Sabtu, 23 November 2024

Kata Kenangan: Level Terkini

 

 

 

Kata Kenangan: Level Terkini
Oleh Abdul Haris Booegies


     Dalam percakapan dengan seseorang atau sekelompok individu, kita kerap terkesan dengan sebuah kalimat yang terucap.  Barangkali himpunan kata itu indah, bertenaga, inspiratif atau mengandung nasehat luhur.  Sebait kalimat tersebut boleh jadi diperoleh dari interaksi santai menjelang senja, diskusi atau khotbah perihal dongeng kesalehan.
     Sebuah kalimat yang membekas, bukan hanya enteng melewati zaman maupun generasi.  Kata-kata pilihan itu kiranya dapat memperbarui sesuatu dalam diri, mengubah pola pikir atau menjadi komedi hitam di masa mendatang.  Apa yang dulu menyakitkan, rupanya bersalin rupa menjadi bahan tawa setelah melewati berlapis dasawarsa.  Aspek lain boleh jadi sebaliknya.  Kekonyolan yang membuat kita terpingkal-pingkal, bisa jadi menimbulkan dendam berkarat dalam sanubari.
     Dalam skala kecil interaksi, serumpun kata bermakna juga terkadang muncul.  Sebagai umpama, di Pesantren IMMIM.  Saya ingat sewaktu kelas III.  Pendiri pesantren murka.  Haji Fadeli Luran berkacak pinggang menyemburkan amarah.  Semua gara-gara ada sekelompok santri melempari rumah Pimpinan Kampus yang terletak dekat 20 toilet.  Ini berawal tatkala beredar isu SPP bakal dinaikkan.
     Selama tiga malam berturut-turut, rumah Pimpinan Kampus dilempari jika tengah malam.  Kabar tak sedap ini akhirnya didengar pendiri pesantren.
     Bakda Magrib, Haji Fadeli Luran pun meluapkan kemarahan.  Ia mencela pelemparan rumah Pimpinan Kampus.  Santri lantas dituding sebagai "setan berbulu".
     Ungkapan "setan berbulu" biasa terdengar di negeri-negeri Bugis sekitar Sidrap.  Ini adalah makian bagi orang nista, kelompok terkutuk atau makhluk laknat.  Di mata pendiri pesantren, segerombol santri telah menjadi insan negatif alias setan berbulu.
     Di Pesantren IMMIM, interaksi sesama santri melahirkan banyak kata-kata yang sulit terlupa.  Apalagi, anak IMMIM andal merangkai morfem baru yang memelencengkan makna kata.  Biarpun suka usil dalam merangkai secara salah bahasa, tetapi, orientasi tersebut tidak mendefinisikan identitas orisinal santri IMMIM.
     Di suatu Sabtu pagi saat kelas III, saya mengagetkan rekan di kamar 1 rayon Pangeran Diponegoro.
     "Maujud tuffahah shabahan", desisku dalam bahasa Arab Tamalanrea (Ararea) dengan mimik serius.
     Kawan-kawan berkumpul.  Ada apa?  Apa itu tuffahah shabahan?  Mereka seolah meminta konfirmasi validitas diksi.
     "Maujud tuffahah shabahan", ulangku sambil berakting ketakutan seolah hendak diterkam binatang buas.
     "Apa itu tuffahah shabahan?  Ada apa?"
     "Apel pagi!"  Jawabku ketus.
     "Sariqun, azunnu maza (sialan, saya kira apa)", umpat penghuni kamar.
     Apel dalam bahasa Arab ialah tuffahah (تفاحة).  Sedangkan pagi yakni shabahun (صباح).  Saya tidak tahu bahasa Arab tentang "upacara" (احتفال) alias ceremony atau "apel pagi" (موكب الصباح) alias morning parade.  Jadi saya sekenanya meracik ungkapan; "tuffahah shabahan".
     Secara psikologis, mudah untuk mengoyak nyali santri.  Soalnya, suasana terkadang mencekam.  Sebab, terkadang ada inspeksi mendadak di kamar.

oOo

     Saat kelas II, Pesantren IMMIM kedatangan guru baru.  Ini guru spesial karena perempuan.  Inilah guru wanita pertama di Pesantren IMMIM.  Kami tentu gembira menyambutnya.  Namanya Syamsinah.  Saya cepat akrab karena ia orang Sidrap.
     Kata-kata ibu Syamsinah yang sampai sekarang tak luntur di ingatan yaitu mengenai gaji pertama.  Menurutnya, bila nanti santri menjadi pegawai, maka, persembahkan gaji pertama untuk orangtua; ayah dan ibu.
     "Ini akan bermakna sekali sebagai bentuk terima kasih kepada orangtua yang telah bersusah payah membesarkan kita".

oOo

     Tatkala duduk di kelas II di Pesantren IMMIM, saya ditempatkan di kamar 1 rayon Datuk Ribandang.  Di sini berkumpul santri badung dengan tubuh raksasa.  Saat itu, saya masih tergolong liliput di antara penghuni yang secara fisik tergolong gigantis.  Maklum, mereka kelas III serta IV.
     Dalam sebuah interaksi, Mujiadi yang kelas IV berteori usai menimbang secara saksama dalam tempo singkat mengenai ragaku.
     "Haris nanti berbadan besar", ujar Mujiadi.  Di kampus IMMIM kala itu, Mujiadi termaktub sebagai satu dari tiga santri tertinggi.
     Di Angkatan 80, Ikbal Said tertoreh sebagai santri jangkung.  Tinggiku berada di bawahnya.  Ikbal merupakan atlet serbabisa.  Perutnya laksana batu bersusun alias sixpack.

oOo

     Santri nakal di Pesantren IMMIM, rupanya memusingkan pembina serta guru.  Ketika saya kelas III, diuji coba sel khusus untuk santri bandel.  Saya mujur karena tidak pernah diterungku di sel khusus ini.  Sampai sekarang, saya sering heran.  Bagaimana mungkin bisa lolos dari sel khusus.  Padahal, pelanggaranku berjibun.
     Kendati senantiasa selamat, namun, nasib apes dialami lemari dan kasurku.  Pimpinan Kampus menyanderanya kala saya kabur ke bioskop.  Semua barangku diboyong ke sel khusus.
     Sebagai hukuman akibat doyan bolos dari kelas sekaligus kabur dari kampus, saya pun dikarantina di Wisma Guru.  Wisma Guru merupakan bekas rumah Pimpinan Kampus.
     Di Wisma Guru, sudah ada Mukbil yang kelas III.  Saya bersama Mukbil diawasi langsung oleh Abdul Kadir Massoweang, wakil Pimpinan Kampus.
     Di Wisma Guru, saya bukannya tobat, justru merasa menemukan lahan untuk berbuat apa saja.  Di sinilah bulan madu kebebasanku di hamparan aturan ketat Pesantren IMMIM.
     Di siang bakda Zhuhur selepas berlalu beberapa bulan, saya dipanggil Kadir Massoweang.
     "Kamu nanti pindah ke kamar I di bangsal Imam Bonjol", ucap Kadir Massoweang.  Tentu saja saya kaget bukan kepalang.  Dunia seolah berhenti berputar.  Jarum jam pun ibarat tidak berdetak.
     "Saya jangan dulu dipindahkan, Pak.  Saya belum sadar", suaraku lirih agak merintih.
     "Kau sudah baik.  Sudah bisa jadi teladan bagi teman-temanmu", pungkas Kadir Massoweang sebelum meninggalkanku seorang diri di ruang tamu Wisma Guru.
     Selama ini saya menduga bahwa minpi indahku di Wisma Guru bakal lestari.  Tanpa disangka, tiada pula dikira, ternyata mimpi indah itu punya tanggal kedaluwarsa.
     Sejak hijrah ke bilik Imam Bonjol, kebebasanku sirna bak ditelan longsor di musim prahara.  Saya tidak lagi kebal hukum.  Di Wisma Guru, saya leluasa bolak-balik keluar kampus.  Banyak yang mengira tindakanku atas restu wakil Pimpinan Kampus.  Padahal, itu sekedar keisengan belaka.  Kini, semua berubah.  Namaku kembali semarak dikumandangkan di masjid sebagai santri pelanggar yang mutlak dihukum sehabis shalat Isya.

oOo

     Pada 1986, segelintir warga Iapim latihan karate Black Panther di Gedung IMMIM.  Senpai Indra Jaya Mansyur yang melatih.
     Saya yang masih santri kelas VI, tergiur berlatih bersama anggota Iapim.  Senpai setuju saya bergabung.  Bila Ahad sore, saya ikut senpai ke Gedung IMMIM.
     Di suatu kesempatan usai latihan, saya disuruh pulang sendiri ke pesantren.  Senpai punya keperluan jadi tidak bisa pulang bersama.
     "Jangan ke mana-mana.  Kau langsung pulang ke pesantren", pesan senpai seolah mengkhawatirkanku mampir di bioskop.
     Begitu senpai Indra selesai mengucapkan peringatannya supaya saya langsung pulang, terdengar celoteh alumnus.
     "Pulang ke kandangnya".
     Suasana sontak menggelikan.  Suara terkekeh membahana.  Saya tersipu.  Apalagi, belum tertera sebagai jemaah Iapim.
     Sampai hari ini Sabtu, 23 November 2024 sesudah berlalu 36 tahun, kalimat "pulang ke kandangnya" masih bergiang keras di kepala.  Terdengar semacam guyon, tetapi, mengandung sarkasme.  Pasalnya, hidup di pesantren sama artinya kebebasan dibatasi.  Padahal, doktrin internal Pesantren IMMIM, kelak menemani alumni sepanjang hidup menuju tujuan besar.


Senin, 18 November 2024

Kata Kenangan

 

 

 

Kata Kenangan
Oleh Abdul Haris Booegies


     Interaksi merupakan bagian dari pergaulan.  Dengan berinteraksi, ada timbal-balik pengaruh antarhubungan.  Interaksi bisa sesama murid sekolah, rekan kerja, tetangga atau orang yang baru dikenal.
     Dalam berinteraksi, usia serta derajat bukan penghalang.  Siswa dapat berinteraksi dengan guru atau pegawai.  Karyawan dengan manajer, wartawan dengan redaktur atau pembeli dengan penjual.
     Interaksi ada di mana-mana, termasuk di Pesantren IMMIM.  Di kampus Islami ini, santri junior bisa berinteraksi dengan santri senior.  Santri enteng pula berinteraksi dengan ustaz, guru serta pembina.  Bahkan, ada santri berinteraksi dengan koki cantik.  Punya hubungan khusus dengan koki, jelas menguntungkan santri.  Sebab, masakan enak pasti menjadi santapan wajib tiap hari.
     Di Pesantren IMMIM, santri yang kokoh secara finansial alias santri sultan atau santri berparas ganteng, tidak boleh punya dua koki kesayangan.  Ini supaya tidak terjadi kecemburuan.  Kalau kedua koki cemburu, niscaya santri bersangkutan yang gigit jari.  Hidangan lezat mendadak tidak tersedia.
     Ketika menjadi santri di Pesantren IMMIM para 1980-1986, ada beberapa ucapan istimewa sahabat yang muncul dari interaksi.  Kalimat khusus ini seolah masih tergiang sampai kini.
     Sayangnya, untaian kata ini tidak tercatat di buku harianku.  Saya sanggup mengingatnya lantaran kesan kalimat tersebut begitu dalam.  Kata-kata ini enteng ditelisik berkat ada peristiwa yang akan, sedang atau sudah berlangsung turut mengiringi.

oOo

     Saat kelas IV, saya biasa menggunakan kata "modern" untuk hal-hal heboh.  Di suatu kala, Musytari Randa yang berdiri di dekatku depan selasar asrama Panglima Polem lantas berkomentar.  "Modern dalam bahasa Arab adalah mutakhir".
     Saya termangu.  Rupanya mutakhir adalah bahasa Arab.  Di kurun tersebut, istilah "canggih"  belum muncul.  "Canggih" mulai ramai digunakan sewaktu saya kelas VI.  Dipopulerkan oleh Menristek BJ Habibie.

oOo

     Saat duduk di kelas IV, saya selalu kabur ke bioskop.  Pimpinan Kampus akhirnya mencidukku untuk ditempatkan di Wisma Guru.  Di sini, Mukbil yang kelas III lebih dulu dikarantina.  Kami sama-sama bandel tingkat akut.  Di Wisma Guru, ada ustaz Abdul Kadir Massoweang, Wakil Pimpinan Kampus.  Belakangan bergabung kyai Abdul Kadir Kasim.
     Saya cuma berdua Mukbil sebagai santri di Wisma Guru.  Di sinilah masa-masa jaya kebebasanku.  Saya bawa radio tape recorder dengan lebih 50 kaset.  Majalah juga saya boyong, termasuk kitab suciku, majalah Vista.  Di seluruh asrama di kampus IMMIM, benda-benda ini tergolong barang haram.  Duo Abdul Kadir seolah cuek melihat ulahku.  Keduanya tak pernah menegurku soal radio, kaset maupun majalah.
     Di suatu hari, bergiang musik dari radio.  Kyai Kadir Kasim lantas mengintip ke bilikku.  "Merrung radiona Haris (bunyi radionya Haris)", ujarnya.
     Saya menahan tawa mendengar bahasa Bugis kyai Kadir Kasim.  Maklum, pilihan katanya salah.  Ini karena kyai Kadir Kasim orang Selayar.  Bukan "merrung" bila radio, namun, "moni".  "Merrung" dan "moni" sama-sama berarti bunyi.  Kalau mesin, mobil serta motor, digunakan "merrung".  Sementara untuk radio, televisi atau mainan portabel dipakai morfem "moni".
     Ketika bersua Lukman Sanusi yang orang Sengkang, saya ceritakan kecelakaan bahasa yang dilakukan kyai Kadir Kasim.  Lukman sontak terbahak.  Ia tak mampu menahan tawa.

oOo

     Di suatu hari, saya berpapasan dengan Mahmuddin Achmad Akil di lapangan kampus.  Wajahnya tampak ceria.
     "Ada kabar kalau adikku telah lahir", ungkap Mahmuddin dengan mata berbinar.  Bibirnya berhias senyum akibat segudang kembang bahagia memenuhi rongga dadanya.
     "Perempuan adikku", sambungnya senang.  Saya hanya terpana mendengarnya.  Tak sanggup berkata-kata.  Raut muka Mahmuddin perlahan berubah.  Ada hasrat sekaligus harapan bergelayut di roman mukanya.  Ia pasti ingin segera pulang ke Sidrap.  Mau mencium adik barunya.  Hendak menggendong sebagai bentuk kasih sayang.  Mata Mahmuddin mulai berkaca-kaca.  Ada keharuan, ada kerinduan di Tamalanrea untuk adik baru di Sidrap.

oOo

     Sewaktu kelas II, saya mulai memajang poster di dekat ranjangku.  Poster itu hasil kreasiku karena bisa melukis.  Naik kelas V, poster yang saya tempel di dinding sekitar 20, belum termasuk di lemari.  Tentu saja poster tersebut aktris Hollywood dan roker Amrik yang dibeli di toko buku.  Saya tidak bernafsu menempel poster selebritas Mandarin walau ada yang cantik seperti Lin Ching Hsia.
     Di suatu hari, Fuad Mahfud Azuz bertandang ke tempatku di kamar 1 Panglima Polem.  Ia heran karena di lemariku ada dua poster bayi.
     "Biasanya yang suka poster bayi itu cewek", ujar Fuad.

oOo

     Di suatu senja saat kelas V, saya mengajak Abdul Hafid ke bioskop.  Ada film baru.  Hafid ogah, bergeming.
     "Saya mau mengadili dulu di qismul amni (seksi keamanan).  Kamu saja yang pergi", jawabnya dengan senyum meringis.
     Tentu saja mustahil menunggu Hafid.  Ia mulai mengadili santri pelanggar pada pukul 20.00.  Sementara film diputar pukul 20.00.
     Mengapa Hafid tersenyum menyeringai ketika menyuruhku pergi seorang diri ke bioskop?  Ini lantaran ia menikmati aksi menggertak seraya memukul santri pelanggar.  Tidak heran jika banyak santri junior menudingnya kejam.  Mereka kapok diintimidasi secara fisik sampai jantung nyaris copot.

oOo

     Menjelang ujian untuk tamat dari pesantren, saya ke kelas yang tidak jauh dari kantor Pimpinan Kampus.  Di siang bakda Zhuhur itu, kami kelas VI sudah tidak aktif belajar.
    Tatkala hendak masuk ke kelas, Saifuddin Ahmad melintas di koridor.
     "Kita harus belajar keras.  Tidak seperti Shalahuddin yang satu kakinya sudah ada di perguruan tinggi", seloroh Saifuddin seraya memperagakan satu kakinya masuk ke ruang kelas.
     Shalahuddin Ahmad bukan santri sembarang.  Ia cerdas sekali.  Saya pernah ke biliknya.  Jangankan di ember ada rumus fisika, di timba sumurnya saja ada rumus kimia.  Seingat saya, ia punya 23 buku fisika saat kelas VI.
     Prediksi Saifuddin benar.  Shalahuddin lolos di ITB.  Sementara Saifuddin di Fisipol Unhas.  Saya di Sastra Unhas.

oOo

     Saat ujian Pesantren 1986, dua rekan hampir tidak ikut.  Semua gara-gara mengusik santriwati saat Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebtanas).  Senpai Indra Jaya Mansyur pun murka.
     Segelintir santri kelas VI,  tidak puas dengan tindakan senpai.  Ini memicu kasak-kusuk untuk melakukan perlawanan.
     Informasi ini tersembunyi.  Saya pun hampir tidak mengendusnya.  Saya dihindari karena termaktub orang kedua di Black Panther unit IMMIM.
     Di suatu interaksi selepas Matahari tergelincir, saya bersama empat kelas VI berbincang.  Di momen itu, tiada satu pun kata yang saya ucapkan.
     "Bagaimana dengan kamu, Lukman", pancing seorang kawan.
     "Tidak mungkin saya mau lawan guruku!"  Sembur Lukman Sanusi dengan suara marah sembari melirikku.
     Sampai sekarang, saya selalu lupa bertanya ke Lukman.  Apa maksud ia melirikku.  Apakah itu bermakna Lukman sependirian denganku untuk membela senpai atau sekedar drama ala sinetron TV swasta.


Minggu, 17 November 2024

Perjalanan Doa

 

 

 

Perjalanan Doa
Oleh Abdul Haris Booegies


     Kecepatan lari manusia per jam sekitar 16-24 km.  Rekor tercepat untuk jarak 100 meter dipegang oleh Usain Bolt.  Ia mencatat rekor dengan waktu 9,58 detik di Berlin pada 2009.
     Kecepatan berlari kuda sekitar 60-74 kilometer per jam.  Singa mencapai 80 kilometer per jam.  Sementara elang peregrine andal terbang dengan kecepatan 389 kilometer per jam.
     Pada 2004, pesawat nirawak NASA X-43A melesat dengan kecepatan March 9,6.  Ini berarti 11.854 kilometer per jam.
     Kecepatan cahaya mencapai 300.000 kilometer per detik atau 186.000 mil.  Ini termasuk kecepatan yang luar biasa.  Tidak salah kalau malaikat terbuat dari cahaya.  Ini agar aktivitasnya maksimal di segenap galaksi yang ditaksir berjumlah dua triliun.
     Walau cahaya teramat kencang, namun, doa lebih cepat lagi.  Doa yang dipanjatkan sedetik lalu malahan bisa mencapai langit.  Bukan cuma mengetuk gerbang langit pertama.  Doa justru mengetuk pintu Arasy, kawasan ilahi yang dipikul delapan malaikat gigantik.
     Bagaimana doa bisa sampai ke pucuk langit ketujuh?  Di zona kolosal tersebut, beragam rupa doa berkeliling di sekitar Arasy.  Ini markas komando jagat raya sekaligus pusat otoritas spiritual, tempat Allah bertahta.
Rotasi Tawaf
     Mekah merupakan pusat Bumi, bukan sekedar titik arah shalat.  Seorang sahabat menyampaikan kepada Maharasul Muhammad bahwa ia sudah menyembelih domba di Mina bakda shalat Idul Adha.
     Rasulullah kaget.  Pasalnya, di pagi itu sang Nabi belum menyembelih domba.  "Saya dulu yang menyembelih".  Maksud Maharasul Muhammad, orang-orang di Mekah dulu yang mesti menyembelih kurban bila waktu sudah masuk.  Ini memaparkan bahwa waktu di Mekah lebih awal dibandingkan di Mina.  Daerah pinggiran tidak boleh mendahului pusat.
     Di Lembah Bakkah, terdapat Kabah.  Bangunan kubus peninggalan Nabi Ibrahim.  Di seputar Kabah, jemaah melakukan tawaf.  Berkeliling tujuh kali dengan putaran berlawanan arah jarum jam.
     Mengapa tawaf harus berputar dengan mengingkari arah jarum jam?  Putaran berlawanan arah jarum jam menghasilkan semburan ke atas.  Sedangkan putaran yang sesuai gerakan jarum jam menghasilkan semburan ke samping.
     Doa tidak langsung naik ke langit.  Doa butuh energi supaya terpental ke atas.  Seluruh doa di tiap negeri yang dilantunkan niscaya mengarah ke Kabah.  Ketika sampai di Kabah, maka, doa terdorong naik oleh energi putaran tawaf.
     Ketika doa keluar atmosfer Bumi, maka, doa makin kencang melesat.  Sebab, Bumi juga berputar berlawanan arah jarum jam.  Arah rotasi Bumi yakni dari Barat ke Timur.  Bahkan, Matahari juga berputar berlawanan arah jarum jam.  Beberapa planet maupun benda angkasa ikut pula mendorong doa karena berputar berlawanan arah jarum jam.  Seluruh doa pun berbondong-bondong melintas di gerbang tujuh langit.  Doa akhirnya tiba di Arasy yang sedetik lalu diucapkan.


Amazing People