سبحنك لا علم لنا الا ما علمتنا انك انت العليم الحكيم
"Mahasuci Engkau, ya Allah.
Tiada ilmu pada diri kami selain yang Engkau ajarkan.
Engkau Mahaberpengetahuan. Pemilik Hikmah nan Bijaksana"
(al-Baqarah: 32)
“Siapa
melihatku dalam mimpi. Ia benar-benar melihatku. Setan tak dapat
menyerupai diriku” (al-Bukhari).
Seseorang
berseru: “Nabi Muhammad akan datang”. Saya yang sedang berjalan
kaki di suatu tempat pesimistis bisa melihat Rasulullah. Artis atau
tokoh nasional saja repot dipandang dari dekat. Apalagi ini Maha
Rasul, tuan segala Nabi.
Suara
dentuman tiba-tiba terdengar. Langit biru pun berhias kembang api.
Dentuman dan kembang api menandakan Nabi Muhammad telah tiba. Saya
ikut arus kerumunan yang mengarah ke tempat penyambutan.
Sebuah
mobil mirip Cadillac
Presidential Limousine
yang biasa ditumpangi Presiden Amerika Serikat kemudian singgah.
Khalayak bergerombol di sebuah rumah. Saya mendekat. Ada rasa takut
menjalar di tubuh. Takut karena sosok ini adalah Rasulullah.
Saya
berdiri di sisi pintu. Di dalam rumah hanya segelintir orang.
Seorang pria duduk bersila. Di pangkuannya duduk seorang anak usia
sekitar lima tahun. Ia berpakaian serta bercelana putih. Ia terus
tertawa lantaran bercanda dengan pria yang memangkunya.
Anak
tersebut rupanya Nabi Muhammad kala masih kanak-kanak. Fisik paling
membekas di hati saya yakni giginya. Dua gigi serinya terlihat lebih
panjang. Gigi seri itu juga tidak rapat, namun, renggang.
Astagfirullah. Semua
terperangah bin terperanjat. Ada pejabat Kementerian Agama bersama
anggota Badan Anggaran DPR berstatus tersangka korupsi al-Qur’an.
Ini baru berita. Bayangkan, al-Qur’an dikorupsi. Untung yang
dikorupsi adalah lembaran-lembaran fulus. Bukan korupsi untuk
memelencengkan arti al-Qur’an.
Proyek
pengadaan al-Qur’an di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Kementerian Agama pada 2011-2012, yang bernoda korupsi begitu
mengiris kalbu. Korupsi al-Qur’an tentu tak terkait dengan agama.
Ini murni mental manusia Indonesia yang doyan korupsi.
Anggaran
al-Qur’an boleh jadi rawan dicoleng, tetapi, tidak bagi ayat-ayat
Allah. Sekalipun al-Qur’an telah mengarungi kurun waktu 14 abad,
namun, sampai sekarang belum ada satu titik dan aksara al-Qur’an
yang terkorupsi. Ini tergolong ajaib.
Al-Qur’an
sulit dinodai karena berpuluh ribu orang menghafal al-Qur’an. Para
hafiz (penghafal al-Qur’an) inilah yang menjaga ayat-ayat
Allah dari distorsi. Sementara terjemahan al-Qur’an yang beragam
dalam sebuah bahasa, juga mustahil melenceng. Sebab, seluruh
terjemahan mutlak melampirkan teks asli. Kalau terjemahan tak
menautkan naskah otentik, bermakna kitab suci bersangkutan rentan
dari pemalsuan. Ini gara-gara ketiadaan sumber untuk mengecek
keabsahannya.
Terjemah
al-Qur’an bukan al-Qur’an sesungguhnya. Bukan al-Qur’an sejati
yang diwahyukan kepada Maha Rasul Muhammad. Al-Qur’an senantiasa
berbahasa Arab klasik. Tidak dinamakan al-Qur’an jika
firman-firman Allah tersebut disadur ke bahasa Bugis atau Perancis.
Soalnya, terjemah muskil menampung seratus persen maksud al-Qur’an.
Alih bahasa mustahil sepadan dengan arti hakiki yang dimaksud Allah.
Apalagi, bahasa al-Qur’an bernas, ringkas, puitis sekaligus sarat
makna. Sedangkan aneka bahasa yang digunakan dalam terjemah tak
efektif serta efisien.
Puitis
Terjemah
al-Qur’an hanya deretan kata manusia, bukan untaian Kalam Ilahi
dari Lauhul Mahfuz. Hingga, terjemah al-Qur’an tidak
hidup, tak punya sukma yang bisa menggelorakan spirit. Terjemah
al-Qur’an selalu kaku dan acap membingungkan. Dengan demikian,
posisi terjemah sekedar “pengantar” untuk membaca al-Qur’an.
Bukan “kunci” buat memahami al-Qur’an.
Terjemah
al-Qur’an tidak pernah serupa. Terjemah senantiasa tampil beda.
Aspek itu menandaskan bahwa terjemah tak mungkin setara dengan
al-Qur’an. Maklum, Kalam Ilahi tersebut memiliki irama dalam teks,
kejelasan makna, sintaks kalimat serta penggunaan kata.
Terjemah
al-Qur’an secara harfiah (letterlejk) termasuk repot
diaplikasikan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa terjemah harfiah
rumit lantaran membutuhkan persyaratan yang berat direalisasikan.
Terjemah harfiah susah karena ada mufradat (sinonim) per
huruf antara bahasa penerjemah dengan bahasa al-Qur’an. Kemudian
ada tanda baca yang sama pada bahasa penerjemah terhadap tanda baca
pada bahasa al-Qur’an. Tanda baca tersebut minimal mirip. Selain
itu, terjemahan secara harfiah menuntut kesamaan susunan kata antara
bahasa penerjemah dengan bahasa al-Qur’an. Kesamaan tersebut
mencakup kalimat, sifat atau tambahan-tambahannya.Terjemah
harfiah diharamkan ulama akibat arti yang dikandungnya kurang
sempurna. Hatta, jauh dari maksud al-Qur’an.
Walau
sukar, tetapi, ada terjemah yang benar-benar setia pada kata-kata
dalam al-Qur’an. Mereka berusaha selaras dengan wahyu. Sebab,
khawatir mengaburkan makna. Mereka menjaga interpolasi pikiran.
Terjemah
tidak lepas pula dari platform sastra. Terjemah berdimensi
puitis itu diperkaya dengan nuansa keindahan bahasa si penerjemah.
Dalam kasus ini, penerjemah dapat digolongkan sebagai figur liberal.
Pasalnya, menyuntikkan semangat bahasa ibu si penerjemah ke dalam
terjemah. Mereka tak menyukai kesetiaan pada tiap kata-kata Arab.
Penerjemah semacam ini menggunakan kebebasan dengan kata-kata
pilihan.
Di
berbagai bentala, ada terjemah yang benar-benar akademis. Ada
juga sekedar informatif dengan bumbu bahasa jurnalistik sastrawi.
Tiap kalimat tidak setia dengan kata per kata al-Qur’an. Spirit
yang diemban ialah bagaimana al-Qur’an cepat diserap dan tak
membosankan ditelaah.
Pada
akhirnya, seluruh terjemahan dilandasi vitalitas agar Kalam Ilahi
tersebut membuncah di hati. Tiada seorang pun ingin menampilkan
terjemahan ala kadarnya. Elemen itu pula yang membuat segenap
terjemahan wajib dilengkapi di sisi kanan atau atasnya teks al-Qur’an
tulen yang berbahasa Arab. Alhasil, bila ada yang salah atau keliru,
maka, pembaca segera menengok al-Qur’an asli.
Terjemah
apa saja terasa sempurna kalau dilampiri al-Qur’an sejati.
Pasalnya, al-Qur’an berbahasa Arab tersebut sanggup berpengaruh
secara psikologis terhadap pembacanya, biarpun ia tidak mengerti
bahasa Arab.
Ta’zim
Di
luar negara-negara Arab, istilah paling membingungkan dalam al-Qur’an
yakni kata nahnu. Dhamir (kata ganti) nahnu
berarti kita atau kami. Dalam ilmu Nahwu, nahnu bisa
diterjemahkan kita, kami, saya atau yang lain tergantung konteks
kalimat.
Dalam
bahasa Arab, istilah serta kata tak selalu bermakna zahir atau apa
adanya. Sebagai contoh, kata antum (kalian). Antum
sering dipakai untuk menyapa lawan bicara kendati cuma satu orang.
Tidak digunakan kata anta (kamu). Pemakaian antum yang
plural dianggap lebih sopan sembari menghargai lawan bicara.
Di
Indonesia, orang menyapa lawan bicara dengan kamu, Anda atau tuan.
Kamu, Anda dan tuan punya rasa bahasa yang berbeda. Kamu biasa
digunakan untuk lawan bicara yang lebih muda atau di kalangan sebaya.
Anda dipakai kepada lawan bicara yang dituakan. Sementara tuan buat
orang yang dimuliakan. Anda serta tuan dalam sosio-linguistik Arab
berarti ta’zim alias kata beradab terhadap lawan bicara yang
memiliki derajat tinggi atau kepada khalayak.
“Kami”
merupakan sebutan Allah untuk diri-Nya. Dalam bahasa Arab, ada jamak
kuantitas dan jamak kualitas. Jamak kuantitas (al-mutakallim ma’a
ghairihi) menunjukkan jumlah banyak atau kata ganti orang pertama
plural. Sedangkan jamak kualitas (al-mutakallim al-muazzim li
nafsih) menerangkan pola tunggal dengan banyak predikat atau
bermakna keagungan atas dirinya.
Allah
menegaskan diri dengan “Kami” berkat predikat di sisi-Nya
berjumlah banyak. Zat Esa itu tercantum sebagai pencipta, pengatur,
pemelihara, pemaaf, penyayang serta Raja Diraja alam semesta. Allah
tak tidur! Ia sibuk terus mencipta seraya mendengar doa insan saleh.
“Semua
makhluk di langit dan bumi senantiasa memohon kepada-Nya. Tiap waktu
Ia sibuk (mencipta serta memelihara makhluk-makhluk-Nya)”
(ar-Rahman: 29).
Saat
membaca al-Qur’an, maka, bertabur kata Allah dalam Kitab Suci.
Harap dimafhumi bahwa nama asli penguasa langit dan bumi tiada lain
Allah. “Aku ini Allah. Tiada Tuhan kecuali Aku!” (Thaha:
14).
Allah
sendiri memaklumatkan jika nama-Nya adalah Allah. Allah merupakan
nama diri (proper name) dari Zat Maha Kuasa. Dalam kaidah
bahasa Arab, kata Allah berwujud ism jamid. Kategori tersebut
menjabarkan bila kata Allah bukan ism yang diambil dari kata
kerja. Arkian, tidak boleh diubah dalam bentuk apa pun!
(Caktawala,
Sabtu, 21 Juli 2012)
Sabtu, 14 Juli 2012
Pers
Mahasiswa di Era Blogseksual
Oleh Abdul
Haris Booegies
Reporter
Lektura
1990-1992
Harian
Cakrawala sudah beberapa bulan hadir di tengah masyarakat
Sulawesi Selatan. Sebuah koran inovatif yang menambah semarak dunia
pers.
Sebagai
orang yang sempat berkecimpung di media mahasiswa, saya mendambakan
Cakrawala menjadi surat kabar yang akrab dengan mahasiswa.
Sebab, pers mahasiswa makin susah bernafas. Dana minim kian
meminggirkan posisi penerbitan kampus.
Tatkala
memperhatikan pers mahasiswa yang jatuh-bangun dewasa ini, saya
haqqul-yaqin bila zaman keemasan telah berlalu. Bulan madu
tinggal kenangan. Pers kampus yang lantang tidak lagi memiliki
spirit.
Penerbitan
mahasiswa tamat karena dua masalah. Pertama, media mainstream
semacam harian Cakrawala melansir berita apa saja.
Warta-warta sensitif enteng diekspos. Padahal, dulu itu bagian pers
kampus. Kedua, media digital seperti news portal, blog
maupun media sosial makin bergemuruh. Bahasa, interaksi serta
aplikasinya lebih gaul, keren dan semau gue.
Pers
mahasiswa yang nekat terbit pasti mencari bentuk lain. Sebagai
umpama, media-media yang dikelola mahasiwa fokus pada sejarah atau
budaya. Ini sesungguhnya riskan serta membosankan. Apalagi, mirip
Wikipedia. Dampaknya tentu kurang menyengat. Tiada efek
politik atau sosial. Padahal, dari rahim mahasiswa diidamkan lahir
konstruksi baru.
Pers
kampus dalam lima tahun ke depan pasti kian nelangsa. Maut niscaya
mencabik-cabiknya. Pasalnya, era digital beranjak dewasa. Media
cetak sudah wassalam. Segenap harian terkemuka telah tampil
dalam kemasan online. Aplikasinya tersedia gratis di
smartphone.
Majalah
Lektura
Pada
pertengahan 1980-an, pers mahasiswa di Makassar kehilangan energi.
Tiada media yang bisa mewakili aspirasi mahasiswa.
Pada
Rabu, 27 Juni 1990, sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin bertekad menerbitkan majalah Lektura. Media ini
diawaki Sukma Rasyid, Andi Ilham Paulangi, Nasru Alam Aziz, Rahmawaty
Syukur, Mustam Arif, Syahrul Hadi, Taufik Aas P bersama Mukhlis Amans
Hady.
Sebagai
reporter Lektura, saya menganggap bahwa personel Lektura
bukan orang jenius. Terbetik kebimbangan jika kelak Lektura
hanya sekali berarti sesudah itu mati. Pengasuh Lektura
sekedar “manusia abnormal positif”. Semangat menyala-nyala,
namun, tak memahami medan yang bakal ditempuh. Mereka ibarat
Christopher Columbus. Mencari negeri impian yang belum tercetak di
peta dunia.
Di
luar dugaan, “kumpulan insan terbatas” Lektura justru
melahirkan kerja sama akurat. Hasilnya luar biasa. Majalah Lektura
menjadi pionir pers mahasiswa di Unhas.
Sekonyong-konyong seluruh
fakultas menggeliat menerbitkan tabloid. Format tabloid menjadi
idola gara-gara sugesti Bola dan Monitor. Dua tabloid
tersebut laku keras bin laris manis sebagai panduan olah raga serta
televisi.
Lektura
nyaris berkarakter tabloid. Saya berkhotbah bahwa model tabloid cuma
bertahan beberapa menit di tangan pembaca. Usai dilihat, maka,
tabloid gampang menjadi alas duduk atau pembungkus kacang goreng.
Berbeda dengan majalah. Usianya sanggup bertahan di atas sehari,
sepekan, sebulan atau setahun. Selain itu, format majalah lebih
elegan. Kreativitas pun terpicu untuk mendesain sampul.
Dari
Lektura, ada hikmah yang dapat dipetik. Pengelola harus
sehati sebagai saudara. Saling mengisi demi menunjang satu sama
lain. Tidak boleh ada rencana buruk yang bermakna berencana untuk
gagal. Redaksi dituntut giat buat menghasilkan yang terbaik.
Soalnya, kehidupan tak dirancang untuk menang. Sehati sebagai
saudara akhirnya menumbuhkan rasa cinta guna menekuni dunia
jurnalistik.
All
in One
Lektura
wafat sejak dua dasawarsa silam. Biarpun telah khatam, tetapi,
Lektura masih bisa dinikmati di blog, Google+ berikut
Facebook.
Blog
Lektura (http://majalah-lektura.blogspot.com/) yang tampil
keren dan dinamis mengirim sinyal prospektif. Dua tahun lagi akan
tiba Zaman Blogseksual. Semua berkat perkembangan globalisasi
teknologi di masa depan.
Saya
menamakannya Era Blogseksual karena gairah manusia untuk
mengaktualisasi diri lewat blog. Apalagi, kita sudah akrab dengan
social technology semacam social networking, microblog,
location based service serta photo sharing yang dipandu
jaringan internet nirkabel (Wi-Fi).
Zaman
Blogseksual pasti datang. Era tersebut bakal menggiring orang makin
cerdas dan narsis. Pintar karena ceceran kabar di Internet tersedia
melebihi ikan di samudera. Narsis berkat Picasa serta
Instagram dapat dicangkokkan di blog. Zaman Blogseksual
menjadi masa transisi penduduk planet ini untuk melaju ke masyarakat
berjaringan (the network society).
Weblog
paling memukau dan memanjakan yaitu Blogger kepunyaan Google.
Walau komunitas Blogger sekitar 30 juta di dunia, namun,
wadah ini berkembang dinamis. Apalagi, dengan satu password,
pemilik akun bisa bergentayangan di Blogger, Gmail, G+, YouTube
serta Picasa. Ini tergolong layanan all in one yang
spektakuler.
Facebook
sebagai lawan tangguh Google pun segera berbenah diri. Pasca
akuisisi Instagram, Facebook dalam waktu dekat akan
meluncurkan ponsel Facebook. Persaingan sengit
Google-Facebook menjadi jalan tol menuju ke periode
multimedia, multiplatform dan multichannel (3 M).
Era
Blogseksual mempercepat ajal media konvensional alias cetak. Para
pelaku industri bidang percetakan pun berlomba mengais rezeki di
dunia maya. Mereka mengantisipasi amuk Network Blog. Istilah
ini diperkenalkan pertama kali oleh Ayu Bella Fauziah.
Network
Blog merupakan suatu skema yang merangsang warga untuk
berpartisipasi dalam mengeksplorasi serta menyiarkan informasi.
Pengelola blog mempublikasikan berita kendati hanya punya secuil
pengetahuan di bidang jurnalistik. Mereka membangun kecerdasan
manusia dengan mengekstraksikan deretan aksara bernas.
High
Definition
Di
masa sekarang, makan dan tidur merupakan aspek pokok dalam kehidupan.
Sementara di Zaman Blogseksual, seks serta mengecek social
technology menjadi ihwal yang paling dikehendaki sepanjang hari.
Mengecek blog dan media sosial bakal setara dengan seks. Kecanduan
terhadap blog telah menjalar ke tulang sumsum sebagaimana seks.
Manusia repot menahan diri dari blog. Tangan terasa gatal untuk bergegas
menulis status update di jejaring sosial. Ini merupakan
konsekuensi teknologi informasi serta komunikasi bagi peradaban
dunia.
Umat
manusia yang terkoneksi dengan Internet tiap detik selama 24 jam
secara kontinyu, akan tampil lugas dengan aneka gadget yang
high definition (HD). Teknologi informasi dan komunikasi yang
pesat berkembang, membuat Era Blogseksual tinggal menghitung hari.
Siapa tidak memiliki blog, ia tersesat di tengah jaringan multimedia
global. Ia terdepak dari hiruk-pikuk arus informasi. Maklum,
kekuatan manusia di tarikh 2015 yakni informasi.
Semua
mutlak mengelola sembari mengontrol informasi demi meracik kehidupan.
Tak perlu otak berskala Einstein untuk menapak Zaman Blogseksual.
“Manusia abnormal positif” ala Lektura sudah cukup.
Sebab, Blogseksual berasas kasih sayang dalam merakit informasi pada
jaringan digital. Hingga, informasi yang dikemas mampu
mendayagunakan diri serta lingkungan di tengah masyarakat
ultra-mutakhir.