Bahasa
Robin Hood
Oleh Abdul
Haris Booegies
Dari
deretan epos dunia, hikayat Robin Hood tertoreh sebagai sebuah
warisan budaya bagi kemanusiaan. Robin Hood adalah legenda mapan
yang setara dengan masterpiece semacam Superman, Mahabharata,
Cinderella, The Odyssey, Samson, Don Quixote de la Mancha atau
Ivanhoe.
Dongeng
populer Robin Hood diperkirakan muncul pada tahun 1300. Eksistensi
Robin Hood mulai merekah ketika tahun menunjukkan angka 1500. Di
kala itu, ia mashur sebagai pahlawan.
Pada
1883, Howard Pyle menerbitkan komik berjudul Adventure of Robin
Hood. Karya Pyle tersebut kemudian menjadi acuan. Sementara
layar perak memfilmkannya pada 1909.
Robin
Hood hidup pada saat peradaban Inggris masih dikuasai tuan tanah.
Jago panah itu diduga lahir pada 1160 di Locksley, Nothinghanshipe,
Inggris. Robin Hood sezaman dengan Richard I. Raja Inggris yang
bergelar Lion Heart tersebut, tertoreh sebagai panglima
angkatan bersenjata Perang Salib Kedua.
Delapan
abad setelah kematiannya, nama Robin Hood makin mengkilap. Sebab,
sepak-terjangnya sarat perjuangan. Apalagi, ia seorang yang peduli
terhadap golongan tertindas. Kesewenangan dibidiknya dengan panah
maut yang selalu mengincar jantung lawan. Derita rakyat diobati
dengan menjarah harta orang kaya atau tuan tanah. Hasil curiannya
lantas dibagikan kepada kaum papa.
Di
mata penguasa yang merasa dirugikan, sosok Robin Hood dinobatkan
sebagai perampok. Di sisi lain, masyarakat menilainya figur suci.
Pasalnya, ia berjuang atas nama rakyat yang disunat hak hidupnya
dalam menikmati hasil-hasil bumi. Robin Hood dijuluki maling,
tetapi, predikat buruk itu diikuti pula penghargaan mulia dari
penduduk setempat yang mencintainya.
Wujud
Robin Hood dengan dua sisi itu, kini bisa ditemukan pada alat
komunikasi, khususnya dalam bahasa pers. Kembara kompetisi yang
mengalir rancak memperlihatkan bahwa kalau seorang publik figur,
tokoh masyarakat atau “dan lain-lain yang terhormat” berbuat
jahat, maka, pers beramai-ramai membabatnya. Sekalipun gemuruh
cercaan datang bergelobang, tetapi, kadang-kadang terdapat juga media
massa yang melawan arus.
Dengan
bahan-bahan yang dikumpulkan dari sana-sini, media tersebut lalu
merakit suatu ulasan lain. Metode penyampaiannya berbeda. Soalnya,
ia menggunakan bahasa yang membela secara samar-samar sosok bejat
yang dilaknat publik. Hakikat bahasanya mengecoh lantaran menyimpang
dari kelaziman. Akibatnya, orang awam bersama golongan yang tak
paham persoalan sesungguhnya, bakal terlena oleh siasat si peracik
berita. Alhasil, figur merana yang digempur ejekan sinis, pada
akhirnya memperoleh simpati.
Media
yang memakai bahasa Robin Hood, biasanya memiliki hubungan
kekerabatan atau simpul emosional dengan tokoh kotor yang
disanjungnya. Mereka tidak murni ingin menegakkan keadilan, tetapi,
berambisi melepaskan si jahat dari belenggu kemelut sebagai balas
jasa.
Dalam
menunjang pembahasannya, maka, media itu selalu mencari sisi baik
figur sesat untuk ditampilkan. Sedangkan hal-hal jeleknya diedit
ketat. Kata-kata yang bersifat menekan diubah dengan kalimat yang
sedap dimengerti. Sebagai contoh, “lengah” diganti menjadi
“sudah diantisipasi, namun, mereka tetap lolos”. Sementara
orang-orang yang mengomentari figur kelam tersebut, dipojokkan secara
halus. Umpamanya, “ditanggapi oleh Fulan sebagai suatu pandangan
yang salah” diubah dengan “disambar saja oleh Fulan sebagai suatu
pandangan yang kurang benar”. Kemudian “sahabat” diganti
“konco”.
Perubahan
yang tampak sepele itu, pada esensinya punya efek yang sangat serius.
Maklum, deskripsi suatu kategori yang baik atau buruk kehilangan
sukma. Wujud yang bagus diusahakan tampil dalam bentuk yang tidak
menguntungkan. Hingga, yang baik berganti buruk serta yang jelek
berubah bagus.
Dalam
kasus pelecehan brutal Tuan Permadi, ada media yang menuduh Din
Syamsuddin terlibat dalam pembajakan kaset. Padahal, istilah
“pembajakan kaset” jamak dikenakan pada oknum yang mau meraup
laba komersial secara ilegal. Aspek tersebut membuktikan bahwa media
bersangkutan itu berhasrat menembak bola salju. Mereka hendak
mengalihkan perhatian, minimal menciptakan dampak bola bilyard yang
mengakibatkan orang-orang di pihak benar dengan yang bersepuh
kemungkaran saling beradu.
Bahasa
Robin Hood yang bisa melahirkan kekacauan perspektif tersebut,
menujukkan bila pertimbangan hukum dan moral masih jauh di bawah
paket kriminalitas. Media-media yang tidak merasa riskan bermesraan
dengan visi kejahatan itu acap didasari oleh hubungan famili atau
ikatan emosional. Arkian, mereka bertekad melakukan perlawanan di
sisi simbol kesesatan.
Media
yang memuji sosok keparat tersebut tak risih membangun opini bodoh
dengan menggunakan bahasa Robin Hood. Maklum, dengan menampilkan
bahasa yang mirip alur legenda jago panah dari hutan Sherwood itu,
berarti mereka berpeluang menampik secara samar-samar perilaku busuk
sahabatnya. Media tersebut ingin berperan seperti rakyat yang
menilai Robin Hood sebagai pahlawan. Hingga, mereka bergairah penuh
nafsu guna menolong mitranya yang telah terbukti terperosok dalam
dunia hitam. Padahal, bahasa Robin Hood itu justru mempertontonkan
sikap permusuhan sekaligus lambang kelam yang menyesatkan asumsi
masyarakat.
“Kawan-kawan
mereka (begundal kafir maupun komunitas fasik), rnernbantu
setan-setan untuk rnenyesatkan. Tiada henti ia menyesatkan” (al-
A’raf: 202).
(PANJI
MASYARAKAT NO. 834, 22
SYAFAR, 3 RABIUL AWAL 1416 H 21-30 JULI 1995)