukan al-Qur’an sejati
yang diwahyukan kepada Maha Rasul Muhammad. Al-Qur’an senantiasa
berbahasa Arab klasik. Tidak dinamakan al-Qur’an jika
firman-firman Allah tersebut disadur ke bahasa Bugis atau Perancis.
Soalnya, terjemah muskil menampung seratus persen maksud al-Qur’an.
Alih bahasa mustahil sepadan dengan arti hakiki yang dimaksud Allah.
Apalagi, bahasa al-Qur’an bernas, ringkas, puitis sekaligus sarat
makna. Sedangkan aneka bahasa yang digunakan dalam terjemah tak
efektif serta efisien.
Puitis
Terjemah
al-Qur’an hanya deretan kata manusia, bukan untaian Kalam Ilahi
dari Lauhul Mahfuz. Hingga, terjemah al-Qur’an tidak
hidup, tak punya sukma yang bisa menggelorakan spirit. Terjemah
al-Qur’an selalu kaku dan acap membingungkan. Dengan demikian,
posisi terjemah sekedar “pengantar” untuk membaca al-Qur’an.
Bukan “kunci” buat memahami al-Qur’an.
Terjemah
al-Qur’an tidak pernah serupa. Terjemah senantiasa tampil beda.
Aspek itu menandaskan bahwa terjemah tak mungkin setara dengan
al-Qur’an. Maklum, Kalam Ilahi tersebut memiliki irama dalam teks,
kejelasan makna, sintaks kalimat serta penggunaan kata.
Terjemah
al-Qur’an secara harfiah (letterlejk) termasuk repot
diaplikasikan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa terjemah harfiah
rumit lantaran membutuhkan persyaratan yang berat direalisasikan.
Terjemah harfiah susah karena ada mufradat (sinonim) per
huruf antara bahasa penerjemah dengan bahasa al-Qur’an. Kemudian
ada tanda baca yang sama pada bahasa penerjemah terhadap tanda baca
pada bahasa al-Qur’an. Tanda baca tersebut minimal mirip. Selain
itu, terjemahan secara harfiah menuntut kesamaan susunan kata antara
bahasa penerjemah dengan bahasa al-Qur’an. Kesamaan tersebut
mencakup kalimat, sifat atau tambahan-tambahannya. Terjemah
harfiah diharamkan ulama akibat arti yang dikandungnya kurang
sempurna. Hatta, jauh dari maksud al-Qur’an.
Walau
sukar, tetapi, ada terjemah yang benar-benar setia pada kata-kata
dalam al-Qur’an. Mereka berusaha selaras dengan wahyu. Sebab,
khawatir mengaburkan makna. Mereka menjaga interpolasi pikiran.
Terjemah
tidak lepas pula dari platform sastra. Terjemah berdimensi
puitis itu diperkaya dengan nuansa keindahan bahasa si penerjemah.
Dalam kasus ini, penerjemah dapat digolongkan sebagai figur liberal.
Pasalnya, menyuntikkan semangat bahasa ibu si penerjemah ke dalam
terjemah. Mereka tak menyukai kesetiaan pada tiap kata-kata Arab.
Penerjemah semacam ini menggunakan kebebasan dengan kata-kata
pilihan.
Di
berbagai bentala, ada terjemah yang benar-benar akademis. Ada
juga sekedar informatif dengan bumbu bahasa jurnalistik sastrawi.
Tiap kalimat tidak setia dengan kata per kata al-Qur’an. Spirit
yang diemban ialah bagaimana al-Qur’an cepat diserap dan tak
membosankan ditelaah.
Pada
akhirnya, seluruh terjemahan dilandasi vitalitas agar Kalam Ilahi
tersebut membuncah di hati. Tiada seorang pun ingin menampilkan
terjemahan ala kadarnya. Elemen itu pula yang membuat segenap
terjemahan wajib dilengkapi di sisi kanan atau atasnya teks al-Qur’an
tulen yang berbahasa Arab. Alhasil, bila ada yang salah atau keliru,
maka, pembaca segera menengok al-Qur’an asli.
Terjemah
apa saja terasa sempurna kalau dilampiri al-Qur’an sejati.
Pasalnya, al-Qur’an berbahasa Arab tersebut sanggup berpengaruh
secara psikologis terhadap pembacanya, biarpun ia tidak mengerti
bahasa Arab.
Ta’zim
Di
luar negara-negara Arab, istilah paling membingungkan dalam al-Qur’an
yakni kata nahnu. Dhamir (kata ganti) nahnu
berarti kita atau kami. Dalam ilmu Nahwu, nahnu bisa
diterjemahkan kita, kami, saya atau yang lain tergantung konteks
kalimat.
Dalam
bahasa Arab, istilah serta kata tak selalu bermakna zahir atau apa
adanya. Sebagai contoh, kata antum (kalian). Antum
sering dipakai untuk menyapa lawan bicara kendati cuma satu orang.
Tidak digunakan kata anta (kamu). Pemakaian antum yang
plural dianggap lebih sopan sembari menghargai lawan bicara.
Di
Indonesia, orang menyapa lawan bicara dengan kamu, Anda atau tuan.
Kamu, Anda dan tuan punya rasa bahasa yang berbeda. Kamu biasa
digunakan untuk lawan bicara yang lebih muda atau di kalangan sebaya.
Anda dipakai kepada lawan bicara yang dituakan. Sementara tuan buat
orang yang dimuliakan. Anda serta tuan dalam sosio-linguistik Arab
berarti ta’zim alias kata beradab terhadap lawan bicara yang
memiliki derajat tinggi atau kepada khalayak.
“Kami”
merupakan sebutan Allah untuk diri-Nya. Dalam bahasa Arab, ada jamak
kuantitas dan jamak kualitas. Jamak kuantitas (al-mutakallim ma’a
ghairihi) menunjukkan jumlah banyak atau kata ganti orang pertama
plural. Sedangkan jamak kualitas (al-mutakallim al-muazzim li
nafsih) menerangkan pola tunggal dengan banyak predikat atau
bermakna keagungan atas dirinya.
Allah
menegaskan diri dengan “Kami” berkat predikat di sisi-Nya
berjumlah banyak. Zat Esa itu tercantum sebagai pencipta, pengatur,
pemelihara, pemaaf, penyayang serta Raja Diraja alam semesta. Allah
tak tidur! Ia sibuk terus mencipta seraya mendengar doa insan saleh.
“Semua
makhluk di langit dan bumi senantiasa memohon kepada-Nya. Tiap waktu
Ia sibuk (mencipta serta memelihara makhluk-makhluk-Nya)”
(ar-Rahman: 29).
Saat
membaca al-Qur’an, maka, bertabur kata Allah dalam Kitab Suci.
Harap dimafhumi bahwa nama asli penguasa langit dan bumi tiada lain
Allah. “Aku ini Allah. Tiada Tuhan kecuali Aku!” (Thaha:
14).
Allah
sendiri memaklumatkan jika nama-Nya adalah Allah. Allah merupakan
nama diri (proper name) dari Zat Maha Kuasa. Dalam kaidah
bahasa Arab, kata Allah berwujud ism jamid. Kategori tersebut
menjabarkan bila kata Allah bukan ism yang diambil dari kata
kerja. Arkian, tidak boleh diubah dalam bentuk apa pun!
(Caktawala,
Sabtu, 21 Juli 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar