Godaan Afifi
Oleh Abdul Haaris booegies
Di Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM, kita menemukan banyak karakter santri. Watak mereka warna-warni bak sekotak krayon. Perilaku santri jelas dipengaruhi oleh lingkungan sosial dalam kampus. Tidak kalah penting yaitu konfigurasi fisik bangunan.
Konstruksi bangunan Pesantren IMMIM di tarikh 1980-1986, memungkinkan santri enteng kabur dari pondok. Akses favorit ialah arah Tenggara. Di penjuru ini, terentang pagar depan pesantren dari Selatan ke Utara. Dari Timur ke belakang rute Barat sampai danau Unhas, ada pembatas antara pesantren dengan situs panggung serbaguna.
Di pojok Tenggara melintang gerbang besi yang sesekali terbuka. Pintu kupu-kupu ini dipasangi tombak-tombak pengaman di bagian atas. Di situ santri memanjat untuk kabur ke kota atau menyelinap ke pasar Bharata.
Selama enam tahun saya di pesantren, pagar berlembing tersebut cuma satu kali memakan korban. Di suatu siang pada 1983, seorang santri kelas V gagal fokus. Ketika mau bolos, bokongnya tersangkut di tombak. Ia sontak mengerang persis monyet yang dijentik biji zakarnya.
Santri-santri tertegun sambil berpandangan saat tahu ada rekan terantuk pantatnya di pagar. Santri nahas itu lalu dilarikan ke Rumah Sakit Faisal oleh Pak Mantri dengan Vespa bututnya. Sementara santri lain terpingkal-pingkal mendengar kejadian konyol tersebut.
Sampai malam, hikayat heboh ini menjadi trending topic di Pesantren IMMIM. Pasalnya, dianggap lebih lucu dari banyolan Dono, pentolan Warkop DKI. Secara kontemporer, adegan sial tertusuk lembing gerbang itu lebih kocak dari dagelan Mr Bean atau fragmen-fragmen America's Funniest Home Videos.
Di sudut Tenggara tersebut, saya dengan Ahmad Afifi sering lompat untuk kabur. Kami menuju kota untuk nonton di bioskop.
Afifi merupakan santri populer. Ia tergolong santri sultan. Selama enam tahun sejak kelas I sampai VI, ia satu-satunya santri yang lauknya telur. Sarapan, santap siang sekaligus makan malam Afifi selalu telur dadar.
Walau akrab, namun, Afifi tak pernah memberiku telur dadarnya. Ia lebih memilih kawan lain untuk diberikan seiris telur dadar. Afifi pasti mafhum, makananku lebih berkelas. Mantang yang merupakan kepala chef di aula untuk pegawai luar yang menjalani penataran, senantiasa menyediakanku hidangan istimewa. Inilah yang membuat saya jarang makan bersama di dapur.
Rabu, 2 Februari 1983
Malam ini, hanya saya sendiri yang terjaring qismul amni (seksi keamanan). Namaku ada pula di mahkamah lugah (pengadilan bahasa). Pelanggaranku di qismul amni ternyata sepele banget. Saya jarang ke dapur untuk makan. Ada-ada saja agenda pertama OSIS yang baru dilantik demi menjeratku.
Saya beruntung karena tidak sempat dicincang oleh algojo qismul amni yang dilanda kalut. Ini gara-gara S, santri kelas IIIA. Tadi sore, ia mengirim surat ke qismul amni untuk bermusyawarah.
Seorang awak qismul amni yang murka kontan berseru: "Apa yang ingin dimusyawarahkan!"
Sejumlah anggota qismul amni pun menggeruduk kelas IIIA. Anak IIIA kaget bin heran. Rupanya, S membubuhkan nama IIIA sebagai pihak yang berhasrat berdialog dengan qismul amni. Padahal, IIIA tak pernah dihubungi oleh S.
Seluruh santri kelas IIIA pun berang. Dari ruang kelas, S terus didorong-dorong sampai terpojok di koridor. Ia pasrah tanpa perlawanan ketika segenap santri IIIA nyaris mengeroyoknya. Mujur ada Zukkifli Maidin. Saya juga sempat merintangi sahabat-sahabat yang beringas.
"Ah, kamu Haris! Kamu menghalangi orang yang hendak memukul S", sembur Afifi.
Sabtu, 2 Maret 1985
Malam saat menuju ke dapur, Afifi mencegatku.
"Film The Lady Doctor itu bagus?"
"Itu tontonan dewasa. Dibintangi Edwige Fenech", jawabku.
"Saya ingin pergi menyaksikannya di acara midnight show. Mau ikut?"
Hatiku tergoda diajak Afifi. Setelah berpikir sekenanya, saya pun oke.
Selepas Isya, saya, Afifi, Arfandy, Armansyah, Muhammad dan Syafaruddin melompati gerbang bertombak besi menuju kota. Kami akan menikmati adegan-adegan hot Edwige Fenech di The Lady Doctor (La Dottoressa del Distretto Militare). Bintang Italia ini merupakan jaminan film telanjang. Entah mengapa, Edwige Fenech doyan melepas kutang di pita seluloid.
Pukul 00.00, kami berada di antara ratusan penonton di Paramount. Hampir semua pemirsa adalah laki-laki. Tentu saja rata-rata berwajah mesum, termasuk enam santri IMMIM.
Kami sempat dipergoki Amir Machmud. Ia baru saja nonton Gawang Gawat. Film ini dibintangi Marissa Haque serta Eva Arnaz.
Menjelang pukul 02.00, seusai memirsa The Lady Doctor. Saya menyulut pertengkaran. Saya mendambakan ke Sentral menyaksikan breakdance. Sedangkan Arfandy berniat ke Masjid Raya yang berjarak kurang 100 meter dari Paramount untuk tidur-tiduran menanti subuh. Sebab, mustahil ada mikrolet (petepete) di tengah malam.
Suasana tegang berangsur reda sesudah diputuskan ke Pantai Losari. Muhammad tidak sudi nimbrung. Ia memilih kembali ke pondok.
Kami berlima lantas berjalan kaki ke pantai. Jarak Paramount sampai ke pantai berkisar tiga kilometer. Di Jalan Kartini, sempat singgah sejenak di tepi Karebosi memandang aksi-aksi waria.
Lima menit setelah menjejakkan kaki di Pantai Losari, hujan turun. Saya melirik arloji, sekarang jam tiga. Sudah dini hari. Ketika hujan berhenti, kami bergegas meninggalkan pantai. Berjalan pulang dengan kaki masing-masing.
Kami bernasib baik berkat di area Karebosi, ada mikrolet. Kami gembira seraya berlomba naik untuk kembali ke pangkuan pesantren. Tadi kami durhaka, berdosa gara-gara film Edwige Fenech.
Selasa, 17 September 1985
Bakda Magrib, kelas VI IPA ke pesta pernikahan Pak Bur (guru biologi) di Gedung IMMIM. Seluruh guru maupun pembina Pesantren IMMIM, hadir.
Santri kelas VI IPA sempat berfoto-foto alias groupfie (group selfies) dengan pengantin. Kami berfoto pula di selasar Islamic Centre.
Saat rombongan santri hendak pulang naik mikrolet, saya pinjam Vespa milik Atmal Ariady. Afifi kemudian memboncengku. Kami pergi melihat baliho dan poster film di beberapa bioskop.
Ketika tiba kembali di Gedung IMMIM, Atmal marah sekali. Menurutnya, kami sangat lama.
"Kalau Haris ke bioskop, mana mungkin sebentar", terdengar suara Khuzaifah tatkala Atmal telah berlalu.
Ahad, 29 Desember 1985
Sesudah lari sore ke Tallo untuk persiapan long march Black Panther, saya bersepakat dengan Afifi untuk bolos ke kota.
Kami melompati gerbang berlembing di siku Tenggara guna ke New Artis Theatre. Film yang kami tonton yakni Greystoke: The Legend of Tarzan, Lord of the Apes. Film ini kurang menarik. Untung ada Andie MacDowell (Jane Porter) yang kecantikannya mengobati rasa kecewa.
Senin, 24 Februari 1986
Saya merencanakan untuk pulang besok. Apa lacur, Afifi datang mempengaruhiku agar bolos siang ini.
Kami pun kabur dari kampus. Di rumah di Jalan Vereran Selatan, kami cuma mengobrol tiada jeda. Tanpa titik serta spasi. Saat Magrib, Afifi bertandang ke sepupunya yang tinggal di Asrama Palopo di Jalan Ratulangi. Ia hanya berjalan lebih-kurang 200 meter dengan melewati Jalan Kelinci untuk sampai.
Ahad, 16 Maret 1986
Saya dengan Afifi kabur lagi dari pesantren. Pukul 15.00, kami tiba di Makassar Theatre. Sinema yang bakal disaksikan yaitu Rocky IV. Dibintangi oleh Sylvester Stallone, Dolph Lundgren dan Brigitte Nielsen.
Kami puas nonton. Apalagi, petinju Amerika Rocky Balboa mengalahkan petinju Uni Soviet Ivan Drago.
Jumat, 28 Maret 1986
Saya bersama Afifi, kembali bolos dari kampus. Tujuan kami ialah Mitra. Bioskop tersebut memutar Kerjarlah Daku Kau Kutangkap. Ini film komedi terlaris pada 1986. Saya yang selama ini emoh menonton film Indonesia, akhirnya mewajibkan diri menyaksikannya.
Di pertengahan film, Afifi menyeletuk.
"Oh, ini pernah disiarkan cuplikannya di TVRI. Di acara Apresiasi Film Nasional".
Saya tak menghiraukan Afifi. Maklum, berkonsentrasi mengagumi akting prima Lydia Kandou. Kampungan betul bicara di bioskop! Begitulah jika Puma (Putra Tamalanrea).
Senin, 7 April 1986
Kelas VI putri Minasa Tene mendarat di Tamalanrea untuk menempuh Ebtanas SMA yang dimulai besok. Mereka langsung digiring ke aula.
Cowok-cowok Tamalanrea cuma kasak-kusuk. Bagaimana cara mendekati cewek-cewek Miss Teen (Minasa Tene) yang dikawal ketat oleh pembina.
Sabtu, 19 April 1986
Pukul 16.00, Afifi bersama Andi Muhammad Yusuf menemuiku di rumah. Keduanya bertanya perihal problem gawat yang menimpanya.
Afifi serta Yusuf berstatus buronan pesantren. Mereka dicari senpai Indra Jaya. Ini akibat Afifi dan Yusuf menyiram seorang putri Miss Teen.
Keduanya dikibuli bahwa santriwati bersangkutan tengah berulang tahun. Kala petang di depan aula, Afifi dengan Yusuf lantas mengguyurnya dengan air sebagai bentuk kegembiraan. Di luar dugaan, peristiwa ini dinilai tidak etis oleh pembina Minasa Tene. Kedua pelaku kemudian dilaporkan. Senpai Indra pun turun tangan.
Afifi dengan Yusuf hampir tak bisa mengikuti Ujian Pesantren yang berlangsung pada 19-23 April 1986. Sekonyong-konyong berembus desas-desus. Sekelompok kelas VI tidak puas dengan modus penanganan senpai Indra yang dianggap keras.
Malam ini, kedua buronan saya ajak menghibur diri. Melupakan stres kronis yang membuatnya kusut di ujung akhir perjalanan sebagai santri. Di momen ini, Afifi serta Yusuf merupakan komponen senyawa yang dibekuk perkara rawan.
Kami bertiga lalu berboncengan motor ke New Artis. Tak berhajat nonton, sekedar kongko ala remaja metropolitan di pelataran bioskop.
Setelah jenuh melewatkan malam getir minus gairah, kami kembali ke Jalan Veteran Selatan untuk tidur. Berharap mimpi indah sedang menunggu.