Kata Kenangan: Level Terkini
Oleh Abdul Haris Booegies
Dalam percakapan dengan seseorang atau sekelompok individu, kita kerap terkesan dengan sebuah kalimat yang terucap. Barangkali himpunan kata itu indah, bertenaga, inspiratif atau mengandung nasehat luhur. Sebait kalimat tersebut boleh jadi diperoleh dari interaksi santai menjelang senja, diskusi atau khotbah perihal dongeng kesalehan.
Sebuah kalimat yang membekas, bukan hanya enteng melewati zaman maupun generasi. Kata-kata pilihan itu kiranya dapat memperbarui sesuatu dalam diri, mengubah pola pikir atau menjadi komedi hitam di masa mendatang. Apa yang dulu menyakitkan, rupanya bersalin rupa menjadi bahan tawa setelah melewati berlapis dasawarsa. Aspek lain boleh jadi sebaliknya. Kekonyolan yang membuat kita terpingkal-pingkal, bisa jadi menimbulkan dendam berkarat dalam sanubari.
Dalam skala kecil interaksi, serumpun kata bermakna juga terkadang muncul. Sebagai umpama, di Pesantren IMMIM. Saya ingat sewaktu kelas III. Pendiri pesantren murka. Haji Fadeli Luran berkacak pinggang menyemburkan amarah. Semua gara-gara ada sekelompok santri melempari rumah Pimpinan Kampus yang terletak dekat 20 toilet. Ini berawal tatkala beredar isu SPP bakal dinaikkan.
Selama tiga malam berturut-turut, rumah Pimpinan Kampus dilempari jika tengah malam. Kabar tak sedap ini akhirnya didengar pendiri pesantren.
Bakda Magrib, Haji Fadeli Luran pun meluapkan kemarahan. Ia mencela pelemparan rumah Pimpinan Kampus. Santri lantas dituding sebagai "setan berbulu".
Ungkapan "setan berbulu" biasa terdengar di negeri-negeri Bugis sekitar Sidrap. Ini adalah makian bagi orang nista, kelompok terkutuk atau makhluk laknat. Di mata pendiri pesantren, segerombol santri telah menjadi insan negatif alias setan berbulu.
Di Pesantren IMMIM, interaksi sesama santri melahirkan banyak kata-kata yang sulit terlupa. Apalagi, anak IMMIM andal merangkai morfem baru yang memelencengkan makna kata. Biarpun suka usil dalam merangkai secara salah bahasa, tetapi, orientasi tersebut tidak mendefinisikan identitas orisinal santri IMMIM.
Di suatu Sabtu pagi saat kelas III, saya mengagetkan rekan di kamar 1 rayon Pangeran Diponegoro.
"Maujud tuffahah shabahan", desisku dalam bahasa Arab Tamalanrea (Ararea) dengan mimik serius.
Kawan-kawan berkumpul. Ada apa? Apa itu tuffahah shabahan? Mereka seolah meminta konfirmasi validitas diksi.
"Maujud tuffahah shabahan", ulangku sambil berakting ketakutan seolah hendak diterkam binatang buas.
"Apa itu tuffahah shabahan? Ada apa?"
"Apel pagi!" Jawabku ketus.
"Sariqun, azunnu maza (sialan, saya kira apa)", umpat penghuni kamar.
Apel dalam bahasa Arab ialah tuffahah (تفاحة). Sedangkan pagi yakni shabahun (صباح). Saya tidak tahu bahasa Arab tentang "upacara" (احتفال) alias ceremony atau "apel pagi" (موكب الصباح) alias morning parade. Jadi saya sekenanya meracik ungkapan; "tuffahah shabahan".
Secara psikologis, mudah untuk mengoyak nyali santri. Soalnya, suasana terkadang mencekam. Sebab, terkadang ada inspeksi mendadak di kamar.
oOo
Saat kelas II, Pesantren IMMIM kedatangan guru baru. Ini guru spesial karena perempuan. Inilah guru wanita pertama di Pesantren IMMIM. Kami tentu gembira menyambutnya. Namanya Syamsinah. Saya cepat akrab karena ia orang Sidrap.
Kata-kata ibu Syamsinah yang sampai sekarang tak luntur di ingatan yaitu mengenai gaji pertama. Menurutnya, bila nanti santri menjadi pegawai, maka, persembahkan gaji pertama untuk orangtua; ayah dan ibu.
"Ini akan bermakna sekali sebagai bentuk terima kasih kepada orangtua yang telah bersusah payah membesarkan kita".
oOo
Tatkala duduk di kelas II di Pesantren IMMIM, saya ditempatkan di kamar 1 rayon Datuk Ribandang. Di sini berkumpul santri badung dengan tubuh raksasa. Saat itu, saya masih tergolong liliput di antara penghuni yang secara fisik tergolong gigantis. Maklum, mereka kelas III serta IV.
Dalam sebuah interaksi, Mujiadi yang kelas IV berteori usai menimbang secara saksama dalam tempo singkat mengenai ragaku.
"Haris nanti berbadan besar", ujar Mujiadi. Di kampus IMMIM kala itu, Mujiadi termaktub sebagai satu dari tiga santri tertinggi.
Di Angkatan 80, Ikbal Said tertoreh sebagai santri jangkung. Tinggiku berada di bawahnya. Ikbal merupakan atlet serbabisa. Perutnya laksana batu bersusun alias sixpack.
oOo
Santri nakal di Pesantren IMMIM, rupanya memusingkan pembina serta guru. Ketika saya kelas III, diuji coba sel khusus untuk santri bandel. Saya mujur karena tidak pernah diterungku di sel khusus ini. Sampai sekarang, saya sering heran. Bagaimana mungkin bisa lolos dari sel khusus. Padahal, pelanggaranku berjibun.
Kendati senantiasa selamat, namun, nasib apes dialami lemari dan kasurku. Pimpinan Kampus menyanderanya kala saya kabur ke bioskop. Semua barangku diboyong ke sel khusus.
Sebagai hukuman akibat doyan bolos dari kelas sekaligus kabur dari kampus, saya pun dikarantina di Wisma Guru. Wisma Guru merupakan bekas rumah Pimpinan Kampus.
Di Wisma Guru, sudah ada Mukbil yang kelas III. Saya bersama Mukbil diawasi langsung oleh Abdul Kadir Massoweang, wakil Pimpinan Kampus.
Di Wisma Guru, saya bukannya tobat, justru merasa menemukan lahan untuk berbuat apa saja. Di sinilah bulan madu kebebasanku di hamparan aturan ketat Pesantren IMMIM.
Di siang bakda Zhuhur selepas berlalu beberapa bulan, saya dipanggil Kadir Massoweang.
"Kamu nanti pindah ke kamar I di bangsal Imam Bonjol", ucap Kadir Massoweang. Tentu saja saya kaget bukan kepalang. Dunia seolah berhenti berputar. Jarum jam pun ibarat tidak berdetak.
"Saya jangan dulu dipindahkan, Pak. Saya belum sadar", suaraku lirih agak merintih.
"Kau sudah baik. Sudah bisa jadi teladan bagi teman-temanmu", pungkas Kadir Massoweang sebelum meninggalkanku seorang diri di ruang tamu Wisma Guru.
Selama ini saya menduga bahwa minpi indahku di Wisma Guru bakal lestari. Tanpa disangka, tiada pula dikira, ternyata mimpi indah itu punya tanggal kedaluwarsa.
Sejak hijrah ke bilik Imam Bonjol, kebebasanku sirna bak ditelan longsor di musim prahara. Saya tidak lagi kebal hukum. Di Wisma Guru, saya leluasa bolak-balik keluar kampus. Banyak yang mengira tindakanku atas restu wakil Pimpinan Kampus. Padahal, itu sekedar keisengan belaka. Kini, semua berubah. Namaku kembali semarak dikumandangkan di masjid sebagai santri pelanggar yang mutlak dihukum sehabis shalat Isya.
oOo
Pada 1986, segelintir warga Iapim latihan karate Black Panther di Gedung IMMIM. Senpai Indra Jaya Mansyur yang melatih.
Saya yang masih santri kelas VI, tergiur berlatih bersama anggota Iapim. Senpai setuju saya bergabung. Bila Ahad sore, saya ikut senpai ke Gedung IMMIM.
Di suatu kesempatan usai latihan, saya disuruh pulang sendiri ke pesantren. Senpai punya keperluan jadi tidak bisa pulang bersama.
"Jangan ke mana-mana. Kau langsung pulang ke pesantren", pesan senpai seolah mengkhawatirkanku mampir di bioskop.
Begitu senpai Indra selesai mengucapkan peringatannya supaya saya langsung pulang, terdengar celoteh alumnus.
"Pulang ke kandangnya".
Suasana sontak menggelikan. Suara terkekeh membahana. Saya tersipu. Apalagi, belum tertera sebagai jemaah Iapim.
Sampai hari ini Sabtu, 23 November 2024 sesudah berlalu 36 tahun, kalimat "pulang ke kandangnya" masih bergiang keras di kepala. Terdengar semacam guyon, tetapi, mengandung sarkasme. Pasalnya, hidup di pesantren sama artinya kebebasan dibatasi. Padahal, doktrin internal Pesantren IMMIM, kelak menemani alumni sepanjang hidup menuju tujuan besar.