Ketakutan di Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies
Ketakutan (خَوْفٌ) adalah sesuatu yang manusiawi. Semua orang punya rasa takut. Semua orang pernah ketakutan.
Rasa takut merupakan respons alami. Ini memacu mekanisme pertahanan diri. "Terkadang, takut merupakan respons yang tepat", begitu sebuah kalimat tergiang di The Batman (2022).
Perasaan takut memaksa orang untuk menghindar. Ini alasan biologis sebagai insting guna bertahan hidup.
Di film Dune, ketakutan dideskripsikan sebagai pembunuh pikiran. "Fear is the mind-killer".
Ketakutan sirna seiring waktu. Sementara orang tangguh andal memadamkan ketakutan dengan menata emosi. Apalagi, ketakutan adalah landasan keberanian.
"Kau tak bisa jadi pemberani jika belum pernah takut", The Mummy (1999). Seberani apa pun, orang pasti punya perasaan gentar yang menggedor nyali.
Di Pesantren IMMIM era 80-an, perasaan takut muncul dengan berbagai alasan. Paling bejibun yakni santri takut dihukum. Apalagi, hukuman fisik.
Saya paling sering kena hukuman. Ini gara-gara pelanggaran teramat banyak. Sekali waktu, pimpinan di pesantren menguji coba santri badung tinggal seatap dengan pembina. Saya yang kelas IV bersama Mukbil kelas III, menjadi kelinci percobaan. Kami tinggal bersama ustaz Abdul Kadir Massoweang, wakil pimpinan kampus serta kyai Abdul Kadir Kasim.
Uji coba ini gagal total. Bukannya insaf, saya dengan Mukbil justru kian beringas. Apalagi, banyak pelanggaran yang tak terdeteksi oleh pembina. Saya sering mengelabui duo Kadir. Algojo-algojo keji qismul amni (seksi keamanan) juga tidak berani memonitor ke Mes Guru. Hingga, saya bersama Mukbil merasakan kebebasan tiada tara. Mes Guru yang terletak di Jalan Bugis merupakan tempat kami dikarantina.
Bukti bahwa uji coba mengalami kegagalan ekstrem ialah Mukbil. Kala kelas V, ia dipecat akibat aneka pelanggaran berat. Saya selamat. Padahal, pelanggaranku lebih banyak. Entah jimat apa yang saya pakai.
Sesungguhnya, ketakutan saya di Pesantren IMMIM bukan hukuman fisik. "Ketakutan hanyalah perasaan. Tidak nyata", ini kata-kata di film After Earth (2013).
Tatkala kelas satu, saya memang gentar dengan qismul amni serta mahkamah lugah (pengadilan bahasa). Siapa tidak menceret-menceret, pelanggar bonyok didera bogem mentah. Saat eksekutor beraksi, lampu di ruang penyiksaan dipadamkan. Santri pun jadi samsak hidup. Menjadi sasaran empuk pukulan maupun tendangan. Jika bermental kerupuk, santri cuma bertahan satu semester di Pesantren IMMIM.
Nama yang hampir saban malam diumumkan sebagai pelanggar, membuatku mati rasa. Dari hari ke hari, hukuman fisik tidak mencederai ragaku, namun, mengendap menjadi dendam.
Luka batin oleh dendam selaras kutipan di Star Wars: Episode I (1999). "Ketakutan menuntun pada amarah, amarah menuntun pada kebencian, kebencian menuntun pada penderitaan".
Pada hakikatnya, ada satu perkara yang membuatku senantiasa ketakutan di Pesantren IMMIM. Ini saya alami sampai memasuki tarikh 1986. Persoalan tersebut yaitu ilusi tentang pertukaran kampus. Saya sering dilanda galau bila membayangkan santriwan bertukar kampus dengan santriwati.
Kalau santri dipindahkan ke Minasatene, otomatis saya menganggur melakukan pelanggaran. Mustahil leluasa kabur ke bioskop. Jarak bioskop dengan Minasatene mencapai 55 km. Naik mikrolet (petepete) bisa sampai dua jam. Olala.
Bila putra ditempatkan di Minasatene, maka, saya tak bisa nonton midnite show. Pertunjukan selepas pukul 00.00, biasanya memutar film baru yang berbeda sepekan dengan pemutaran di bioskop Amerika.
Pertukaran kampus bukan hanya masalah bioskop. Saya juga kesulitan ke Sentral untuk membeli majalah serta surat kabar. Selama di pesantren, saya selalu membeli Vista, Variasi, Ria Film, Team serta Varianada. Ini majalah yang mengulas film, rock dan selebritas. Saya juga beli Pos Film, koran perihal artis-artis. Nonton di bioskop serta menyimak majalah film betul-betul gue banget. Momen-momen indah inilah yang membuatku ketakutan setengah mati bila terkenang pertukaran kampus. Ketakutan tersebut bagai memenjarakanku. "Fear can hold you prisoner", sebuah ungkapan menggema dari The Shawshank Redemption (1994).
Saya pernah curhat ke seorang rekan. Ia tertawa. Menurutnya, itu muskil, mengada-ada. Wejangannya bagai diksi dari film Chhapaak (2020). "Dar se jeene ka kya faida? Zindagi jeene ke liye hoti hai, darr ke liye nahi" (Apa guna hidup dalam ketakutan? Hidup untuk dijalani, bukan ditakuti).
Kendati sahabat tersebut berusaha meyakinkanku, tetapi, tetap pertukaran kampus membuat waswas. Jantung berdegup kencang memikirkannya.
Band eksperimental El Morabba3 dari Saudi bersenandung: "الخوف يسكنني مثل الوحوش في الظلام" (ketakutan berdiam dalam diriku laksana monster di kegelapan).
Pertukaran kampus antara putra dengan putri, niscaya melahirkan budaya baru. Muncul tradisi di luar perkiraan di area asing. Tidak berlebihan pula bila santri merasa disingkirkan oleh santriwati. Sebab, mereka menyerobot rumah kenangan santri, rumah yang sarat suka-duka.
Ilusi yang melahirkan ketakutan itu tidak pernah terealisasi. Ketakutan tersebut pada esensinya dapat menjadi landasan untuk berbenah.
"Hal yang paling ditakuti mungkin yang paling dibutuhkan", sebuah nasehat terdengar di How to Train Your Dragon (2010).